~When regret is allowed to set in, there is no hope for a second chance~
Dua hari telah berlalu semenjak kejadian menyakitkan itu. Saat ini malam tengah menghampiri, tetapi tak semua orang bisa terlelap begitu saja, sama seperti yang Abigail alami. Ia sedari tadi memaksa tidur, tetapi nyatanya ia sedang dalam kondisi yang tidak tenang untuk mengenyahkan berbagai pikiran buruk. Sangat sulit untuk terlelap, sementara ia punya segudang masalah dan beban pikiran.
Gabriel.
Satu nama itu menari-nari dalam pikirannya sejak tadi.
Tidak!
Lebih tepatnya selama dua hari ini. Edmund memberitahu kalau pria itu tidak ada di rumah selama dua hari itu. Meskipun sempat bersedih memikirkan keberadaan Gray, Abby akhirnya lega setelah Edmund mengabari kalau Gray sudah pulang tadi siang. Itu lebih baik, dari pada terus memikirkan di mana pria itu, meskipun Edmund berpesan agar ia tidak menemui Gray dulu.
"Sedang apa dia?"
Sungguh hatinya tak tenang memikirkan Gabriel. Sepertinya satu cara yang bisa membuat hatinya kembali damai, adalah bertemu dengan pria itu. Namun sangat tidak mungkin bertemu tengah malam begini. Gray pasti sudah terlelap.
Abigail merubah posisi menjadi duduk. Tenggorokannya kering sebab ia hanya minum setengah gelas saat makan malam. Ia segera turun ke lantai satu, tepatnya ke dapur. Saat melangkah, samar-samar ia dengar suara alat-alat dapur berbunyi. Ia pun memelankan entakan kaki dan berjalan pelan-pelan. Kepalanya menyembul di balik tiang gerbang kecil yang menghubungkan dapur bersih dan dapur kotor. Seketika ia tercenung mendapati pria yang sedari tadi mengisi pikirannya itu tengah sibuk membuka tudung saji dan lemari makan. Pria itu pasti lapar, mengingat mereka tak saling bertemu di meja makan. Seketika Abby terenyuh. Pemandangan langka di hadapannya cukup membuktikan bahwa Gray masih manusia biasa dengan tingkah konyol seperti orang biasa pula.
Abigail baru berencana melarikan diri, tetapi Gray sudah lebih dulu melihatnya dengan mata tajam. Gadis itu menelan ludah susah payah. Kenapa wajahnya semenyeramkan itu?
Sumpah demi apapun, Gabriel yang selama tiga tahun bersamanya, tidak pernah terlihat semenakutkan itu meski sedang marah. Abby benar-benar merasa kalau ia sedang menatap pria lain.
Merasa usaha menyembunyikan dirinya gagal total dan berakhir malu, Abby tak punya pilihan lain selain muncul terang-terangan di depan Gray. Ia berdeham sebelum bersuara, "Aku ingin ambil air minum, rupanya kau juga di sini."
Gray menatap dingin gadis itu, lalu melangkah lebar melewatinya.
"Mau kubuatkan sesuatu?"
Pertanyaan itu menghentikan langkah Gray.
"Kalau kau ingin cepat makan, ada pasta di kulkas." Abby melanjutkan dengan sadar penuh bahwa jantungnya berdetak tidak normal. Dan seperti biasa, pria itu tak mengindahkan tawarannya. Ia tetap melangkah, membiarkan Abigail di belakang dengan wajah tertunduk.
"Aku tunggu di ruang tengah."
Ucapan Gray memicu atensi Abby padanya. Namun saat ia mendongak, pria itu sudah menghilang.
Apa artinya dia memintaku masak sesuatu? Abby mengerjap. Mendadak ia jadi kikuk. Kalau sampai Gray berkata akan menunggunya, bukankah artinya ia mau dimasakkan sesuatu?
Meskipun rautnya konyol, Abby tetap tersenyum. Ia pikir ini awal yang baik untuk memulai obrolan pelan-pelan, sampai pria itu mau menjelaskan kejadian dua hari lalu. Tak ingin membuang waktu, Abby langsung membuatkan sepiring bake penne bolognese. Tak butuh waktu lama menunggu hidangan itu selesai. Ia segera menuju ke ruang dengan ragu, takut pria itu sudah pergi. Namun setelah tiba, rupanya Gray sedang terjaga di depan TV yang menyiarkan berita sepakbola terkini. Abby berdeham untuk memberitahu bahwa ia sudah tiba dengan sepiring pasta yang diletakan di depan pria itu. "Maaf kau menunggu lama,"ucapnya seraya menyusun sepiring pasta beserta air minum. "Makanlah selagi pastanya hangat." Meskipun Gray tak bersuara, tetapi ia menuruti perintah Abigail. Dicicipinya pasta perlahan-lahan, lalu menyendok dan terus menyendok. Abby hanya bisa menahan senyum menyadari kekasihnya lapar. Lihat saja betapa cepatnya Gray mengunyah dan menelan pasta. Gray berhenti sejenak untuk minum air. Ia meletakkan piring dan menuangkan air ke dalam gelas. Gerakan tangannya yang terlalu kasar, membuatnya tak sengaja menyenggol piring kaca tersebut hingga jatuh dan pecah. Sisa pasta yang mungkin tiga sendok itu berhamburan di lantai. Gray secara refleks memungut pecahan-pecahan piring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of the Wound (Completed ✔️)
RomanceGray, seorang pria kejam yang berusaha menjebak Abigail dalam penjara yang ia buat. Sementara Abigail, seorang gadis lugu yang tidak pernah menyadari, bahwa dirinya telah masuk dalam perangkap Gray. .... Grayson Moore, seorang arsitek berdarah Inggr...