18. DOA YANG TIDAK TERKABUL

81 12 9
                                    

Seorang lelaki dengan kedua kaki dan tangan yang terikat tampak duduk menunduk di sebuah kursi lipat.

Wajahnya babak belur, sama dengan tubuhnya yang sudah remuk akibat hantaman benda tumpul berkali-kali.

Seorang lelaki lain yang menggunakan pakaian serba hitam dengan wajahnya yang juga tertutup masker hitam tampak membenahi sarung tangan hitam yang dia kenakan dan berjalan memutari lelaki di kursi itu.

"Cepat katakan, di mana Jervian berada?" ucapnya dengan nada ancaman.

"A-aku tidak tahu! A-aku sama sekali tidak tahu soal itu..." jawab lelaki yang tengah sekarat di atas kursi itu. Air liurnya menetes bersamaan darah segar yang keluar dari mulutnya akibat luka dalam yang dia derita.

Bugh!

Satu pukulan kembali menghantam tungkai kakinya. Membuat dia kembali mengerang meski suaranya tak lagi terdengar jelas saking lemahnya dia saat ini.

"Apa alasanmu membohongiku dengan menyamar menjadi Kakakku selama ini dan terus menerorku di telepon?" Tanya lelaki berpakaian serba hitam itu lagi.

"A-aku hanya dibayar untuk melakukan itu... To-long, lepaskan aku..." ucapnya sambil menangis. Rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhnya membuat dia hampir kehilangan kesadaran. Sayangnya hal itu tidak juga terjadi saat tubuhnya kini disirami bensin oleh si pelaku.

"Jika kamu tidak mau menjawab pertanyaanku dengan benar, maka aku akan membuat hidupmu berakhir dalam penderitaan!" ucap lelaki bermasker itu seraya menyalakan api dari sebatang korek di tangannya.

"Bergas! Di-a yang su-dah membayarku!" Pada akhirnya, lelaki itu buka suara juga.

"Apa alasannya?" Lelaki berpakaian serba hitam itu menunduk, mendekatkan api yang menyala pada batang koreng di tangannya ke arah lelaki di kursi itu.

"Saat tau ka-mu mengalami kecelakaan dan amnesia, Bergas membayarku untuk menyamar menjadi saudaramu, agar kamu ti-dak lagi memburu Jervian!"

Lelaki bermasker hitam itu tersenyum, dia membuka masker wajahnya lalu menyeringai ke arah korban di hadapannya.

"Bergas bodoh! Apa dia pikir aku benar-benar mengalami amnesia? Itu hanya tak tikku untuk meyakinkan orang lain mengenai siapa aku sebenarnya! Dan Jervian sudah tau siapa aku sebenarnya! Itulah sebabnya, aku tidak akan berhenti memburunya sampai ke ujung dunia! Aku tak akan berhenti sebelum aku benar-benar bisa melihat dia meregang nyawa di hadapanku, seperti apa yang sudah aku lakukan pada Arini! Gadis bodoh yang sudah berani membohongiku!"

Dering ponsel yang berbunyi dari dalam tas ransel yang dia bawa membuat perhatian si lelaki berpakaian serba hitam itu teralihkan dari korbannya.

Membuang batang korek api yang sudah padam ke lantai, lelaki itu berjalan ke arah dia meletakkan tas ranselnya dan mengeluarkan ponsel miliknya dari sana.

Tazkia Calling....

Menarik napas dalam-dalam, ekspresi bengis lelaki itu seketika berubah hangat.

Senyumnya merekah mempesona.

"Ya, Hallo sayang? Ada apa?" Ucapnya lembut menjawab telepon dari sang istri.

"Kamu di mana Mas? Bukannya tadi kamu udah tidur ya? Aku cari kok nggak ada?"

"Oh, Maaf Kia, tadi aku pergi nggak pamit. Ilham butuh bantuan di rumah sakit karena Dokter Mia nggak masuk, makanya aku gantikan. Tapi aku nggak lama kok. Satu sampai dua jam lagi aku pulang,"

"Oh, begitu. Bikin khawatir aja! Aku kira kamu ngapel ke tetangga sebelah!"

Tawa lelaki itu terdengar pecah. "Bisa aja kamu. Nanti kalau aku ngapelin Angela, aku bisa dibunuh Edhie, hahaha..."

"Sebelum Edhie bunuh kamu, aku duluan yang sunat kamu dua kali!" Goda Tazkia di seberang. "Yaudah, cepet pulang ya Mas. Aku mau tidur lagi,"

"Iya sayang. Tidur yang nyenyak ya?"

"Iya, Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Dan sambungan telepon itu pun terputus bersamaan dengan sirnanya senyum hangat di wajah si lelaki.

Menatap foto Tazkia di layar ponselnya, lelaki itu tersenyum miring. "Cepatlah lahirkan anakku, dengan begitu, aku tidak harus lagi repot-repot berpura-pura baik di depanmu! Menyebalkan!" Makinya sinis seraya melempar ponselnya ke dalam tas ransel.

Sadar waktunya tidak banyak, lelaki itu beranjak ke arah korbannya malam ini untuk menuntaskan semuanya.

Selesai memotong kedua jari tengah korbannya dan mencabut dua gigi atas dan bawah korbannya tersebut, Jericho alias Fadli pun membakar korbannya hidup-hidup.

Dalam diam dengan senyuman yang terukir sinis di wajahnya, Fadli seolah menikmati apa yang dia saksikan di hadapannya saat itu. Kesenangan dan sensasi yang dia dapatkan setiap kali selesai melenyapkan nyawa seseorang seolah seperti dirinya mendapatkan sebuah energi baru untuk hidup lebih lama.

Menatap ke arah langit kelam dari atas bangunan tua yang jauh dari keramaian, Fadli seakan berflash back ria pada masa kecilnya yang kelam.

Masa kecil yang harus dia lalui dengan penuh caci maki dan hinaan.

*

"Dasar monster! Anak pembunuh! Kalian itu tidak pantas hidup! Kalian lebih baik mati menyusul Ayah kalian si monster jahanam itu!"

*

"Bagaimana mungkin kami bisa menerima mereka di sekolah ini setelah semua orang tau siapa Ayah mereka? Meski Adnan Al-hakim sudah di eksekusi, tapi kejahatannya akan terus membekas di hati masyarakat terutama keluarga para korban! Kami jelas tidak ingin reputasi sekolah kami buruk karena harus menerima mereka!"

*

"Kak, kenapa semua orang mengatakan kita monster? Kenapa mereka semua membenci kita? Apa salah kita? Kita bukan monster! Aku tidak mau menjadi monster!" ucap Jericho pada Kakak kembarnya Jervian.

"Mari ikut Kakak," ajak Jervian, mengajak sang adik menuju Masjid.

"Sekarang, kita berdoa bersama agar kelak kita dewasa, kita tidak akan menjadi monster."

Dan Jericho pun mengangguk.

*

Pada akhirnya, Tuhan tidak mengabulkan doa-doaku!

Kini, aku menjelma menjadi seperti ayah!

Yaitu, seorang pembunuh!

Seorang monster!

Gumam batin Fadli saat itu.

Masih lekat dalam ingatannya pengalaman pertamanya membunuh manusia, di mana korbannya adalah anak-anak paman dan bibinya sendiri.

*****

Jangan lupa di Vote dan komen ya...

Salam Herofah 🙏😁

RAHASIA SUAMIKU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang