8. Dua Gila di Atas Balkon

164 54 8
                                    

Pagi itu. Dera tergesa-gesa, menghampiriku yang ketika itu tengah menajamkan ujung pensil menggunakan silet. Kemudian ia berkata, "Sha, kamu tahu? Gosip itu sudah menyebar sapai ke kelas 3!" matanya yang sipit itu melebar, napasnya pun sampai terengah-engah.
Aku berusaha menjawabnya dengan santai. "Oh, cuma gosip, kan? Nanti semua orang juga lupa."
Ratih yang baru datang pun berkata, "Ternyata kamu orangnya? Pacar Ketua OSIS itu?" tentu saja Ratih mengatakannya dengan ekspresi yang amat terkejut. Kami yang sudah tahu ia mengidolakan si Algojo itu, tidak lagi merasa heran dengan respons yang ia tunjukan.
Aku menghela napas. "Itu cuma gosip! Tenang saja! Kau boleh memilikinya. Tapi kalau dia mau," kujawab sambil diselingi tawa kecil.
"Memang bagaimana awalnya? Kenapa bisa kamu digosipkan dengan siswa kelas 3?" tanya Nining.
Dera memberi tatapan, seolah ia berkata, aku memang harus menceritakan semuanya kepada ke tiga Ceri ini.
Aku pun menganju, meminta mereka untuk duduk di bangkunya terlebih dahulu, kemudian aku ceritakan tentang insiden di Pada-moro. Perihal gosip saja, rasanya dunia menjadi berisik sekali! Setelah aku bercerita panjang lebar, aku meminta mereka agar tidak membahasnya lagi.

***

Saat mata pelajaran terakhir, semua murid mendapat tugas membuat organigram kelas, jadwal piket, sampai hiasan kelas bersama Fitri si Sekbid Kreativitas. Sedangkan aku, Dera, Ratih, Nining dan dua orang yang lain bertugas membuat peta Kota Bandung.
"Ratih?" panggil Dera. "Bagaimana kalau tugas kelompoknya di rumahku saja?"
"Ide yang bagus. Rumahmu kan, besar," celetuk Ratih.
"Iya. Tidak ada yang akan mengganggu dan merasa terganggu juga," timpal Nining.
"Bagaimana menurut kamu?" tanya Dera meminta saran kepadaku.
"Aku mah, ikut saja."
Dua siswi lain yang ada di kelompokku juga menyetujuinya, karena lokasi rumah Dera tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Sepulang sekolah, kami pun bergegas menaiki angkutan kota  menuju rumah Dera yang beralamat di Kayu Ambon. Sangat dekat, hanya memakan waktu sepuluh menit dari sekolah.
"Padahal tinggal jalan kaki," aku memprotes.
"Kamu tahu sendiri, ada anak mami di sini!" sindir Ratih kepada Dera.
Dera hanya mengerucutkan bibirnya. "Selamat datang di rumahku!" sambut Dera dengan manja, ketika kami sudah tiba di halaman rumahnya.
"Rumah kamu besar sekali!" seruku. Karena melihat rumahnya yang besar, aku jadi berpikir bahwa, selama ini Dera selalu hidup dalam kemakmuran. Apalagi ia seorang anak tunggal, tidak heran ia sangat  dimanja. Sekilas, aku jadi mengadu nasib dengan membanding-bandingkan kehidupanku dan kehidupannya. Tidak hanya aku, yang lain pun dibuat terpukau dengan penampakan rumah Dera dari dalam. Sangat berkilauan, ornamen di setiap ruangan dipenuhi dengan benda berwarna emas.
"Kamarku di lantai dua, simpan saja barang kalian di sana," ujar Dera, menuntun kami menuju anak tangga. "Nanti tugasnya juga kita kerjakan di kamarku saja," imbuhnya.
Saat itu rumahnya sepi. Dera bilang, ibunya sedang ada di Kota Jakarta dan akan kembali besok lusa. Sementara ayahnya, sedang bekerja dan biasa pulang pukul sepuluh malam.
"Kamu tidak kesepian setiap pulang dari sekolah?" kutanya.
"Ada pembantunya," sambung Ratih. Ratih lebih tahu, karena sebelumnya ia pernah berkunjung ke rumah Dera.
Dera mengenalkan kami kepada pembantunya, dan ia juga meminta pembantunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke lantai dua. Beberapa saat setelah kami tiba di kamar Dera, pembantunya yang bernama Bi Yati itu, mengantarkan permintaan nonanya. Aku pun sempat mengobrol dengan Bi Yati. Katanya, ia asli dari Bale Endah.
"Sssstt," desis Dera yang sedang bertengger di pagar beton depan pintu kamarnya.
Aku menyipitkan mata serta mendongakkan wajah, sebagai tanda bertanya, 'Apa?'.
"Ke sini!" Dera berbisik lagi, kepadaku yang sedang memberi nama wilayah pada peta yang kami buat.
"Masih belum selesai," kujawab pelan.
"Ya, ampun! Sebentar saja!"
Kuhampiri Dera sembari melirik mereka yang masih sibuk dengan tugasnya.
"Ada apa?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya.
"Lihat!" seru Dera.
"Iya, aku juga melihatnya. Pemandangan di sini memang indah."
"Bukan, ih!" Dera memekik.
"Lalu apa?" kutanya.
"Lihat itu!" pinta Dera melipatkan tangan sambil menunjuk ke suatu arah.
"Pohon beringin?” tanyaku.
"Ha ha ha." Dera tertawa kencang sampai anak-anak yang lain melihat ke arah kami.
"Tijel!" kubilang.
"Apa tijel?" tanya Dera kembali.
"Tidak jelas!" kujawab.
"Oh. Kamu, sih ...." ujar Dera menutup mukanya, mungkin itu adalah aura frustasinya karena menghadapi orang sepertiku. Dera melanjutkan perkataannya. "Pertama, itu bukan pohon beringin! Itu, Bonzai!" Dera megungkapkan. "Kedua, aku nggak bermaksud nunjuk ke pohon itu!"
"Terus, apa?"
"Rumahnya, Eksha!" jelas Dera.
"Wuahh.. Jangan-jangan itu rumah kamu yang lain, ya?" Aku bertepuk tangan dan berkata, "Hebat!" kelakarku.
"Bukan! Bukan!" Dera bertambah kesal.
"Lagi pula—bisa tidak, langsung saja pada intinya? Jangan A-B-C, tapi katakan dengan jelas! Ringkas! Padat! Jangan panjang kali lebar sama dengan luas!" Aku menggerutu. "Mirip pelajaran matematika, tahu?"
"Sini!" pinta Dera dengan wajah serius.
"Apa?" aku mendekat.
"Kurang dekat!"
Lantas kudekatkan kembali wajahku ke wajahnya sampai tidak lebih dari satu jengkal jaraknya. "Rumah itu, rumah A Ali!" bisiknya.
"Hah?" Aku terkejut. "Rumah besar itu?" tanyaku memekik.
"Iya," tekan Dera.
"Tunggu dan lihat! Sebentar lagi ... orangnya pasti akan naik ke atas atap, terus ngopi atau sekadar bersantai di sana bila menjelang sore."
"Pantas saja kamu tahu banyak, ternyata bertetangga? Terus, apa maksud kamu menunjukkan rumahnya kepadaku?" kutanya.
"Semenjak aku dengar cerita kamu, aku jadi penasaran terus!" bisik Dera serius. "Akhir-akhir ini, aku tidak sengaja melihat dia memainkan sesuatu yang berbentuk kotak, eh, persegi. Kalau dilihat dari sini, memang tidak terlalu jelas. Tapi kurang lebih, sebesar apa yang kamu gambar di lukisan itu. Warnanya juga merah!" ungkap Dera panjang lebar.
"Iya, Iya. Aku pernah melihatnya." Aku menimpali.
"Kamu juga pernah lihat?"
Aku hanya menjawab dengan mengangkat kedua alisku.
"Emm," Dera berpikir, memegang dagunya dan terdiam beberapa saat.
"Kenapa?" tanyaku.
"Apa jangan-jangan yang di mimpi kamu itu, memang dia?" Dera membuat pernyataan gila.
"Tidak, tidak, tidak! Aku kan, tidak pernah ketemu sama sekali sebelum masuk ke sekolah kita," jawabku tak setuju. "Mungkin hanya kebetulan," sambungku.
"Dia naik, dia naik!" bisik Dera. Kami membukuk dan mulai memata-matainya.
"A Ali naik, teman-temannya juga. Lihat itu! Yang dia pegang!" Dera terlihat kegirangan, seperti telah memecahkan kasus lebih baik dari seorang Sherlock Holmes.
"Sudah Dera! Tidak baik memantau orang seperti ini!" kataku. Aku takut dituduh sebagai penguntit laki-laki akibat penasaran semata.
Dera memekik ketika tetangganya itu melihat ke arah kami. Kami pun sontak duduk, bersembunyi di balik pagar yang tiang-tiangnya sendiri dibentuk seperti labu-labu kecil—memanjang.  Di balkon itu juga kami tampak seperti dua perempuan gila yang tengah sibuk dengan rasa penasarannya.
Aku berkata, "Tuuh, kan! Hampir saja kita ketahuan!"
Alih-alih menjawab, Dera malah terkekeh sambil menutup mulutnya, mungkin baginya ini tampak lucu. Seolah kami sedang bermain kucing-kucingan.
"Kalian berdua sedang apa?" tanya Ratih.
“Tidak. Aku sedang berencana untuk mentraktir kalian makan lotek,” kilah Dera membuat alasan konyol.
Kini giliran aku yang tertawa. "Jangan sampai dompetmu kosong!" aku menyindir.
Karena alasan itu, akhirnya Dera harus mentraktir kami makan lotek di kedai yang tidak jauh dari rumahnya. Di kedai itu juga Dera memberi tahuku bahwa: Ali adalah anak pertama dari dua bersaudara, ia lahir dan besar di Afrika sebelum akhirnya pindah ke Indonesia. Nama lengkapnya Sumar Ali Afqar, ibunya asli dari Kota Bandung sedangkan ayahnya ... Dera belum pernah melihatnya, meskipun sudah menjadi tetangga Ali selama empat tahun. Katanya, karena ayahnya itu sering pulang malam, dan subuhnya—Dera sudah tidak melihat mobil yang terparkir di halaman rumah Ali. Yang berarti, ayahnya Ali sudah tidak ada di rumah.
Menurutku, itu bukan informasi yang penting bagiku; tetapi aku mendengarkannya hingga selesai—semata karena menghargai Dera yang saat itu tengah serius bercerita. Terlebih, ia sudah mau mentraktir kami makan, hanya karena mengelak kepada teman-teman atas tindakan kami berdua yang telah mengintai seorang imigran dari Afrika.
Dan semenjak terjadi pengintaian di rumah Dera, aku dan Dera jadi semakin sering membicarakan Ali. Entah apa alasan kami melakukan itu, kecurigaan tentang asal usul Ali dari Afrika; rasa penasaran tentang mimpiku yang berkaitan; atau karena hal lain. Anehnya, aku pun jadi sering berpapasan dengan Imigran Afrika itu di Warung Ceu Olim, terkadang ia melempar senyuman kepadaku dan aku membalasnya dengan anggukan kecil saja. Apa ia tahu, kalau aku dan Dera memperhatikannya di balkon tempo hari? Aku harap tidak ada orang lain yang akan menyadari hal sesepele itu, lalu membesar-besarkannya. Mengingat Dera pernah mengatakan bahwa; Imigran Afrika itu digandrungi banyak siswi di sekolah.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang