13 | boleh aku menyerah sekarang?

196 43 0
                                    

Meskipun baru saja bertemu beberapa menit yang lalu, keduanya sudah saling membuka suara untuk menceritakan apa yang telah terjadi pada kehidupannya masing-masing. Alih-alih adu nasib, justru tergantikan untuk saling mengertikan. Apalagi Mashaka, dia yang sebenarnya selalu menomor duakan keadaannya dengan mudah mengatakan yang sebenarnya pada seseorang yang baru pertama kali dia temui.

Entahlah, seperti ada sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Dia merasakan kenyamanan, mungkin karena sama-sama punya luka. Itu sebabnya tidak ada keraguan agar saling memahami.

"Jadi nama kakak Jahid kan? Aku Mashaka. Kita kebanyakan cerita sampai lupa memperkenalkan diri ke kakak," ucap Mashaka tersenyum manis. "Tolong buatlah daftar keinginan kakak sebelum mati, karena kakak akan menemukan alasan hidup sampai saat ini. Sebenarnya apa."

"Kau anak yang kuat. Dari cerita yang tadi kau ceritakan ke aku. Aku bahkan bisa menilai semuanya, aku tau kalo ada di posisi mu. Kau terlalu kuat untuk mengatakan ingin menyerah. Pasti sakit kan, terus di manfaatin kemudian terabaikan lagi. Tapi kenapa raut wajahmu seperti itu? Kau sakit Mashaka?" lantas Jahid memilih untuk bertanya, karena sedari tadi dia terus memperhatikan Mashaka.

Dan memang benar, Mashaka sedang kesakitan. Mati-matian menahannya karena dia selalu berusaha menyembunyikan rasa sakitnya sendiri. Tapi berhubung Jahid ada seseorang yang lebih mudah peka, bahkan di saat Mashaka pandai menyembunyikan rasa sakitnya itu. Jahid pasti akan tetap tahu, dia terus bertanya. Tidak ingin menganggap ini biasa-biasa saja.

Meskipun awal pertemuan mereka hanyalah sebatas ketidaksengajaan. Tetap saja kepeduliannya akan berpihak dalam setiap hal.

"Sebenarnya, di sini sakit banget," ucap Mashaka mengelus bagian dadanya dengan suara yang lirih. "Mungkin karena sedikit lebam karena nabrak meja kuat banget. Tapi gak papa, kakak nggak perlu khawatir gitu," jawab Mashaka mencoba untuk menenangkan Jahid.

Dia tidak ingin, ada seorangpun yang mengkhawatirkan keadaannya. Karena Mashaka beranggapan, mereka pasti akan melakukan banyak hal. Kemudian bernasib sama seperti Jaden. Jujur saja kejadian yang menimpa Jaden, masih membuatnya merasa bersalah.

Bahkan untuk menatap ke arah Jaden saja, Mashaka masih takut. Takut jika Jaden akan mengatakan dia sebagai biang masalahnya.

"Oh iya, rumah kakak di mana? Biar aku temenin pulang."

"Sebenarnya aku tinggal di panti, semenjak orangtuaku meninggal. Bibi mengantarkan ku ke panti karena mungkin gak mau merawat ku, merepotkan sekali merawat orang cacat seperti ini," kata Jahid tertawa miris pada kehidupannya.

Mashaka tersenyum, mengusap pundak Jahid dan mengatakan beberapa kalimat penuh kehangatan. Bahwasanya, setiap kehidupan pasti berharga. Apa saja yang terjadi, detik perdetik nya tidak ada yang sia-sia. Akan ada yang di namakan kebahagiaan. Jadi kesimpulannya, Mashaka bertahan juga karena ingin kebahagiaan di rasakannya walaupun hanya sekali.

Beberapa cerita-cerita yang telah mereka bahas juga, sudah menjadikan keduanya saling dekat. Padahal hanya pembahasan sederhana mengenai luka, Jahid yang menceritakan keluarganya yang harus meregang nyawa saat kecelakaan beruntun belasan tahun silam

Dan juga mengenai kehidupannya yang benar-benar berubah. Sementara Mashaka, dia menceritakan jika tidak pernah mendapatkan pertanyaan apakah dia baik-baik saja? Mashaka terlalu sulit menolak perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Banyak sekali yang memanfaatkan Mashaka hanya karena dia pintar, dan dengan mudah pula Jahid meneteskan air matanya. Beranggapan cerita Mashaka memang sangat menyakitkan untuk di rasakan.

Jahid terlalu membayangkan serta menempatkan posisinya jika dia adalah Mashaka. Terlalu sulit juga diperjelas, tapi dia memahami semuanya.

"Mashaka, apa kau nggak lelah?"

Sekedar Singgah [✓] REVISI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang