6. Rebing Hood

162 52 6
                                    

Ahh, iya. Aku lupa! menceritakan tentang satu orang ini kepadamu. Orang yang tengah berdiri di depan kelas itu, ia adalah Ahmad Suhendar yang sering menggangguku ketika aku masih menjalani masa orientasi siswa. Ia menjahiliku, mengintip rok dengan rautan pensil yang memiliki kaca di satu sisinya; memainkan rambutku yang kala itu masih dikepang dua; menepelkan kertas di punggungku dengan tulisan bernada ejekan; mengolok-olok namaku pada hari pertama menjadi peserta didik di sekolah ini; bahkan aku sempat kerepotan mencuci rok karena ia menempelkan permen karet di kursi yang aku duduki.
Kini ia menghampiriku seraya berkata, "Akhirnya, kita bisa satu kelas lagi!" sebelum ia pergi ke tempat duduknya di bangku paling bekalang.
Dan baru satu minggu resmi menjadi siswa di kelas 1 IPS, Suhendar berani membolos, selalu telat masuk sekolah, merokok, sampai pernah kena kasus maling ayam dan didatangi pemiliknya ke sekolah. Karenanya, murid di kelas menjuluki Suhendar dengan nama 'Rebing Hood', yang mana dalam bahasa sunda Rebing artinya telinga lebar atau caplang. Dan Hood, diambil dari nama tokoh pencuri dalam cerita rakyat Inggris, yang menjadi buah bibir ketika kasus perampokan Johny Indo terjadi.
Saat itu Dera tengah pergi ke toilet bersama Nining, sementara aku masih menulis pelajaran bahasa Inggris bersama Ratih. Tiba-tiba, si Rebing Hood datang dan duduk di bangkuku ...
"Beatrix, nanti istirahat kita ke Pada-moro, yuk?" ajak Suhendar.
Aku melirik dengan mata tajam tanpa memberinya jawaban kemudian lanjut menulis.
"Beatrix, kenapa tidak dijawab?"
"Namaku, Eksha! Bukan, Beatrix!"
Suhendar mendecak. "Kalau tidak dijawab aku tidak akan pergi. Biar duduk di sini saja sampai waktu istirahat tiba," ... "Kamu lagi apa, sih? Tampaknya sibuk sekali!"
"Kamu tidak melihat? Aku sedang menulis! Sana pergi!" Aku menyergah.
"Jangan begitu! Bagaimana kalau aku menyemangati kamu di sini?"
Aku mengepalkan tangan dan mengacungkannya. "Pergi! Atau tangan ini melayang sampai ke mukamu!"
Suhendar malah menyeringai, dan menopang dagunya seraya memperhatikan aku.
"Kenapa malah tersenyum seperti itu?" kutanya.
"Marahnya saja cantik. Coba tersenyum, pasti lebih cantik."
Aku benar-benar tidak suka didekati oleh laki-laki macam Suhendar, napasku selalu sesak, dadaku menjadi nyeri, dan ingin muntah. Kondisi seperti ini tidak serta-merta terjadi ketika aku bersama laki-laki lain, misalnya, mereka yang bersikap biasa-biasa saja tanpa ada embel-embel merayu, atau memberi perhatian yang tidak melebihi batas wajar.
Dera berdiri sambil menolak pinggang. "Awas! Aku mau duduk!"
Bukannya menyingkir, Suhendar malah terus memepetku, memberi Dera tempat duduk. Makin aku menghindar, makin pula ia mendekat, sampai aku duduk di ujung bangku, memojok ke jendela dan tak bisa bergerak lagi.
"Pergi!" pinta Dera.
"Tidak mau!" tolak Suhendar.
"Sudah, pergi sana! Kasihan tuh, si Eksha sudah mirip pergedel yang tergencet," timpal Ratih.
"Iya, kamu itu kerjaannya mengganggu saja!" sergah Dera.
"Bae atuh, Dera! Meni sok timuru!" balas Suhendar. (Biarin, Dera! Suka cemburu saja!)
"Ih, najis!" sambung Ratih merasa geli.
Lantas Dera pun berkelakar, ia menyeka-nyeka tangannya ke baju seragam Suhendar seraya berkata, "Nih! Aku lap ke baju kamu! Tanganku bekas daging babi!"
Kemudian Suhendar pergi, ia menyerah. Tidak kusangka orang segapil dia, bisa terganggu dengan kelakar semacam itu.

***

Malam Minggu. Aku berniat mengirim surat kepada keluargaku di kampung, rasa rindu sudah mulai menjalar sampai ke ubun-ubun. Mengingat, kini aku dalam keadaan senang menjalani kehidupan sebagai siswi SMA. Tentu aku harus bertukar kabar, agar mereka tidak serta-merta berpikiran bahwa, aku dalam keadaan yang tidak menyenangkan.
"Kamu punya prangko?" Aku bertanya pada Anne.
"Prangko? Sebentar, aku cari dulu siapa tahu masih ada," balas Anne seraya memeriksa lacinya. "Untungnya masih ada dua lagi, ini!" Anne merobek dan memberikan salah satu prangkonya kepadaku.
"Alhamdulillah, rezeki!" cetusku, menerima prangkonya dengan senyuman lebar. "Jadi, aku tidak perlu memotong uang jajan," imbuhku.
"Mau kirim surat ke siapa?" tanya Anne sambil memasukan kembali satu sisa prangkonya ke dalam laci. "Sama si Ua, ya? Kamu pasti rindu keluar di kampung," sambung Anne.
"Iya."
"Amplopnya ada?"
"Kalau amplop mah ada, sudah minta sama Si Bibi tadi di warung."
"Emh, ya sudah."
"Terima kasih, ya?"
"Iya. Salam buat si Ua," pungkas Anne.
Aku menulis surat untuk keluargaku, sambil mendengarkan lagu Helen Sparingga dan Fariz RM di dek kaset yang sengaja paman simpan-manakala aku bosan, dengan leluasa aku bisa memutar kaset atau sekadar mendengarkan dongeng Wa Kepoh-di kamar.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang