2. Keluarga Walanda

187 62 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku terkejut!
Ketika terbangun dari tidur dan mendapati diriku berada di ruang yang asing—dengan benda-benda yang kuanggap modern—aku belum sadar betul, bahwasanya aku telah pindah ke rumah Bi Iseu.
Dengan nyawa yang belum genap terkumpul, aku mengingsut dari ranjang, berjalan sambil terhuyung-huyung sebelum akhirnya sampai di kamar mandi dan menggigil. Rasanya aku ingin kembali bersembunyi di bawah selimut, dan menyusupkan kepala di antara bantal-bantal yang empuk. Mungkin, pagi itu suhunya mencapai sebelas derajat celsius, sebab airnya dua kali lebih dingin dibandingkan suhu air di kampungku.
Akibatnya, hidungku terus berair dan tidak henti-hentinya bersin. Uap yang keluar dari mulut dan hidungku menunjukkan betapa dinginnya udara pagi itu, sampai-sampai aku mengenakan sweater dan dilapis pula dengan sebuah jaket.
Di luar masih berkabut, namun aku memutuskan untuk menyusul Bi Iseu ke Istal yang letaknya hanya beberapa belas meter ke arah belakang rumah.
Aku memakai sepatu bot dan menaiki dua baris anak tangga dari tanah, yang mengarah langsung ke Istal. Sesampainya di Istal, lantas aku mengambil seikat rumput odot untuk kemudian kuberikan kepada sapi-sapi yang ada di kandang. Bau yang menusuk sedikit membuatku mual, mungkin karena aku belum terbiasa dengan lingkungan  peternakan.
"Kenapa ke sini?" tanya Bi Iseu, ia terkejut melihat aku yang sedang memberi makan salah satu sapi peliharaannya.
"Di rumah sudah bersih. Eksha jadi bingung, pekerjaan apa lagi yang harus Eksha bantu."
Bi Iseu menghela napas. "Tidak perlu! Di sini dingin! Kamu pasti belum terbiasa dengan udaranya. Yang ada kamu bisa masuk angin," kata Bi Iseu terdengar sangat mengkhawatirkan aku. "Ayo, masuk! Bibi akan membuat sarapan."
Bibiku yang memiliki nama lengkap Iseu Maryanti itu, biasa memerah susu sapi di pagi hari, menjaga warung, merawat kebun, atau sekadar mengantarkan anak bungsunya pergi ke sekolah. Sarapan pertama yang ia buatkan untukku adalah waffle pala, dengan potongan buah-buahan dan diberi sedikit madu di atasnya. Minumnya segelas susu sapi segar yang ia perah sendiri.
"Makan yang banyak! Habiskan!" ujar Paman.
Pamanku yang aku panggil Mang Baren atau lebih dikenal orang dengan sebutan Akang Jagal, adalah pria pucat yang kemarin mengajak aku berbicara dengan bahasa Belanda. Sungguh! Kemarin itu, aku tidak ingat jika pria ini adalah suami dari Bi Iseu, yang tidak lain adalah pamanku sendiri. Sepertinya, ingatanku di masa kecil, sama sekali tidak menyimpan kenangan tentangnya.
Mang Baren bekerja sebagai tukang jagal sapi dan mensuplai susu ke toko-toko ataupun menjualnya ke perorangan. Ia—dengan gaya berpakaiannya yang khas, sering memakai jaket kulit dan topi koboi—adalah orang yang paling sulit diajak bicara serius.
Ia juga sering memotong pembicaraan orang, atau lawan bicaranya—dengan berkata [bahasa sunda] 'Wah, Maenya?' atau 'Wah piraku?' yang artinya: Wah, masa? Ada kata lainya seperti 'Aslina eta teh?' —meski sebenarnya ... aku sedang tidak berbicara dengannya, kadang, itu membuat aku sebal. Tapi terlepas dari itu, ia adalah seorang paman yang sangat baik.
"Kamu mau dengar cerita?" tanya Paman sambil memberikan aku beberapa potong buah mangga di atas piring makanku.
Keningku mengerut. "Cerita apa itu?"
"Dulu, jauh sebelum Mamang lahir. Ada seorang gadis yang benama Ines. Ia seorang anak dari penjajah Belanda, yang jatuh cinta kepada Rasta seorang pemuda sederhana yang bekerja sebagai penggembala sapi milik orang lain. Dan mereka menjalin hubungan. Suatu hari orang tua dari Ines mengetahuinya, tentu saja mereka menentang hubungan itu." Mang Baren menceritakannya dengan gaya bicara yang amat dramatis.
"Terus hubungan mereka berakhir?"
"Tidak, mereka terus memperjuangkannya. Bahkan sampai empat tahun lamanya, berjuang atas nama cinta! Dan akhirnya ... mereka pun menikah."
Aku mengernyit. "Cuma itu?"
Bi Iseu terkekeh dengan makanan di mulutnya.
Mang Baren mendecak. "Bagaimana bisa, 'cuma itu'. Mereka penuh perjuangan. Tanpa perjuangan itu, Mamang tidak akan lahir ke dunia."
"Oh, jadi itu kisah orang tua Mamang?" kutanya. Mang Baren mengangguk.
"Romantis." aku berkomentar.
"Jelas! Romeo dan Juliet saja, kalah!" sahut Mang Baren dengan bangga.
"Lantas, di antara Mamang dan Bibi ... Siapa yang ... suka lebih dulu?"
Mendengar pertanyaanku keduanya pun terkejut dan saling menujuk satu sama lain. Karena hal itu pula, semua orang di meja makan pun tertawa, dan gelak tawa anak sulungnyalah yang terdengar paling kencang.
Anak sulung mereka bernama Anneke Van Baren, biasa dipanggil Anne. Meski ia adalah adik sepupuku, tapi usianya sama dengan Acep, selisih empat tahun lebih tua dariku. Ia baru lulus SMA tahun ini, dan sama pintarnya dengan Acep perihal pelajaran Matematika. Kini, ia sedang mempersiapkan diri untuk masuk sebagai mahasiswi baru di IKIP Bandung.
Anne memiliki hidung yang mancung mirip dengan ayahnya, bulu mata yang lentik, bola mata indah berwarna hitam kebiruan, yang mana ... bila ia sedang menatap ke arahku, aku tidak pernah tidak untuk melihat matanya yang cantik itu. Ia juga ramah dan mewarisi sifat humoris dari ayahnya.
Sedangkan, adik laki-lakinya bernama Hendrik Van Baren, ia baru duduk di bangku kelas lima tahun ini, sama dengan adikku; Yatna. Ia hobi menggambar, gigi serinya yang tanggal, menambah kesan lucu ketika tertawa. Dan aku tidak yakin kalau ia akan menjadi anak bungsu, pasalnya aku pernah mendengar, Paman ingin menambah momongan lagi.
Setelah sarapan, Anne mengajakku untuk berkeliling di sekitar tempat tinggalnya, sementara Bi Iseu membuka warung. Dan Mang Baren sudah pergi mengendarai Motor Suzuki A100 kesayangannya, entah ke mana.
Saat kulihat rumah Bi Iseu dari luar, luasnya seperti setengah dari bangunan sekolah dasarku dulu. Rumah yang bentuknya seperti huruf L dengan cat berwarna krem, dan empat jendela krapyak. Di bawah dindingnya terdapat ornamen batu berwarna hitam dan putih, begitu juga setengah dari dinding pagarnya itu. Di bagian depan sebelah kanan ada warung yang sudah dibuka sejak Anne berusia sembilan tahun.
"Bagaimana ... Betah?" tanya Anne, ketika kami berdua berjalan beriringan tanpa tahu arah tujuan.
"Betah." kujawab seperti itu meski aku baru saja sehari tinggal di rumahnya.
"Di sini dingin, jalanannya menanjak dan menurun, kalau mau pergi ke sekolah lumayan jauh, harus naik ojek dan juga angkot. Kamu tidak keberatan tinggal di sini?"
Aku menggeleng. "Tidak, tentang itu semua ... nanti juga akan terbiasa."
"Iya, benar. Seiring waktu akan terbiasa."
"Lagi pula pemandangan di sini sangat indah, aku menyukainya. Lihat ...!" aku menunjuk ke arah bukit belakang rumah Bi Iseu yang sudah kami tinggal lumayan jauh. "Bukit itu ... seperti nutrisi untuk mataku."
"Ha? Nutrisi? Ada-ada saja!" Anne menggelengkan kepala.
Aku dan Anne terus berbincang di sepanjang jalan, membahas ini dan itu. Bahkan ia sampai membahas tentang desa ini, yang kebanyakan kepala keluarganya bekerja sebagai peternak sapi perah. Sampai ia menceritakan juga, sejarah Desa dan peternakan yang tak luput dari peranan Keluarga Ursone yang berasal dari Italia pada tahun 1880, tentu itu belum pernah kuketahui sebelumnya.

***

Siang itu, aku menjaga warung.  Samar-samar terdengar, Anne dan Bi Iseu seperti sedang memberdebatkan sesuatu di ruang tamu. Aku tak memedulikan, sebab menahan rasa kantuk, hingga sempat tertidur ketika kepalaku tenggelam—di antara kedua tanganku yang terlipat di atas meja.
Saat aku tersadar, Bi Iseu sudah membawa satu kantung besar berisi belanjaan yang telah ia beli di Pasar Lembang. Dan mengeluarkan salah satu barang belanjaannya di hadapanku.
"Kamu coba, pasti pas!" pinta Bi Iseu, seraya membentangkan sepotong baju di depanku.
"Seragam Eksha?" kutanya.
"Iya, coba kamu kenakan! Sudah bibi ukur," balas Bi Iseu sambil menjengkal lebar bahuku. "Tuh! Lebarnya, pas!" imbuhnya.
Selama sembilan tahun, biasanya aku hanya memakai seragam bekas, pemberian sepupu atau memakai baju seragam Acep. Mungkin langit juga merasakan bagaimana perasaanku saat ini, senang luar biasa.
"Tapi bagaimana dengan sekolahnya?" kutanya penasaran.
"Kalau soal itu, biar Bibi yang urus nanti," ucap Bi Iseu sambil melipat baju seragam itu, kemudian memberikannya kepadaku.
Mataku mulai mengeluarkan air mata, dengan lirih kuucapkan terima kasih. Bi Iseu memelukku dan berkata, "Sekarang, kamu itu tanggung jawab Bibi," ungkapnya seraya mengelus-elus rambutku.
Malam harinya,  saat aku tengah sibuk membuat adonan gurandil di dapur. Bi Iseu dan anak sulungnya kembali membuat keributan, tetapi kali ini, Mang Baren pun ikut serta.
Anne menarikku ke ruang tamu. "Sha, kamu sekolah di Setiabudi saja. Biar dekat dengan kampusku," pinta Anne.
"Tidak! Bibi sudah pilih sekolah yang ada di Maribaya. Bagus!"
"Jangan! Mending di Jayagiri saja. Biar dekat jaraknya dari rumah," usul Mang Baren.
"Tapi ..." aku berusaha menyela namun mereka terus saja beradu mulut.
"Setiabudi!" ... "Maribaya!" ... "Jayagiri!" Mereka terus meneriakan nama tempat itu, beserta menguraikan segala alasan yang mereka miliki.
Aku hanya menjadi penonton, sementara ketiganya terus berdebat selama setengah jam, kepalaku rasanya sudah mendidih mendengar teriakan mereka di malam hari.
"Cukup! Ini sudah jam sembilan lebih. Lihat Hendrik! Ia sudah mulai mengantuk." Aku melerai.
Semuanya terdiam, menoleh bersamaan di tengah perdebatan yang sengit, hanya karena memilih di mana aku bersekolah nanti.
Ide kekanak-kanakan muncul di kepalaku, terserah mereka akan setuju atau tidak. Lantas aku berkata, "Bagaimana kalau hompimpa saja?" Awalnya, ketiganya hanya menekuk wajah saat mendengar perkataanku, tapi akhirnya, mereka mengikuti ide kekanak-kanakanku itu dan melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemenangnya.
Dan ... Bi Iseu yang menang!
Anne membengis. "Kenapa Mama yang menang? Aku jadi tidak ada teman berangkat ke kampus nantinya!"
"Papa juga! Akan jadi tukang ojek setiap pagi," timpal Mang Baren.
"Eleuuhh! Memangnya Papa tidak mau, mengantarkan keponakannya sendiri ke sekolah?" tanya Bi Iseu.
Mang Baren menatapku. "Tenang saja. Mamang mau, kok! Mengantarkanmu ke mana saja. Mamang cuma bercanda, jangan di ambil hati dan jangan sampai kamu mejadi sungkan!"
Aku tersenyum seraya mengangguk. "Terima kasih," ucapku.
"Kalau begitu, besok Eksha ikut Mamang!"
"Ke mana?" kutanya.
"Bibi kamu itu kan, belum membelikanmu sepatu. Mamang akan membelikan kamu sepatu baru, anggap saja itu panyecep." (Hadiah)
Seketika Bi Iseu dan Anne, melihat sepasang sepatuku, yang ada di rak dekat lubang pintu. Keduanya menatap sendu, seolah aku bisa mendengar suara batin mereka. Begitu rongsoknya! Sepatu sejak kapan, yang masih aku pakai? Sementara Anne beralih menatap sederet sepatu-sepatu miliknya—yang mungkin lebih dari enam pasang—di rak sebelahnya.
"Kalau begitu, besok lusa, Bibi akan antar kamu mendaftar ke sekolah baru," sambung Bi Iseu.
"Aku juga! Akan mengajakmu beli peralatan menulis ke Borobudur," timpal Anne. (Borobudur Toserba)
Di sana, aku mulai merasakan perhatian yang kian besar dari saudara jauh ini. Yang tetangga-tetangga sering memanggil mereka dengan sebutan "Keluarga Walanda", itu karena kepala keluarganya (Mang Baren) yang tak lain adalah keturunan dari Belanda.

***

Kamis, 7 Juli 1988.
Langit, kini aku tahu. Kebahagiaan itu bisa kita dapatkan di mana saja. Bahkan aku mendapatkannya sebelum menginjakan kaki di rumah asing ini, tepatnya ketika Bi Iseu mengirimkan surat. 
Sekarang ini rumah kedua yang aku tinggali; sekarang mereka adalah keluarga kedua yang tak kalah hangatnya dari pelukan ayah-ibuku. Aku tidak merasa asing; aku tidak seperti orang asing; aku tidak pernah dipandang sebagai orang yang menumpang.
Jauh sebelum tindakan-tindakan mereka yang membuat aku tergugah, tatapan tulus mereka begitu melekat dipelupuk mata. Dekat, hangat, bahkan aku sendiri tidak bisa mengukur, sebesar apa syukur yang kupanjatkan hari ini.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang