Bab 16

32.8K 3.3K 49
                                    

"Lho, Mas Ardan beli obat juga?"

"Nggak, beli baju," jawab Ardan asal. "Namanya juga di apotek. Pasti belinya obat. Masa beli yang lain."

Hilda nyengir saat menyadari pertanyaanya yang dilotarkan terlalu bodoh. "Pantesan dari kemarin Mas Ardan nggak kelihatan. Pasti lagi sakit ya?"

"Cuma capek aja kayaknya. Makanya saya butuh istirahat di rumah. Kebetulan sekarang udah agak mendingan, makanya bisa keluar buat beli obat."

Hilda manggut-manggut mendengar jawaban dari Ardan. "Oh, berarti Mas Ardan lagi di rumah ya, bukan di vila?"

Ardan mengangguk membenarkan.

"Nggak ke dokter, Mas?"

"Nggak perlu. Saya udah beli paracetamol. Nanti juga bisa sembuh sendiri," jawab Ardan. "Kamu sakit juga?"  tanyanya balik saat melihat Hilda membawa kantong plastik juga.

"Bukan aku yang sakit, Mas."

"Orang tua kamu?"

"Bukan juga, Mas," jawab Hilda dengan gelengan kepala. "Mbak Kinara pipinya lebam. Makanya aku beliin salep buat lebam sama sekalian obat anti nyeri," lanjutnya memberitahu.

"Dia habis jatuh?"

Hilda mengangkat kedua bahunya. "Aku juga nggak tau, Mas. Tadi pagi Mbak Kinara chat ke aku kalo dia nggak mau dibangunin pagi-pagi. Bilangnya sih habis begadang ngelukis pesenannya Mas Ardan. Tapi aku sama Ibu jadi panik gara-gara waktu aku ke sana, Mbak Kinara nggak bukain pintu waktu kita ketuk. Padahal itu posisinya udah siang. Untungnya sekitar jam tiga Mbak Kinara chat minta dibawain es batu. Eh waktu aku dateng, pipi Mbak Kinara udah lebam gitu yang sebelah kiri. Warnanya ungu dan besar banget sepipi," ucapnya mulai menjelaskan dengan heboh.

Ardan terdiam. "Dia lebam bukan gara-gara begadang nyelesaiin lukisan kan?"

Hilda tertawa pelan. "Mana ada orang lebam gara-gara ngelukis, Mas," sahutnya. Ia merasa terhibur dengan pemikiran Ardan yang diluar nalar. "Kecuali pas ngelukis Mbak Kinara jatuh terus pipinya kepentok ke lantai. Habis kepentok terus kejatuhan kanvas. Kalo kayak gitu masih masuk akal sih, Mas," lanjutnya masih dengan sisa tawanya.

"Yaudah kalo gitu. Titip salam aja buat Kinara biar cepet sembuh."

Hilda langsung tersenyum lebar mendengar itu. "Mbak Kinara pasti seneng kalo denger Mas Ardan bilang kayak barusan," gumamnya.

Ardan menanggapi dengan tersenyum tipis. Akhirnya Ardan berpisah dengan Hilda di depan apotek dan naik ke motor masing-masing.

Begitu Hilda sampai di rumah Kinara, ia langsung menceritakan semuanya. Terutama titipan salam dari Ardan untuk Kinara. Bukannya merasa senang, justru Kinara memukul-mukul lengannya gemas.

"Tau gitu aku ikut beli obat biar ketemu sama Ardan," cebik Kinara kesal.

"Tadi katanya laper. Nggak mau ikut beli obat," ucap Hilda mengingatkan. Sebelum pergi ke apotek, Hilda sempat pulang, mengambilkan makanan untuk Kinara. Perempuan itu bilang tengah kelaparan dan tidak mau ikut pergi ke apotek. Akhirnya Hilda meninggalkan Kinara yang sedang makan untuk membeli obat di apotek.

Kinara menghela napas keras. "Harusnya aku bisa ketemu sama dia," ucapnya memasang wajah sedih.

"Yaudah sih, Mbak. Nanti-nanti juga ketemu."

"Dia sakit apa?" tanya Kinara menatap Hilda.

Hilda menggeleng. "Nggak tau sakit apa. Tapi katanya bakal sembuh kalo minum paracetamol."

Kinara terkikik geli. "Indonesia sekali. Apapun sakitnya, obatnya paracetamol."

"Mas Ardan lagi ada di rumahnya, Mbak," beritahu Hilda.

Let Me Closer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang