5. Trio Ceri

169 53 8
                                    

Layaknya sarapan, tubuhku mulai terbiasa disergap dinginnya pagi di Lembang. Bahkan, aku mandi sambil bersenandung riang.
Saking senangnya, air yang suam-suam kuku itu, tidak membuat aku menggigil lagi pagi ini.
Sebab, MOS sudah berakhir! Aku seperti bebas, merdeka dari penjajahan. Meski, tidak dengan pelajaran Matematika.
Mungkin ini akan terdengar berlebihan, tetapi, aku merasa akulah orang yang paling bahagia saat itu. Kasarnya-bertukar posisi dengan malaikat pun aku tak sudi.
Sampai aku sendiri tidak bisa menghitung, berapa kali aku becermin ketika memakai seragam putih-abu untuk pertama kalinya. Lantas dengan percaya diri, aku memasang ekspresi centil di depan cermin layak perempuan pada umumnya.
"Sekarang ... Tak ada basin lagi di kepala; tidak ada tas karung; tidak ada papan nama sebesar tampah; dan rambutku tidak perlu lagi dikepang dua!" celotehku seraya menyisir rambut di depan cermin.
Namun sayangnya, pagi itu Mang baren tidak bisa mengantarku pergi ke sekolah. Mang Baren bilang, ia harus pergi mengantar pesanan susu ke Nagrak Tengah. Karena itu aku harus berangkat pagi sekali agar tidak terlambat di hari pertamaku sebagai siswi SMA.
Selamat pagi sekolah baruku, aku Eksha Dhiatri! Siap menjadi siswi selama tiga tahun di sini! Batinku bersemangat sembari melihat bangunan sekolah yang tampak agung.
Saat aku berjalan di dekat pagar yang ditumbuhi tanaman bunga terompet di sepanjang sisinya, tiba-tiba seorang siswi menghentikanku. "Eh, tunggu!" serunya ketika aku hendak memasuki gerbang.
"Iya" aku menyahut.
Ternyata ada siswi yang datang sepagi ini selain aku, pikirku.
Ia seorang siswi baru juga, yang memintaku untuk menemaninya masuk. Kebetulan kami memilih jurusan yang sama, yakni kelas IPS.
Siswi itu memilin-milin ujung rambutnya yang lurus dan panjang. "Aku Dera Aprilianti. Nama Tionghoa-ku, Atien Tjia. Nama kamu siapa?"
"Nggg? Jadi, aku harus memanggil nama yang mana?" Aku bertanya.
Ia tetawa sambil menepuk dahinya. "Maaf, maaf. Panggil saja Dera!"
"Oke, Dera. Nama aku Eksha Dhiatri, salam kenal!" aku mengulurkan tangan.
"Salam kenal, Eka!" balasnya.
"Maaf." kubilang. "Bukan Eka, tapi, Eksha!"
Dera menutup mulutnya. "Eksha, ya? Maaf, aku salah dengar," ungkap Dera sambil menjabat tanganku. "Oh, aku ingat! Kamu yang waktu itu memanggil Ketua Panitia dengan sebutan kafir, kan? Tampak berbeda kalau rambutnya digerai," imbuh Dera.
Aku menghela napas sambil menyeringai.
Bagitulah awalnya aku bertemu dengan Dera, siswi berparas cantik yang akhirnya menjadi teman sebangkuku.
Aku dan Dera masuk ke kelas, dan belum ada siapa pun di dalamnya. Kami memutuskan untuk memilih bangku urutan ketiga dari depan, tepat di dekat jendela.
Lantas, beberapa menit kemudian datang dua orang siswi, mereka duduk di depan bangku kami. Salah satunya memperhatikan aku. "Kamu yang membuat lukisan di mading, kan?" tanya seorang siswi yang duduk di depanku, bertubuh tinggi dan tegap dengan aksen jawa yang kental ketika ia berbicara.
Aku terperangah. "Iya." kujawab. "Bagaimana kamu tahu? Bahkan di lukisannya, sama sekali tidak menyertakan namaku."
"Soalnya, aku yang ditugaskan panitia waktu itu, untuk memajang lukisannya di mading. Lukisan kamu, bagus! Layak jadi korlem sekolah," puji teman sebangkunya sambil tersenyum dan menyelipkan rambut ikalnya ke belakang gelinga.
"Oh. Terima kasih." kuucapkan dengan nada sungkan.
"Sek, sek, sek, kalo korlem kan, mesti ana tulisane, itu kan lukisan, tok! Wes, lupakan! O, iya. Aku Ratih Kusnadi," ucap siswi bertubuh tinggi dan tegap itu. (Tunggu, tunggu, kalau korlem kan, harus ada tulisannya, itu kan lukisan saja. Sudah! Lupakan!)
Aku pun menjabat tangannya.
"Aku Nining Purwasih," ucap yang satunya ikut memperkenalkan diri.
Dera pun ikut berkenalan dengan mereka, sebelum banyak murid berdatangan dan menempati bangku-bangku yang kosong.
Setelah perkenalan itu, kami bertiga mulai menjalani pertemanan yang dekat,-kau bisa menyebut kami menjadi sahabat baik-dalam waktu yang singkat.

Selain cantik, Dera adalah siswi yang mendapat beasiswa untuk masuk ke Gele Roos, sekolah kami. Sejak kecil ia tinggal di Kota Jakarta dan pindah ke Kota Bandung enam tahun yang lalu. Sebenarnya ... ia bisa memilih sekolah manapun, tidak akan menjadi masalah baginya, hanya karena sekolah ini dekat dengan rumahnya, jadi orang tuanya mendaftarkan Dera di sini. Ia mempunyai sifat yang manja dan terlalu kekanak-kanakan. Aku mewajarkan, mungkin karena Dera adalah seorang anak tunggal dari kaluarga yang kaya. Hobinya membuat origami dari uang kertas. Bahkan pernah suatu ketika, ia rela membeli makanan untuk kami bertiga, demi mendapatkan uang pecahan seratus rupiah yang banyak-untuk ia membuat origami-dari uang lima ribu yang ia belanjakan.
Sedangkan Ratih, ia siswi yang menggandrungi pelajaran olahraga. Ya, aku tidak heran, tubuhnya begitu proposional dengan bidang itu. Ia tipe orang yang acuh tak acuh, dan sering bergurau dengan kata-kata sarkasnya, jadi aku harus mengontrol diri agar tidak terlalu mengambil hati ketika ia mulai berkelakar. Meski Ratih berbicara dengan aksen Jawa-nya, tetapi ia juga fasih berbahasa Sunda, sebab ayahnya memang asli dari Majalengka, sementara ibunya berasal dari Cilacap. Kalau kau ingin meminta tolong kepadanya, siapkan ototmu. Ia akan mengajakmu bermain panco terlebih dahulu. Menang atau kalah tidak masalah, yang penting itu yang harus kau lakukan sebagai imbalannya.
Kebalikannya, Nining adalah orang yang lembut, agak pendiam dan aksen bicaranya justru sangat khas daerah Lembang. Ia lebih bijak dari ketiga temanku ini, meski terkadang sedikit telat dalam berpikir. Hobinya adalah makan. Jadi, tidak heran kalau pipinya sampai bulat seperti kue apam. Aku dengar dari Ratih, bahwa ayahnya Nining seorang pemuka agama yang cukup terkenal. Nining dan Ratih juga bertetangga dan sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP.
Selain itu, aku mempunyai kekaguman sendiri kepada tiga sahabatku ini. Aku selalu kagum dengan kepintaran Dera, yang tidak pernah merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas pelajaran apa pun, kecuali bahasa Sunda.
Aku juga mengagumi Ratih yang dapat dengan mudah beropini, menyampaikan apa yang ia tidak suka dan memberi tahu apa yang sedang ia rasakan, tanpa berpikir akan bagaimana kedepannya.
Kalau Nining, aku juga mengaguminya ketika ia selalu mampu menanggapi semua masalah dengan kepala yang dingin, tenang dan juga santai. Tidak seperti aku, yang mudah sekali panik, marah, dan memikirkan hal-hal yang dapat mengganggu hati dan pikiranku.
Tidak lama, ada seorang guru perempuan memasuki kelas. Ia memakai kemeja putih yang dilengkapi dengan rok sepannya yang panjang sampai ke bawah lutut, kemudian beliau memperkenalkan diri sebagai wali kelas kami. Namanya, Ibu Cutipah. Namun, semua murid sering memanggil beliau dengan sebutan 'Bu Ipah' saja.
Bu Cutipah langsung memenuhi papan tulis dengan sederet jadwal pelajaran.
"Ya ampun, pelajaran Matematika ada di hari Senin. Yang benar saja!" aku menggerutu pelan.
"Bukannya lebih bagus? Kamu bisa mempunyai waktu untuk mengerjakan PR Matematika di hari minggu," sahut Dera.
"Ya, kamu benar."
Segera kutulis jadwal pelajaran itu di lembar tengah buku catatanku, alasannya, agar lebih mudah kurobek dan kutempelkan nanti di dinding kamar. Saat itu pula, aku merasa ada sepasang mata yang tengah memperhatikanku, lantas aku melirik heran. "Kamu kenapa?" tanyaku.
"Aku masih penasaran, mau kutanya tapi sedikit ragu. Sampai tak tahan!" cetus Dera.
"Langsung ke intinya. Apa?"
"Ada hubungan apa, kamu dan ketua OSIS?"
"Ha? Ketua OSIS?"
"Iya. Orang yang jadi Ketua Panitia waktu MOS."
"Maksud kamu, Kak Firdaus?"
Dera mengangguk, matanya tidak berkedip dan terus menyelidik.
"Terus maksud 'hubungan' itu apa? Kenapa bertanya tiba-tiba?"
"Yaa, itu ..." Dera menguncupkan jari-jari kedua tangannya lalu di antuk-antukan.
"Ih! Tidak ada yang seperti itu!" aku menampik.
"Masa, sih? Padahal aku lihat, kamu sedang mengoleskan sesuatu ke punggungnya sambil mengobrol dan dia juga tertawa haha-hihi," cetus Dera.
"Kamu lihat? Berarti kamu salah paham! Soalnya aku yang membuat dia ..."
"Kalian! Yang duduk di dekat jendela. Jangan berisik! Kalau mau mengobrol, silakan di luar!" hardik Bu Cutipah.
Aku mengernyih. "Maaf, Bu."
Dera menunduk dan mengatupkan bibirnya. "Maaf, kita jadi kena marah," bisik Dera.
"Ssst, bahasnya nanti saja!" sahutku pelan.
Dera mengangguk setuju.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang