Bab 14

31.3K 3K 10
                                    

Setelah selesai mandi, Kinara langsung menyiapkan segala peralatan untuk melukis di jendela kamarnya. Jendela kamarnya menjadi salah satu spot yang paling tepat untuk melukis. Pemandangan dari jendela kamarnya begitu cantik. Begitu jendela dibuka, udara sejuk langsung menyergap masuk memenuhi kamarnya. Ia menarik kursi dan mulai mengeluarkan warna-warna yang akan digunakan.

Sebelum mulai menggoreskan kuas pada kanvas kosong, Kinara lebih dulu membuka foto-foto yang sudah ia ambil di tempat wisata Ardan. Ada beberapa spot tempat wisata yang menarik untuk dilukis.

Kinara tipe orang yang suka melukis dalam keheningan. Saat ia mengatakan akan melukis langsung di tempat wisata Ardan, itu ia katakan karena murni ingin melihat reaksi dari Ardan. Sebenanrya ia tidak bisa melukis di tempat ramai yang banyak orang berlalu-lalang. Bukannya selesai, yang ada lukisannya malah nggak akan berbentuk apapun.

Hampir satu jam ia melukis, suara ketukan pintu rumahnya membuat fokus Kinara terpecah. Ia berjalan keluar kamar dan melihat siapa yang datang pagi-pagi seperti ini. Begitu ia membuka pintu rumahnya, ia mendapati Lastri, ibu Hilda membawa satu buah rantang dalam dekapannya.

"Kok tumben Bu pagi banget?" tanya Kinara sembari menerima rantang yang diserahkan oleh Lastri.

"Iya, Mbak. Kebetulan tadi belanjanya juga agak pagi. Jadi bisa bikin sarapannya pagi."

"Makasih banyak, Bu."

"Sama-sama, Mbak."

"Eh tunggu dulu, Bu." Kinara masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu yang ia ingat. Tak lama kemudian ia kembali denhan rantang yang sudah ia cuci bersih. "Ini rantang yang kemarin."

"Walah, Mbak. Nanti kalo Hilda ke sini kan bisa diambil sama dia."

"Nggak papa, Bu. Sekalian aja."

"Oh ya, Mbak. Rantang yang hari ini saya kasih lebih banyak isinya. Soalnya kata Hilda, Mbak Kinara suka laper kalo cuacanya dingin."

Kinara tersenyum malu mendengar ucapan Lastri. Memang benar ia suka mengeluh ke Hilda karena suka tiba-tiba lapar. Apalagi kalo cuacanya tiba-tiba mendung dan turun hujan. Perutnya otomatis langsung berbunyi tak tahu malunya.

"Hilda bilang kalo Mbak Kinara suka cari makanan kalo lagi kedinginan. Maaf kalo selama ini saya bawa makanannya nggak banyak. Saya pikir Mbak Kinara makannya dikit."

Kinara menggeleng panik. "Saya kalo laper biasanya suka masak nuget atau sosis kok, Bu. Nggak papa," ucapnya menenangkan.

"Kalo Mbak Kinara ngerasa tiba-tiba laper, bisa telfon saya aja. Pasti saya usahain bikinin makanan buat Mbak Kinara."

Kinara tersenyum lantas mengangguk kecil. Senang mendengar ia diperlakukan begitu baik di sini. "Makasih ya, Bu. Dan maaf kalo saya sering ngerepotin."

Lastri mengibaskan tangan pelan. "Kita tetangga, Mbak. Sudah sewajarnya kalo saya bantu Mbak Kinara. Lagian Mbak Kinara sudah ngasih saya uang buat masakin Mbak Kinara setiap hari. Jadi itu sudah tugas saya, Mbak," sahutnya cepat. "Kalo gitu saya permisi dulu ya, Mbak," pamitnya.

Kinara mengangguk. Setelah melihat Lastri sudah berjalan menjauh dari rumahnya, Kinara langsung menutup pintu rumah. Ia melangkah ke dapur dan melihat isi rantang yang tadi diberikan oleh Lastri. Begitu dibuka, ternyata isi rantang tadi ada rawon dengan potongan daging yang besar, telur asin, tempe bacem, kecambah pendek, kerupuk dan paling penting adalah sambal. Baru melihat saja ia sudah tergoda untuk mencicipinya. Akhirnya ia mengambil piring dan nasi hangat yang sudah ia masak sebelumnya.

Selama tinggal di Malang, banyak hal baru yang bisa dilakukan oleh Kinara. Salah satunya adalah memasak nasi. Meski sudah ada rice cooker, dari dulu Kinara tidak bisa memasak nasi dengan takaran yang pas. Beruntung ia bertemu dengan Hilda. Perempuan itu mengajarinya memasak nasi dengan takaran yang benar. Ternyata ia hanya perlu mencelupukan telunjuknya untuk mengukur jumlah air yang sesuai. Yang Kirana suka, Hilda tidak pernah mengejeknya saat ia tidak bisa melakukan hal-hal yang umum, yang seharusnya bisa dilakukan oleh perempuan lain di luar sana.

Let Me Closer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang