Halo! Akhirnya setelah sekian purnama, Shadow of The Wound update juga 😅. Jujur aku udah berencana nggak lanjutin kisah Gray sama Abby lagi. Big thanks buat yang udah nungguin update cerita ini. Dukungan kalian menjadi alasan dan semangat aku buat tetap lanjut sampai selesai. Btw, meskipun cerita ini berlatar belakang luar negeri, tolong jangan berekspektasi bahwa cerita ini akan ada banyak adegan dewasanya, even a kiss scene, nggak akan ada di sini, bahkan di semua cerita aku. Aku nggak berani. Jadi kalau mau lanjut baca, aku sangat menghargai itu. Dan kalo udah nggak mau lanjut juga aku tetap menghargai pengorbanan waktu kalian buat baca cerita ini. Last but not least, happy reading, everyone ....
.
.
.
.Gadis itu terlelap ....
Setelah menemani Gray makan, Abby janji akan mengobrol dengannya sebelum tidur. Ada banyak sekali hal yang belum mereka bicarakan. Namun kenyataanya, baru beberapa menit Gray masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan leher yang berkeringat, ia melihat gadis itu tertidur begitu lelap di sofa ruang televisi. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan angka 1. Ia hanya bisa pasrah dan mendudukkan diri di samping Abby.
"Kau benar-benar ...." Pria itu terkekeh pelan.
Dipandanginya gadis yang baru ia sadari begitu ia cintai. Pandangannya tak sedikitpun teralih. Ia ingin memandangi Abby terus menerus, dan merekam wajah cantik gadis itu dalam memori dengan ruang penyimpanan terbaik, supaya ingatan akan gadis itu tak pernah hilang, abadi dalam hati dan pikirannya.
Skenario seperti apa yang Tuhan lukisan dalam hidup mereka berdua, sehingga pertemuannya dengan Abby harus melalui cara yang menyakitkan. Cara yang membuat keduanya harus menderita terlebih dahulu, sebelum akhirnya menyadari perasaan mereka. Benar kata Edmund, bahwa cinta bukan hal yang sederhana. Cinta adalah perjuangan dan pengorbanan. Dalam cinta, ada juga sakit hati, kekecewaan dan pedih. Itulah yang Gray rasakan dalam perjalanannya menemukan sang pemilik hati.
Tiba-tiba perih yang sempat hinggap, terasa kembali. Hatinya seperti diremas hingga menyusut. Pernapasannya menjadi pendek akibat sesak menghantam. Netra biru laut yang selama ini menunjukkan kekuasaan dan egoisme, berubah menjadi linang air mata. Sungguh ia tak dapat mengendalikannya.
"I'm so sorry ...."
Salah satu tangannya terangkat guna menyeka sekumpulan air di sudut mata.
Baru saja ia hendak mengusap surai gadis itu, orang yang dipandangi sejak tadi tiba-tiba membuka mata. Netra peraknya beradu dengan netra biru laut Grayson. Ia mengernyit sejenak.
"Abby."
Tak langsung menyahut, gadis itu segera merubah posisi menjadi duduk sembari mengusap mata. Dipandanginya Gray lamat-lamat dengan alis bertaut. "Gabriel?"
Oh ... hati Gray semakin perih mendengar nama itu.
"Iya?"
"Why are you crying?"
"No, I'm not. Why do you say that?"
Tanpa kata, tangan Abby terulur ke depan dan mengusap sudut mata Gray yang berair. Tindakannya menimbulkan getaran di sekujur tubuh Gray. "You're crying, Gabriel Moonstone."
Dibiarkannya gadis itu menyeka sudut mata hingga kering. Rasanya ingin terpejam agar bisa meresapi betapa lembut telapak tangan Abby di wajahnya. Namun niat itu ia kubur dalam-dalam karena tak rela melepas tali pandang akan sosok Abigail.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of the Wound (Completed ✔️)
RomanceGray, seorang pria kejam yang berusaha menjebak Abigail dalam penjara yang ia buat. Sementara Abigail, seorang gadis lugu yang tidak pernah menyadari, bahwa dirinya telah masuk dalam perangkap Gray. .... Grayson Moore, seorang arsitek berdarah Inggr...