10 | Hapten tidak akan pernah tahu

181 40 0
                                    

Yang Hapten tahu adiknya paling bahagia di dunia ini, senyumannya benar-benar terukir paling elok bahkan tanpa adanya sebuah kebohongan di balik itu semua. Hapten pastikan tidak ada yang perlu di khawatirkan, adiknya lebih tahu bagaimana dia harus menjalani kehidupan yang kejam ini.

Sayangnya semua itu pun tanpa sebuah pembuktian, sudah semestinya Hapten mencari tahu di balik diamnya sang adik setelah dia beranjak remaja. Mashaka sebentar lagi juga akan lulus SMA, dia akan melanjutkan ke perguruan tinggi tapi Mashaka tidak pernah membahasnya sama sekali.

Mashaka lebih sering mengurungkan diri di dalam kamarnya tanpa melakukan apapun. Hapten hanya berpikir Mashaka butuh istirahat karena bersekolah dengan waktu yang sangat lama. Full day, tentu saja itu membuatnya kelelahan dan terus berkeinginan tidur untuk mengurangi rasa lelahnya.

Namun, kelelahan yang Mashaka rasakan hanya sesekali akan berkurang. Kemudian bertambah lagi jika dia menemukan sebuah luka-luka baru dalam hidupnya.

Kini kakaknya juga merasakan sebuah perbedaan, dia tidak melihat senyumannya terukir. Bahkan canda tawanya seperti dulu tidak lagi di dapatkan. Bukannya mempertanyakan kenapa hal itu terjadi, Hapten justru mementingkan pekerjaannya terlebih dulu dan mencoba untuk bertanya nanti.

Padahal kan sudah semakin menipis kesempatannya. Mashaka juga benar-benar lelah pada hidupnya seperti ini, dia tidak paham kenapa Tuhan masih membiarkannya hidup dalam rasa sakit.

Kemungkinan besar itu pertanda Tuhan masih menyayanginya. Alasan kenapa dia masih hidup karena Mashaka pun sangat berharga, untuk menjadi semestanya orang-orang yang menganggapnya penting.

"Sebenarnya karena kau nggak ngasih tau kak Hapten, atau memang kak Hapten nggak mau bertanya tentang keseharianmu?" tanya Jaden sambil menikmati snack pemberian Yadam tadi.

Mashaka terdiam, dia tidak langsung menjawab pertanyaan dari Jaden. Lagian dirinya sudah lebih dari kata tahu, seberapa besar rasa penasarannya seorang Jaden itu. Dia mana mungkin bosan bertanya jika jawabannya belum tepat pada pemikirannya itu.

Melihat ada yang berbeda dari Mashaka, Ais pun menyenggol lengan Jaden agar cowok itu tidak keterusan dalam rasa penasarannya. Karena bagaimanapun Mashaka butuh waktu untuk mengatakan kebeneran sepenuhnya pada teman-temannya.

"Kau pasti tau jika seseorang menganggap kita bahagia, tapi kita mengatakan kita tidak bahagia sekalipun. Pasti jawaban yang akan di terima kita adalah, tidak mungkin itu terjadi. Aku muak untuk mendengarkannya nanti," lirih Mashaka meraih minuman dingin di atas meja.

Dia tidak salah dalam penyampaiannya, masih benar-benar sangat logis. Dan berhak untuk mengatakan hal semacam itu ketimbang memilih untuk diam.

"Di posisimu sedari dulu nggak ada yang berjalan dengan baik. Tapi Mashaka, kau masih punya banyak kesempatan untuk mengatakan semuanya," sambung Yadam yang sejak tadi menyimak pembicaraan teman-temannya.

"Aku bertahan karena aku tahu masih ada yang belum ku dapatkan di dunia ini. Bukankah kalian orang-orang yang berkeinginan aku tetap hidup? Jadi tolong tunggu sampai aku benar-benar menjadi lebih kuat lagi. Dan menjadi seseorang yang paling bahagia, tanpa harus berpura-pura."

Lantas mereka bertiga tersenyum mendengar ucapan itu, Mashaka punya banyak kekuatannya sendiri. Dia tidak berpikir untuk menyerah sekarang, meskipun kakak dan kedua orangtuanya tidak ada untuknya di sepanjang waktu. Mashaka telah merubah semuanya rasa sakit menjadi pertahanan yang luar biasa hebatnya.

Jaden pun diam-diam mengagumi sosoknya—Mashaka, meskipun dia dalam keadaan ketidakadilannya semesta. Dia bukan seorang anak yang mengeluh pada takdirnya, tidak sekalipun mengatakan jika dunianya berantakan. Justru Mashaka 'mengatakan lihat saja aku akan bahagia lebih dari ini.'

Sekedar Singgah [✓] REVISI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang