Gunung Agung, matahari terbit dan seulas senyum manis Gema adalah racikan yang pas untuk memulai waktu pagi. Katakan Lingkar hiperbolis dan tidak waras, tapi bukannya orang yang sedang jatuh cinta itu terkadang memang tidak waras?
Lihat, bahkan pria itu tak sadar kalau air dari termos yang akan dia tuangkan ke mug besi pun justru menyiram sepatu mendaki nya, beruntung serat sepatunya tebal, kalau tidak...bisa melepuh kaki Lingkar.
"Pagi-pagi udah ngelamun aja. Mikirin Maretha Aloia ya?"
Lingkar mengulum bibir dan berusaha menyembunyikan senyumnya. Well, apakah Gema tidak tahu kalau pria itu sedang melakukannya?
"Buat apa mikirin yang lain kalau disini ada yang lebih menarik."
"It's your joke, right?"
"Gue nggak pernah sebercanda itu kalau berkaitan sama lo. As your name, lo berhasil membuat gema di hati gue. Listen! Hati gue bergema karena lo!"
"Kenyang gue kalau lama-lama disini." Gema beranjak menuju ke sisi timur untuk menyaksikan dan menghayati terbitnya matahari. Hatinya ikutan menghangat saat jemari sinar matahari meraba wajahnya.
"Gem," panggilan Lingkar itu amat lirih hingga terdengar seperti bisikan,"bisa hadap kesini sebentar?"
Gema menoleh. Sungguh, tak pernah terpikirkan saat beberapa detik usai tulang lehernya memutar ke kiri, dia melihat sebuah makrame berbentuk hati.
"Suka nggak?"
Gema dan makrame adalah teman sejati. Dia begitu menggilai kerajinan tangan yang satu itu, pertanyaan yang muncul di benaknya hanya satu, darimana Lingkar mengetahuinya?
"Maaf kalau lilitan talinya nggak rapi. Gue aja belajar sama Jo di marahin terus, cause i'm not a perfect guy." Lingkar meringis.
"Nope, kamu adalah teman yang sempurna. Thanks , Ling-Ling."
"Jadi teman emang menyenangkan, Gem. Tapi kayaknya lebih menyenangkan kalau lo milik gue?"
"Apa? It's sound weird."
"Yah aneh memang. Saat berkenalan dengan seorang filsuf, dia mengatakan kalau aneh adalah salah satu tanda orang jatuh cinta. Dan kira-kira, udah seaneh apa gue saat jatuh cinta sama lo?"
"Ling...," Suara Gema melirih. Syaraf simpatik di tubuhnya bekerja dengan cepat untuk melepaskan hormon adrenalin yang mengirimkan reseptor ke syaraf di pipinya dan hocus pocus tru-la-la, pipi Gema memunculkan rona merah yang menjalar di epidermis nya.
"Mau ya jadi pacar gue?"
Jeda cukup lama.
"Nggak mau ya?"
"Really? I'm not an insensitive girl after you kissed me under the sunset yesterday and invited me to see God's masterpiece so early just to say that you love me. so, I answered yes."
(Serius, gue bukan cewek yang nggak peka setelah kejadian kemarin di bawah sunset dan lo ngajak gue lihat mahakarya tuhan sepagi ini hanya untuk nembak gue. Jadi, gue jawab iya)
Bagi para pujangga cinta, bahasa cinta yang paling indah adalah bahasa tubuh. Mengutip pernyataan tersebut, Lingkar tak ingin membuang-buang waktu untuk sekedar cuap-cuap membual, dengan satu tarikan dan membawa sang purnama ke pelukan, sudah cukup menggantikan beribu terimakasih dan rasa bahagia yang menumpuk di serambi kanan jantungnya.
Tolong dengan sangat, ingatkan Lingkar untuk berterimakasih kepada Ezzio, berkat ulahnya yang sok pahlawan saat menolong sweetie kala itu, Lingkar berhasil menemukan dermaga untuk melabuhkan kapal cintanya yang sudah lama berlayar.
"Till our next eclipse, My Moon!"
***
Padang bunga Kasna.
Hamparan vegetasi berwarna putih yang membentang bak karpet kapas di atas svargaloka, menyambut Gema dan Lingkar usai turun dari gunung Agung.
Jujur, Gema seperti terlempar ke dalam drama saeguk dan Lingkar si pangeran kuda putih itu asyik memotret padang bunga Kasna yang tumbuh subur di kaki gunung Agung ini.
"Is it too much, Ling!" protes Gema saat Lingkar tidak selesai mengambil potretnya diam-diam.
"Too much apanya. Ini aja baru 20 foto belum seribu! Ayo pose lagi!"
"Ogah!" Gema memilih berjalan berbalik dan menelusup di sela-sela bunga Kasna yang mekar. Udara dingin khas dataran tinggi Bali ini menghantarkan perasaan tenang dan damai.
Baru saja menikmati pemandangan, Lingkar sudah menarik tangannya dengan paksa dan berlarian menyusuri padang Kasna yang menakjubkan ini. Kendati kaki Gema sudah mulai pegal, rasa senangnya mengalahkan.
"Thanks Ling for the amazing experience ini. Gue nggak nyangka bakal menemukan surga disini. Yah, selama ini, orang-orang hanya menyorot Bali dengan pantai nya aja kan?"
"Anything for you, Ge."
"The last one, Ge! Foto sama gue!"
Meski memberengut, nyatanya Gema masih mau menuruti kemauan Lingkar.
Usai padang Kasna, terbitlah pantai Nyang-Nyang di Bali Selatan. Hidden gem yang satu ini memang tak banyak orang yang tahu karena lokasinya yang cenderung privat dengan tebing yang mengelilinginya.
Meski matahari berlomba-lomba mengeluarkan sinar yang panas, semangat Gema tidak luntur sama sekali. Berbekal topi jerami yang lebar, sunglasses, dan rok musim panas yang berkibar saat terkena angin, Gema berlarian menyusuri bibir pantai.
"Gem, udahan lah! Capek nih gue!"
"Dih, dasar tulang jompo. Masak baru jalan dikit aja udah ngap-ngapan!"
"Jompo? Are you really?! Gue aja masih sanggup gendong lo naik tebing ini!" teriak Lingkar tak terima dengan ejekan Gema.
Untuk membalasnya, Lingkar dengan diam-diam mengangkat tubuh Gema yang sedang asyik berkomunikasi dengan suasana pantai Nyang-Nyang. Memutarnya di udara lantas menjatuhkannya untuk berhambur dengan air laut yang khas.
"Stop,Ling! Arghh!" Gema berteriak saat tubuhnya terombang-ambing debur ombak pantai Nyang-Nyang. Buih putih di bibir pantai menyapu permukaan kulitnya.
Gema tertawa, terkagum-kagum dan bahagia dalam satu waktu hingga senyumnya pudar saat Lingkar berucap.
"Udah ya, balik ke penginapan. Mandi terus take a nap, besok kita udah balik ke Jakarta."
Follow Instagram:@deedreamy.id
KAMU SEDANG MEMBACA
Roar Of Love
RomanceReading List @WattpadRomanceID edisi November "Harimau!" "Harimau!" Di pagi hari seperti ini, penghuni Hunian Indah sudah di ributkan dengan kemunculan seekor Harimau di kompleks mereka. Usut punya usut, mamalia yang berasal dari genus panthera itu...