Part 3

91 7 0
                                    


















"Gue denger dari anak-anak lo bawa sepeda tadi pagi?" Nindi bertanya seraya merapikan barang-barangnya.

Jam menunjukan pukul 14.00 wib. yang berarti semua pembelajaran sudah selesai. Beberapa siswa siswi berhamburan, koridor pun terlihat npak sesak. Ada yang pergi ke gedung ekstrakurikuler, ada juga yang berbondong-bondong menuju parkiran.

Geby mengunci berangkasnya, tepat di belakang bangkunya. Gadis itu berbalik menatap Nindi. "Hm. Gue lupa kalau sekarang gue di Indo." Ia menyampirkan tasnya, berjalan beriringan bersama Nindi menuju parkiran. Kebetulan hari ini gadis itu tak ada eskul.

"Goblok kok di bawa-bawa, heran."
"Gue yakin tu sepeda udah musnah sana anak-anak." Ia meringis, teringat akan postingan beberapa waktu lalu. Sepeda gadis itu sudah tak terbentuk, sangat mengenaskan.

Murid di sana memang kejam tak heran kejadian ini terjadi. Mereka sepertinya salah faham terhadap kehadiran Geby di sekolah Angkasa.

Apa mereka tak melihat barang brand terkenal yang di kenakan gadis itu? Bahkan kaos kakinya pun harganya bukan main-main. Sikapnya yang tenang, anggun nan sopan semakin memperjelas semuanya. Gadis ini di didik dengan baik, sesuai pengajaran keluarganya. Sudah pasti dia bukan dari kalangan biasa.

"Tinggal beli lagi kok susah." Lagi pula sepeda yang dirinya bawa bukan miliknya. Itu milik satpam di rumahnya dengan modal nekat ia mengambilnya lengkap dengan teriakan sang kakak padanya.

"Bareng gue aja ayok. Hari ini gue bawa mobil." Ajaknya.

Geby di buat gugup setengah mampus. Tak pernah ada yang tau tentang asal usulnya sekalipun di sekolahnya dulu. "Gak perlu, gue nanti di jemput kok." Meski terdengar bohong tapi sudah di pastikan abangnya menyuruh bawahannya menjemput dirinya.

"Seriusan lo?" Kok Nindi gak yakin yah?

"Seriusan gue. Dah lo sana duluan aja." Geby mendorongnya agar segera pergi.

"Yaudah gue duluan." Dengan pasrah Nindi meninggalkannya seorang diri. "Bay teman baru." Ia melambai dengan senyuman lebar.

Geby membalasnya tak kalah lebar hingga matanga menyipit di sertai tawa kecilnya. Seru rasanya memiliki teman seperti Nindi.

Kepergian Nindi di susul olehnya. Geby ingin memastikan sepeda miliknya lebih dulu.

"Permisi pak, saya mau ambil sepeda saya."

Satpam bernama bedu itu terkikuk. Berdiri kaku di hadapannya. "Duh neng gimana yah."

"Udah ancur banget yah pak?"

"Iya neng, bapak minta maaf." Ucapnya tak enak hati. Mau memberhentikan juga percuma yang ada kerjaan dia yang jadi taruhannya.

"Gak papa pak, santai aja." Geby berusaha tersenyum ke arahnya.

Di pojok dekat tong sampah tempat sepedanya berada. Di sana sudah tak bisa di jelaskan dengan kata-kata. Sepedanga hancur, benar-benar hancur tak terbentuk. Ia meringis, mengenaskan banget sepeda gue..

"Eh den dimas. Pulang den."

Mendengat sapaan itu Geby berbalik. Laki-laki jangkung ada di sampingnya. Bajunya yang sedari pagi rapih kini terlihat berantakan, memberikan kesan berbeda saat pertama kali ia melihatnya.

Dimas Anggana Putra. Sang ketua kelas, ambis, juga s kutu buku di sekolah Angkasa. Meski culun Dimas terkenal akan ketampanannya. Sosok famous yang hidupnya tenteram jauh dari bayangan culun nan kutu buku.

Dimas mengangguk sebagai jawaban. Ia lirik teman barunya, "lo belum pulang?"

"Nunggu jemputan."

Percakapan singkat yang sialnya membuat Dimas gugup setengah mampus. Gadis di hadapannya sangat lucu, badannya yang pendek dengan pipi chubby kemerahannya semakin membuatnya gemas.

Hi, Liebling!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang