BAB 1 - Sebuah Janji

27 6 8
                                    

•Selamat membaca•

“𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙖𝙞𝙧 𝙢𝙖𝙩𝙖 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙪𝙖𝙩 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙖𝙞𝙣 𝙩𝙚𝙧𝙩𝙖𝙬𝙖. 𝘽𝙞𝙖𝙧𝙠𝙖𝙣 𝙡𝙪𝙠𝙖 𝙞𝙣𝙞 𝙠𝙚𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞𝙣𝙮𝙖.”

-Nareika Kalengga

🍑

Publikasi 23 Juni 2024

★★★☆☆☆★★★


Apa setiap janji harus ditepati?
Nareika pikir tidak, buktinya Papa dan Nanggala pergi dari sisinya. Padahal ketika Mama dimakamkan, keduanya berjanji akan selalu memeluk Nareika.

Sayangnya, sejak hari itu ketika Nareika berusia enam tahun, mereka tak pernah memeluk Nareika lagi. Bahkan, tak pernah saling bicara apalagi berbagi kasih bersama. Tidak pernah lagi.

Nanggala bilang, Nareika telah membunuh Mama. Nareika membunuhnya, Nareika pembunuh, Nareika jahat dan Nareika tak layak untuk hidup. Nareika yang harusnya mati bukan Mama.

“Andai lo nggak pernah lahir, Mama mungkin nggak akan sakit-sakitan, andai lo nggak diselamatkan, harusnya Mama yang hidup bahagia sampai saat ini. Lo bukan adik gua lagi!”

Perkataan itu begitu menusuk tepat diantara celah luka yang terjadi setelah Mama tiada. Rasanya amat pedih, nyaris lebih pedih dari luka yang baru saja ditaburi garam. Nareika hanya bisa terdiam sambil menangis.

Usianya baru saja enam tahun, dan ia kehilangan Nanggala dan senyumannya yang dulu pernah menjadi obat rindu Nareika pada Mama. Bukan hanya itu, Papa bahkan tak pernah menganggapnya ada.

“Andai kamu nggak pernah lahir, bahkan Papa nggak ingat apa benar kamu anak Papa. Karena ketika Mama mengatakan dia hamil, Papa tengah sibuk dinas bahkan dari beberapa bulan sebelumnya.”

Semua perkataan itu terus menerus terucap. Nareika tidak bisa menyangkal segalanya. Ia tidak mengerti bagaimana harus menghadapinya. Usianya baru enam tahun dan setiap hari perkataan itu terus didengarnya.

***

Nareika melangkahkan kakinya ke Bumania, meskipun Nanggala menentangnya. Namun, ia juga ingin Papa melihatnya, jika Nareika bisa seperti Nanggala. Nareika terduduk di pojok ruang ganti sambil memeluk tubuh kurusnya.

Botol air minum mendarat di kepala Nareika, anak laki-laki berusia dua belas tahun itu menatap dengan takut. Sejak ia masuk Bumania di usia delapan tahun kejadian seperti ini selalu ia dapatkan.

“Minggir lo ini tempat kita!” titah mereka.

Nareika menggeser tubuhnya, ia kembali memeluk sunyi dalam dirinya. Hari ini ia melihat Papa datang ke Bumania dan memeluk erat Nanggala yang kemarin baru saja mendapat medali emas di kejuaraan renang tingkat daerah antar SMP.

“Gua bilang minggir!” katanya sambil menjambak rambut Nareika sekuat tenaga. Sementara itu, pupil hitam temaram Nareika mendapati Nanggala memasuki kamar ganti.

Tolong aku, Kak.

“Jangan mentang-mentang lo adiknya Nanggala jadi bisa seenaknya pura-pura budeg. Lagian lo juga cuma beban di Bumania, renang nggak bisa, ini itu nggak bisa jangan ngarep jadi atlet kalau cuma jadi beban.”

𝐸𝒟𝐸𝒩 | 𝐻𝓊𝑔 𝑀𝑒, 𝒫𝓁𝑒𝒶𝓈𝑒! [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang