BAB 6 - (Bukan) Kita

10 4 5
                                    

~Selamat membaca~

“Kita mengulang hari, tapi tak bisa mengulang waktu. Karenanya hanya akan menjadi kenangan saja.”

-Nanggala Mada

🍑

Publikasi 19 Juli 2024

★★★☆☆☆★★★

Hari-hari berganti tak sepenuhnya membawa rasa bahagia. Sepi masih menjadi teman baik Nareika. Mereka memanjakannya dengan ribuan candaan, tetapi lagi-lagi Nareika merasa hatinya, satu titik di hatinya benar-benar sepi.

Sudah mulai memasuki semester dua kelas 1 SMP, dan Nareika punya lumayan banyak teman. Apalagi teman-teman klub musik, mereka benar-benar membuat Nareika tidak lagi mengingat Bumania.

“Jadi, kapan aku bisa main gitar?” tanya Nareika dengan cemberut. Ia menyandarkan kepalanya pada gitar, sementara itu jemarinya bermain di antara senar.

“Itu bisa, cuma masih sumbang aja!”

Zia, anak perempuan dengan khas berbando itu duduk di sebelah Nareika. “Nanti juga bisa, kan, masih belajar!”

“Seno bilang, katanya tiga bulan udah jago. Ini udah mau kenaikan kelas masih nggak jelas bunyinya,” jawab Nareika.

Senopati, anak laki-laki dengan rambut keriting agaknya kemerahan itu tertawa ngakak. “Ya, sabar. Nggak semua lahir dengan bakat musik, kayak aku!” pujinya.

“Hikam juga belajar biola katanya dua bulan langusng pro!” Nareika manyun sambil menoleh pada Hikam, anak laki-laki berbadan tambun yang sedang membersihkan tubuh biolanya dengan kain putih.

“Kita juga ingin dapat nilai 9 pas tes renang, Rei bilang berenang cuma tinggal ciprak ciprek di air taunya malah tenggelam!” Hikam menyindir.

Heueuh, malah jadi gaya batu itu!” Seno cengengesan, begitupula dengan Zia.

“Aku ingin pamer ke Papa, kalau aku jago!” kata Nareika sambil ngupil.

“Kamu jago, kok. Soalnya kamu latihan sampai jarimu mulai kapalan. Pasti, sebentar lagi bisa main gitar dengan suara enak didengar!” ungkap Zia sambil memegangi jemari Nareika dengan lembut.

Pipinya merah membuat anak-anak yang ada tertawa terbahak-bahak. Nareika pun menyembunyikan wajahnya di balik tubuh gitar.

“Cie, cie, Nareika baper!”

“Mukanya merah.”

“Zia suka Nareika!”

“Memang, soalnya Nareika lucu dan manis!” Suara Zia membuat Nareika mengangkat kepalanya malu-malu kucing.

Jantungnya berdegup begitu cepat. Nareika pikir, mungkin masa pubernya sudah datang. “Makasih, Zia. Zia juga cantik!” kata Nareika sembari berdiri dari posisi duduk silanya.

“Tapi, kita berteman aja, ya? Karena cinta aku cuma punya Kakak dan untuk Kakak seorang.” Nareika nyengir dengan bangganya.

Di jam yang sama, kantin terasa begitu ramai. Nanggala baru saja selesai mendapatkan semangkuk mi ayam lengkap dengan pangsitnya. Ia duduk bersama Nugi.

𝐸𝒟𝐸𝒩 | 𝐻𝓊𝑔 𝑀𝑒, 𝒫𝓁𝑒𝒶𝓈𝑒! [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang