BAB 7 - Pelindung tanpa Sayap

6 1 1
                                    

“Untuk sesaat aku hanya ingin mati, atau tak mengulang hari dengan luka dan rasa sakit yang sama. Sesederhana itu.”

-Nareika Kalengga

🍑

Publikasi 21 Juli 2024

★★★☆☆☆★★★

Tubuhnya didekap dengan erat. Ia nyaris saja terjun bebas dan mendarat di antara dua kereta yang melaju dengan cepat.

“Lo nggak apa-apa?” Suara itu membuat Nareika tersadar walau demikian matanya masih melotot dengan pandangan kosong.

Jalanan memang seramai itu, tetapi tak pernah ada yang peduli pada Nareika setiap hari. Sepasang mata cokelat almon memandang begitu saksama. Kerutan di dahinya selayaknya gambaran khawatir yang abstrak.

“Lo nggak apa-apa, heh?” Suaranya terdengar gemetaran. “Jawab gua?!” Ia sedikit meninggikan suaranya. Nareika paham, ia hanya ingin Nareika menjawabnya. Itu saja.

Namun, Nareika memilih memeluknya sambil menangis. Nareika tak kenal siapa orang asing dengan mata cokelat almon nan indah di hadapannya.

“Emm, nangis sepuasnya, gua nggak keberatan!” bisiknya dengan suara lembut.

***

Aroma petang menyeruduk alam bawah sadarnya. Nareika merasa terbang tanpa sebab, entah karena kepalanya yang terasa begitu pening, tetapi ia menyenangi perasaan aneh yang menjajal luring kepalanya.

“Bangun?” Suara itu membuat kelopak matanya terbuka amat lebar.

Nareika ingin meronta, tetapi tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Alhasil, ia kembali menyandarkan tubuh kurusnya di punggung laki-laki dengan mata cokelat almon tersebut.

“Rumah lo … em rumah kamu di mana?” tanyanya. Sayang, Nareika hanya membubuhkan dirinya.

Laki-laki itu tersenyum kecil. Anak-anak ramburnya yang keluar dari kunciran sesekali menerpa wajah Nareika. Laki-laki jangkung dengan tubuh atletis, kulitnya kecokelatan tampak sehat, rambutnya pasti jabrik sebab ia kunciran, matanya cokelat almon nan indah, aroma tubuhnya begitu wangi. Aroma kopi yang manis dan menyegarkan hidung Nareika.

“Suka susu cokelat hangat?” tanyanya. Nareika mengangguk, tanpa sadar ia melingkarkan tangannya jauh lebih erat ke tubuh laki-laki itu.

“Gua—traktir! Eh, aku traktir!” ucapnya tertawa dengan canggung.

Nareika merasa nyaman, entah karena langkah kaki laki-laki itu terasa begitu lembut ataukah karena Nareika tak pernah digendong seperti ini sebelumnya. Semua terasa begitu tidak nyata.

Warung kopi kecil di tepian kota terlihat ramai, beberapa pasang mata seakan menyapa laki-laki itu. Mereka menyapa dan membuatnya mengangguk sambil tersenyum.

“Ini anak siapa lagi? Kemarin anak kucing, kemarinnya lagi anak anjing, sekarang anak manusia, besok?”

Nareika tidak tau, apakah itu guyon atau memang kenyataan yang Nareika paham dapatkan itu hanya tertawa dengan renyah dan suaranya begitu hangat.

“Ayo, duduk!” Ia menurunkan Nareika tepat di bangku kayu tipis yang lumayan panjang.

“Teh Dinda, susu cokelat hangat satu, kopi gula aren satu!” Laki-laki itu berucap pada seorang  gadis di antara etalase dan beragam minuman kemasan yang tergantung.

𝐸𝒟𝐸𝒩 | 𝐻𝓊𝑔 𝑀𝑒, 𝒫𝓁𝑒𝒶𝓈𝑒! [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang