Bab 11

33.5K 3.2K 106
                                    

Suasana tiba-tiba menjadi diam setelah perkataan Kinara. Ardan terpaku menatapnya tanpa bicara apapun. Sedangkan Hilda, entah kenapa malah menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Sebenarnya Kinara sendiri kaget dengan apa yang barusan ia katakan. Padahal ia belum pernah seagresif ini menghadapi seorang laki-laki. Tapi menurutnya laki-laki di depannya agak lain. Jika ia tidak bertindak apapun, malah tidak ada kesempatan untuknya bisa dekat dengan Ardan.

"Kamu beneran mau cari kerja?"

Kinara mengangguk santai. "Tapi jangan yang susah-susah."

Ardan menaikkan kedua alisnya, membuatnya hampir menyatu. "Kenapa?" tanyanya bingung.

"Soalnya aku agak goblok. Jangan suruh aku ngehafal atau ngitung. Udah pasti bakal salah semua," jawab Kinara tanpa beban. Tak lupa ia menampilkan senyum semanis mungkin pada Ardan.

Mendengar itu sontak membuat Hilda menutup mulutnya agak suara tawanya tidak menyembur keluar. Setelah permintaan ajaib soal diberikan pekerjaan, sekarang perempuan yang usianya lebih tua darinya dengan santai minta pekerjaan yang gampang. Emang ajaib sifat tetangga barunya ini.

Ardan hanya bisa geleng-geleng kepala. "Saya harus kasih kerja apa kalo kamu nggak bisa apa-apa?"

Kinara menopang dagu dengan tangan kanannya. "Aku disuruh kerja ngintilin Mas Ardan juga mau kok."

Entah kenapa Ardan terbatuk mendengar itu. Perempuan di hadapannya ini memang sangat berani. "Nggak ada kerjaan kayak gitu. Yang ada saya malah risih kalo kamu ngintil terus," tegasnya.

Kinara memajukan bibirnya. "Kalo aku dateng ke tempat wisata setiap hari boleh?"

"Boleh," jawab Ardan. "Asal tetap bayar," tambahnya cepat.

"Bayar kok," sahut Kinara cepat. "Tapi aku mau ditemani Mas Ardan tiap aku ada di tempat wisata."

"Saya kerja!"

"Ya nggak papa. Kalo gitu biar aku yang nemenin Mas Ardan kerja. Aku nggak ganggu kok. Cuma nemenin aja."

"Mbak Kinara udah, Mbak. Jangan malah bikin malu," bisik Hilda.

Kinara menoleh. "Kalo nggak gini dia gak peka-peka," balasnya dengan suara normal. Jelas saja Ardan bisa mendengar itu.

"Apa gini aja, Mas. Mbak Kinara katanya suka ngelukis. Gimana kalo Mas Ardan pesan lukisan di Mbak Kinara?" usul Hilda tiba-tiba. Meski ia belum tahu hasil lukisan Kinara dengan mata kepalanya sendiri, tidak ada salahnya mengatakan itu. Ia yakin Kinara tidak mungkin berbohong padanya. "Waktu itu Mas Ardan kan cerita kalo mau beli beberapa lukisan buat dipajang di ruang kerja sama bagian resepsionis vila," lanjutnya.

"Boleh," sela Kinara semangat. "Aku bakal dengan senang hati ngelukisnya."

"Kamu beneran bisa ngelukis?" tanya Ardan tak percaya.

Kinara berdecak keras. "Aku goblok, Mas. Bukan nggak kreatif."

Entah kenapa perkataan Kinara lagi-lagi membuat Hilda tertawa kecil.

"Tapi aku mau kalo ngelukis di dekat Mas Ardan."

"Kenapa?" tanya Ardan yang otomatis meninggikan suaranya. 

"Nggak papa. Biar bisa lebih hidup aja lukisannya," ucap Kinara beralasan.

Ardan geleng-geleng kepala. "Saya nggak jadi pesen lukisan kalo gitu."

Kinara mendesah kecewa. "Kok gitu sih, Mas?" tanyanya sedih. "Aku kan juga butuh duit buat biaya hidup. Kan lumayan kalo Mas Ardan mau beli lukisanku, aku bisa bertahan hidup untuk beberapa bulan ke depan."

Let Me Closer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang