Prolog

195 56 7
                                    

"Hei, matikan rokoknya! Lihat! Asapnya sudah menyebar ke seluruh ruangan," teriak si Bocah, aku memanggilnya seperti itu, meski kepalanya sudah mulai ditumbuhi uban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hei, matikan rokoknya! Lihat! Asapnya sudah menyebar ke seluruh ruangan," teriak si Bocah, aku memanggilnya seperti itu, meski kepalanya sudah mulai ditumbuhi uban.
Lantas aku mendengus, bersikap tak acuh dan berpura-pura tidak mendengarnya.

            Di ambang pintu, antara ruang keluarga dan dapur—Aku masih duduk sambil melipat kedua kakiku, menyulut sebatang rokok untuk kedua kalinya—ditemani sebuah radio tua yang sudah lama ada di rumah ini, kapan? Seingat ku, itu tiga puluh enam tahun yang lalu.

Aku memutar tuning, sehingga muncul suara gemuruh dan lengkingan saat jarum merah itu bergerak dari satu saluran ke saluran radio yang lain, berharap menemukan siaran yang memutarkan lagu-lagu barat. Tanpa sengaja, aku menghentikan pencarian, ketika sebuah lagu yang berjudul "Katakan Sejujurnya" sedang diputar. Lagu yang diciptakan oleh Rinto Harahap pada tahun 1987 itu, sempat dipopulerkan seorang penyanyi wanita bernama Cristine Panjaitan. Bedanya, lagu yang aku dengar saat ini—sudah diaransemen ulang—oleh kelompok musik bernama Armada. Namun itu tidak mengurangi rasaku, untuk mengenang kembali momen bahagia dan sedih, meski sesekali, lagunya menjadi samar—menyatu bersama saluran lain—akibat sinyal yang buruk.

            Anehnya, beberapa saat kemudian, aku mulai merasakan sesuatu yang sukar untuk dimengerti ketika aku menghisap dan mengepulkan asap-asap dari mulutku. Ini bukan tentang rasa dari tembakau itu sendiri, tetapi timbul sensasi dimana hatiku ini seperti disayat-sayat. Apa ini pertanda aku harus berhenti merokok(?) Apa seiring waktu, nikotin dapat merubah perasaan(?) Atau ... Apakah ini karena lagu yang sedang aku dengar(?) Pertanyaan itu muncul begitu saja di benakku.

"Rokoknya belum kau matikan juga?" Bocah itu kembali berteriak.

"Dasar Bocah! Berisik sekali!" aku menggerutu pelan sambil memasukan lintingan tembakau yang masih setengah panjang itu ke dalam kaleng bekas minuman, yang sedari tadi ku jadikan tempat untuk menampung abu-abunya. Lantas aku pun menarik steker untuk mematikan radio, yang suaranya mulai meredam ... tidak jelas.

          Di ruang keluarga, si Bocah dan satu laki-laki lainnya tengah menonton pertandingan sepak bola di televisi, "Sudah tua, masih saja merokok!" umpat si Bocah ketika aku menghampirinya.

"Biarkan saja!" Aku menyahut kesal. Aku merasa tak ubahnya radio butut tadi, tua.

Kedua laki-laki itu, kini tengah terbawa emosi melihat bola yang sedang digiring kesana-kemari oleh para pemainnya, sementara aku masih tegak bertumpu di belakang mereka.

"Ini pertandingan piala dunia?" Aku bertanya. Si Bocah hanya menganggukkan kepala.

"Tim mana yang bermain?"

"Persimpangan Eropa melawan Negeri Magribi," sahut si Bocah, membuatku bingung.

"Negara mana itu?"

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang