7. Pangeran Arab

169 54 20
                                    


Apa dia manusia? Wajahnya, jaket yang ia pakai, rambutnya dan benda yang dipegangnya itu, Benar-benar terlihat sama! Ia begitu mirip dengan sosok yang kulukis tempo hari. Apa dia keluar dari lukisan?  Batinku.
Mendadak, aku ingat satu film berjudul Lukisan Berlumur Darah  yang belum lama ini kutonton.  Tanganku menjadi dingin, jantungku juga berdetak lebih cepat. Mengerikan! Aku seperti terseret ke dalam adegan film horor.
"Kunaon ceunah?" tanya si Kurus Keriting kepada temannya si Gempal Pelontos, ia heran karena melihat aku mematung. (Kenapa katanya?)
Si Gempal Pelontos hanya mendongakkan bahunya.
"Beungeut urang sepa?" tanya laki-laki—yang wajahnya mirip dengan lukisanku itu—kepada kedua temannya. (Muka aku pucat?)
Keduanya menggelengkan kepala.
Dia menghampiriku. "Ini," ucap laki-laki itu mengepalkan selembar uang di tangan kiriku. "Winston, ya! Jangan sampai salah!" pesannya, lalu ia duduk kembali dan memainkan benda asing itu lagi.
Energiku seperti terkuras, lututku juga melemas.
"Marlboro satu bungkus," ucap si Kurus Keriting, ia juga menyodorkan aku selembar uang.
Kesadaranku seolah terganggu, tanpa sengaja aku meraih uang milik si Kurus Keriting. Aku menghela napas panjang, kemudian tidak bisa mengatakan apa pun. Aku kehabisan tenaga untuk menolaknya, hanya menatap kosong pada dua lembar uang pecahan seribu rupiah di kedua tanganku.
"Sha! Eksha?" panggil Nining. Membuyarkan semua yang ada dalam pikiranku.
Aku melihat ke arah tiga siswa kelas 3 itu, sebelum meninggalkan mereka dan menghampiri Nining sambil berlari.
"Kamu sedang apa? Kenapa bisa bersama mereka?" tanya Nining curiga.
"Gawat, Ning!" ucapku gemetar.
"Apa yang gawat?" tanya Nining. "Kamu di godain sama mereka?" pungkas Nining.
"Ih! Tidak!" kujawab cepat.
"Terus apa?" tanya Nining seraya menggoncangkan bahuku.
"Mereka menyuruh aku untuk membelikan rokok," kubilang.
"Rokok? Terus kumaha?" Nining memekik. (Bagaimana)
"Ssstt, jangan kencang-kencang! Aku tidak tahu, aku juga bingung." ... "Kita belikan? Atau, kita laporkan saja kepada Pak Udin?"
"Nanti kamu dianggap musuh! Apalagi mereka anak kelas 3," komentar Nining bergidik.
"Ya sudah, begini saja! Nanti, kita ke warung, terus kamu ajak Dera dan Ratih kembali ke kelas lebih dulu, biar aku bisa membeli rokoknya."
"Iya, aku mengerti," jawab Nining.
"Ingat! Jangan sampai ada yang tahu!" pintaku. "Ini, rahasia kita berdua!"
"Siap!"
Aku dan Nining langsung menjalankan misi rahasia, atau mungkin kau bisa menyebut ini sebagai perbuatan yang melanggar peraturan. Aku tengah dalam posisi dilema. Membeli rokok sebagai siswi SMA jelas hal yang tak pernah kulakukan, dan ini dapat mempertaruhkan reputasiku di sekolah.
Di warung Ceu Olim, aku menunggu sampai murid-murid lainnya pergi. Aku tak ingin salah satunya melihatku membeli barang yang diharamkan untuk seorang pelajar.
"Ceu, ada rokok Winston?" tanyaku kepada Ceu Olim.
"Ada, Neng!" jawab Ceu Olim beranjak dari kursinya.
"Sama Marlboro," tambahku.
"Memangnya buat siapa, Neng?" tanya Ceu Olim seraya mengambilkan aku kedua merek rokok itu dari rak.
Jelas aku tidak bisa menjawabnya, aku tidak mengenal mereka, aku juga takut kalau membocorkan informasi ini meskipun kepada penjualnya sendiri.
"Si Ali, ya, Neng?" tebak ceu Olim.
"Ali? Em ... Iya," kujawab asal seraya tersenyum getir.
"Ceu Olim tahu, soalnya cuma dia yang merokok merek ini, mah! Tapi Eceu jadi penasaran,  satu minggu ini eceu belum melihat anak-anak itu," papar Ceu Olim sambil menyerahkan dua bungkus rokok kepadaku.
"Mereka tidak datang ke sini, Ceu?"
"Iya. Kalau tidak salah, terakhir mah dia ketahuan ngerokok lagi oleh Kepala Sekolah terus di skors. Kejadiannya pas sebelum THB," sambung Ceu Olim sambil menghitung uang kembalian.
"Oh, sudah lama, ya. Jadi, baru kali ini dia beli rokok lagi?"
"Iya, biasanya—temennya si Ali itu—si Diki atau si Romi yang beli," kata ceu Olim memberi aku uang kembalian. "Eh, sekarang malah Eneng yang disuruh," pungkasnya.
Aku tersenyum masam dan tidak menjawabnya lagi. Nanti, aku malah dikira satu geng atau semacamnya dengan orang yang bernama Ali itu. Dan jangan sampai ada orang yang tahu selain Nining, nanti bisa-bisa aku yang dilaporkan kepada Pak Sutarsa.
Aku kembali dari misiku membeli rokok, namun yang mengejutkanku, tak kudapati pula ketiga siswa kelas 3 itu di tempat sebelumnya.
Kupilin plastik hitam yang berisikan dua bungkus rokok sampai terlihat seperti segulung sampah. Kemudian aku bertanya kepada beberapa orang yang melintas, tapi tidak ada yang mengetahui keberadaan mereka. Kutengok kiri-kanan sampai ke penjuru lapangan, tak juga kulihat batang hidung ketiga orang yang mulai membuat aku kesal.
Akhirnya aku berinisiatif, bertanya dengan nama Ali—seperti yang kudengar dari Ceu Olim—kepada siswi kelas 3. "Maaf, Teh.Teteh tahu, Ali ada di mana?" kutanya.
"Ali? Cocolok Kompor?" Ia balik bertanya.
Hah? apa maksudnya dengan Colokan Kompor? Aku sedang menanyakan seseorang, tapi mengapa malah mendapat jawaban yang membingungkan. Batinku.
"Ali yang pakai jaket hijau itu," kujelaskan.
"Iya, Dia. Biasanya, kalau tidak ada di belakang musala, Ali dan teman-temannya suka pergi ke perpustakaan."
"Oh, kalau begitu ... nuhun ya, Teh?"
Sesegera mungkin kucari ke belakang musala, dan mereka tidak ada di sana. Lantas aku setengah berlari ke tempat selanjutnya yang tidak lain adalah perpustakaan.
"Rajin juga mereka! Pergi ke perpustakaan di jam istirahat!" dengusku.
Langkahku berhenti di sudut bangunan sekolah—antara kelas 2 IPA dan kelas 2 IPS—kau dapat melihat sebuah ruangan yang memiliki dua pintu berwarna biru muda dengan gagang yang sudah patah salah satunya. Terdapat kertas yang menempel di pintu bagian kanan dengan tulisan 'Perpustakaan' yang ditulis menggunkan mesin tik.
Aku membuka salah satu pintunya, menjulurkan badan untuk memeriksa. Melirik ke kanan-kiri dan memasuki perpustakaan dengan melangkah pelan.
Sepi, tak ada satu orang pun! Benakku. Setelah kuperiksa lorong perpustakaan satu dan dua.
Aku mulai naik pitam, selain menuruti permintaan mereka membeli rokok. Aku juga tidak bisa mengudap makanan yang sudah aku beli, padahal waktu istirahat tinggal sebentar lagi. Terlebih, aku harus mencari mereka kesana-kemari membawa barang yang mungkin bisa jadi bumerang untuk diriku sendiri.
Perpustakaan yang sepi membuatku merinding, belum lagi mengingat penampakan orang itu seperti mustahil terjadi di depan mata.
"Kosong! Harus mencari ke mana lagi?"
Tidak ada waktu untuk mencari mereka ke tempat lain, apa aku harus mendatangi mereka langsung  ke kelas 3 IPA dan IPS?
"Lebih baik aku kembali ke kelas." aku berkata pada diri sendiri.
"Langit!" Lantas aku memekik saat merasakan sentuhan di kakiku. Spontan aku beristighfar beberapakali dan jantungku terasa mau lepas saat itu juga. Kuelus-elus dadaku, sambil mengatur napas.
Dengan bulu kuduk yang merinding aku berkata, "Apa itu? Jangan-jangan jin penghuni sekolah?"
"Aku itu manusia!" suara yang berat namun lembut terdengar dari bawah meja.
Aku semakin takut dan ingin kabur. Namun, jangankan berlari, rasanya kakiku saja sudah telanjur berat untuk melangkah. Kemudian sebuah tangan muncul di bawah meja. Tangan seseorang dengan jam tangan karet di pergelangannya.
Jika itu jin, tidak mungkin dia memakai jam karet, batinku.
Aku mengambil posisi jongkok untuk melihat ke bawah meja.
"Takut?" tiba-tiba ia bertanya, dan aku tersentak begitu aku melihatnya. Sangat dekat, sampai hanya berjarak 15cm dari tempat ia tengkurap.
Itu adalah laki-laki yang memakai jaket berwarna hijau tadi, ia tengah tidur tengkurap di kolong meja. Kulihat juga si Kurus Keriting dan si Gempal Pelontos sedang tidur meringkuk, berada sedikit jauh darinya.
"Astagfirullah. Kok, pada tidur di sini?"
"Biar tidak ada yang mengganggu," sahutnya.
"Tapi tidak harus mengagetkan orang juga!" kubilang sinis.
"Maaf, kalau kamu terkejut."
"Mereka tidur juga?" aku menunjuk kedua temannya dengan wajahku. "Sepertinya pulas sekali."
"Habis begadang semalaman," jawabnya singkat.
"Ini, sudah saya belikan rokoknya!" kusimpan dua bungkus rokok itu di atas lantai. "Lalu, ini kembaliannya," sambungku, saat kuletakan uang kembalian pecahan 100 dan 25 rupiah di atas bungkus rokok.
"Terima kasih," ungkapnya sambil mengubah posisinya menjadi setengah duduk. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" tanyanya sambil mengerutkan dahi. Ia memperhatikanku dengan tatapan yang heran, terkesan tidak normal. Alisnya yang tebal sesekali turun naik.
"Hah? Tidak!" aku menyangkal.
"Iya! Ada yang aneh?"
"Tidak!" kilahku.
"Iya! Mengaku saja!"
"Itu ... Itu karena Kakak ...."
"Mirip hantu?" Ia menyela.
"Bukan begitu! Tapi ... Kakak mirip sekali dengan orang yang pernah saya temui."
"Bukannya tadi ... Kita memang bertemu di dekat toilet?"
"Bukan!"
"Bukan saya?" Ia bertanya sambil memainkan kerah baju seragamnya.
"Bukan. Tapi, orang lain!" kujawab.
"Oh, jadi memang bukan saya, ya?" timpalnya dengan nada yang sarkastis. "Lalu siapa dia?" tanyanya penasaran.
Aku sedikit menyeringai, sebab ... aku pun bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin kukatakan bahwa, itu hanya sebuah lukisan. Orang yang mendengarnya, bukan lagi akan tertawa, tapi akan menganggap itu seperti pernyataan bodoh, dan bukan menyeramkan. Tidak juga akan seperti cerita misteri, horor ataupun fantasi. Lebih pantas jika itu disebut fabel, cerita tentang lukisan seorang anak yang tiba-tiba menjadi hidup. Apalagi jika kukatakan, bahwa ia mirip orang yang ada di dalam mimpiku. Mungkin ia akan beranggapan, aku telah bermimpi jorok.
Alih-alih menjawab, aku beranjak dan berpamitan. "Saya mau kembali ke kelas."
"Tunggu!" Ia mencegah.
"Iya." kujawab.
"Nama?"
"Nama?" Aku sejenak berpikir. "Saya?" tanyaku.
"Adikmu!" Ia terkekeh. "Lawan bicaraku!" lalu meralatnya.
"Eksha." kujawab.
"Esa?"
"Eksha! E, KA, ES, HA, A!  Eksha!" Kuulangi sejelas mungkin.
Laki-laki itu tertawa mendengar aku mengeja. "Oh, Eksha. Saya Ali." Ia menyebutkan namanya, sambil mengeluarkan sebuah korek api dari dalam saku celananya.
"Iya. Sudah tahu." kujawab spontan.
"Jadi, sebelumnya ... kamu sudah tahu nama saya?"
"Tiiidak juga,"
"Tadi, kamu bilang? Emm, wajar, sih! Saya memang terkenal di sekolah," tuturnya.
Aku menganga. "Jangan terlalu percaya diri!  Saya baru tahu dari Ceu Olim, ketika saya membeli rokok. "
"Oh," desah Ali tersipu.
Melihat itu aku tak kuasa menahan tawa, sampai kugigit sedikit lidahku sendiri.
"Jangan sampai ada yang tahu!" Ali menunjukkan sebungkus rokok yang kubeli tadi. Aku mengerti apa yang ia maksud dan aku hanya mengangguk. Lantas ia mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya.
Gila! Bahkan dia berani merokok di dalam perpustakaan, batinku sambil menggelengkan kepala.
Perpustakaan memang selalu sepi, tetapi bukan berarti tidak ada satu guru pun yang akan masuk. Ia benar-benar menggali lubangnya  sendiri!
Belajar dari kasus Firdaus tempo hari, aku keluar dari perpustakaan dengan hati-hati.
Aku masuk ke kelas bersamaan dengan suara lonceng. Karena aku menghilang terlalu lama, Dera melemparkan pertanyaan kepadaku. Ke mana aku sepanjang jam istirahat? Aku memberi alasan klasik dengan berkata bahwa, aku sakit perut. Ratih hanya menghela napas mendengar alasanku itu, sedangkan Nining melihatku dengan tatapan penuh rasa khawatir.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang