Aku mengurung diri, membaca majalah yang biasa Anne tumpuk di kamarku. Dengan posisi tengkurap dan mengacung-acungkan kaki, pikiranku masih dipenuhi oleh bayangan tentang peristiwa tadi siang. Padahal semua unek-unek sudah kuluapkan; melalui cerita perihal sepatuku yang hilang kepada orang-orang di rumah.
Anne pun sampai dibuat geram. Pasalnya, itu bukan lagi sebuah gurauan, tapi sudah termasuk tindak perisakkan. Bi Iseu mencoba membuatku tenang dengan memberikan aku sepiring kudapan. Dan seperti biasa, Mang Baren mencoba menghiburku dengan menceritakan sebuah lelucon yang jenaka.
Aku melihat sekelebat bayangan di celah bawah pintu, dan tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Sebentar," sahutku seraya beranjak kemudian membukakan slot kunci.
Kepala Anne langsung mencuat di balik pintu. "Boleh aku masuk?" pintanya tersenyum lebar.
"Tentu."
Anne dengan seringainya yang penuh maksud, langsung melemparkan diri ke atas ranjangku.
"Ada apa?" kutanya. Ada dua maksud ketika sepupuku itu mendatangi kamarku, ia akan curhat tentang Irwan; pacarnya, atau jika bukan–ia akan mengulik tentang kisah masa laluku ketika masih di SMP.
"Cuma bosan. Tidak ada kegiatan," sahut Anne, kemudian ia meraih dek kaset yang ada di rak tempat tidurku.
Kubuka kembali lembaran majalah, mencari halaman yang terakhir kali kulihat.
"Aku dengar dari papa. Saat kamu dijemput, kamu sedang bersama seorang laki-laki sambil menangis. Siapa?" tanya Anne. Pupil matanya membesar akibat rasa penasaran, lantas ia memilih sederet kaset yang menumpuk di rak yang sama.
Aku menghela napas panjang. "Pasti! Dugaanku tidak akan meleset! Kamu kesini itu—karena ada yang membuat kamu penasaran, kan?"
Anne tertawa.
"Simpan rasa penasaranmu. Dia cuma senior yang diutus oleh wali kelasku untuk membantu mencarikan sepatu," aku menjelaskan tapi mataku masih serius menatap setiap lembar-lembar majalah.
"Ohh," desah Anne.
"Molohok!" timpalku. (Yang berarti bengong atau bolong. Gurauan populer pada masanya, dimana kata 'oh' itu membentuk huruf o dibibir, tampak seperti sesuatu yang bolong).
Ekor mataku melihat ekspresi Anne yang tampak kecewa, mungkin—karena tidak ada cerita menarik yang akan ia dengar.
Anne memutar kaset God Bless, lagu pertama yang berjudul "Kehidupan" ia lewatkan begitu saja dan melompat ke lagu berikutnya dengan judul "Rumah Kita". Di pertengahan lagu, tanpa sadar kami bernyanyi bersama, berlanjut sampai ke lagu-lagu berikutnya. Aku jadi berpikir, betapapun aku menjadi sedih dan marah sebab mengingat sepatuku, tapi karena hal seperti ini pula—aku dapat dengan mudah terhibur.***
Matahari masih setia memberikan kehangatan, sinar jingganya yang membias di atap bangunan sekolah—memantulkan cahaya dan menerobos ke dalam kelas melalui jendela yang terbuka. Meski begitu, udara pagi tetap membuat bulu roma di lenganku berdiri.
Suara langkah kaki dan gelak tawa dari luar terdengar renyah ke dalam kelas, yang baru—ada aku seorang yang datang.
Ketiga sahabatku muncul dari balik pintu masuk dan melebarkan senyuman. Di antara Dera, Ratih dan Nining hanya Dera yang terlihat berbeda hari itu. Rambut yang biasa ia gerai kini telah dikepang satu dengan rapinya, ia juga memeluk kotak bekal dua tingkat yang terbuat dari bahan plastik.
"Kamu mau prasmanan di mana?" kutanya.
"Yeehh. Awas loh, nggak akan aku bagi," gertak Dera.
"Memang apa isinya?"
"Rahasia. Awas! Jangan sampai tumpah!" ancam Dera ketika ia menyimpan kotak bekal dua tingkat itu di bawah meja.
Spontan aku menjawab, "Iya." Sembari mengerutkan alisku.
"Sepatu kamu, baru?" tanya Dera.
"Bukan. Ini punya sepupuku," kujawab sambil menggerak-gerakkan sepatu agar Dera melihat—jika sepatu yang kukenakan memang sedikit longgar.
"Sepatu kamu basah?"
"Bukan cuma basah, tapi kotor! Sangat kotor! Aku sampai kewalahan saat mencucinya."
"Tinggal disikat," cetus Dera menganggap enteng, padahal sepatunya saja selalu dicuci oleh Bi Yati.
"Terkena cat. Mana bersih kalau cuma disikat?"
"Cat? Kenapa bisa?"
Aku menjawab, "Kemarin sepatuku hilang, kutemukan di tong sampah belakang Musala. Terbungkus plastik, berikut kertas gorengannya. Tadi malam, aku merendamnya dengan minyak tanah."
"Jahat sekali! Siapa yang berani menjahili kamu?"
Aku mendongakan bahu. "Tidak tahu. Malas juga kalau harus kubahas," sahutku. Kemudian aku bergumam, "Membuat aku malu saja!"
Hari Jumat yang bahagia, langit cerah, tidak ada yang menyebalkan di kelas, tak ada pelajaran Matematika—juga tidak ada PR. Seperti menjadi siswi SMA yang kuidamkan. Bahkan saat istirahat pun, aku makan dengan tenangnya di warung Ceu Olim. Ditambah, hari Jumat semua siswi akan pulang lebih awal dibandingkan hari biasanya, sebab seluruh siswa akan melaksanakan salat Jumat bersama para guru di masjid yang tak jauh dari sekolah. Paket lengkap! Apalagi Dera, karena ia seorang Buddhis, guru akan mengizinkan ia tidur di kelas saat pelajaran agama berlangsung .
"Ra, kapan kamu makan bekal yang kamu bawa itu? Nanti basi!" kubilang.
"Makan?" sambung Nining membalikan badan, telinganya sensitif kalau mendengar soal makanan. "Sebentar lagi kan, mau pulang."
"Sengaja, aku ingin makan bersama dengan kalian di Warung Ceu Olim," sahut Dera.
"Kenapa tidak tadi saja? Dimakan pas waktu istirahat," ujar Ratih. Aku mengangguk setuju.
"Memang nggak boleh, ya? Kita makan bersama, ala piknik di halaman rumah Ceu Olim?"
Aku terkekeh mendengar alasan Dera. "Boleh. Tapi, aku sudah kenyang," kubilang.
"Tenang! Nining masih sanggup menampung," sambung Nining.
"Yo wes. Kita ikut saja, Sha! Lagi pula hari ini cerah. Botram kan, enak!" timpal Ratih. Aku pun tidak bisa menolak selain ikut.
Saat itu warung Ceu Olim dalam keadaan sepi, cuma ada seorang ibu paruh baya yang sedang ngobrol dengan Ceu Olim. Aku membeli empat botol limun pesanan Dera, sekalian meminta izin pada Ceu Olim untuk meminjam pembuka tutup botolnya. Sementara Ratih dan Nining sedang sibuk menggelar beberapa koran bekas di halaman samping warung untuk kami jadikan alas tempat duduk.
"Jeng, jeng, jeng ..." Dera membuka bekalnya.
"Hah? Apa ini, Ra?" tanya Nining.
"Coba saja, pasti enak!" balas Dera.
"Ini mah siomay!" aku menimpali.
"Bukan, ini Dianxin! " jelas Dera.
Ratih dan Nining menganga, begitupun aku. "Lalu, apa bedanya?" kutanya.
"Apa, ya?" Dera berpikir, tampaknya ia pun tidak tahu apa perbedaanya. "Pokoknya, ini Dianxin, cobain aja!"
"Kalau begitu, Nining coba, ya? Bissmillah." Nining langsung mengambil satu dari puluhan makanan yang bentuknya mirip siomay itu.
"Ini ... isi daging?" kata Nining sambil mengecap rasanya.
"Halal tidak?" cetus Ratih. Sebenarnya ia hanya memastikan, bukan bermaksud rasis.
"Halal, kok! Ini kan, daging ayam. Ayamnya saja—Bi Yati beli dari Pak Haji," jelas Dera dengan bibir yang mengerucut; dahinya tampak kusut.
Aku tertawa melihat ekspresi Dera. "Ayamnya sudah ikut umrah ya, Ra?" aku berkelakar. Dera bertambah kesal karena kelakarku itu.
"Tapi, Ra! Ini ... Rasanya sedikit asin," cetus Nining menilai rasa dengan ekspresi wajah yang menekuk.
"Masa? Padahal tadi pagi aku coba, enak!" sahut Dera. Dera pun langsung mencobanya lagi, "Iya! Kok sekarang asin, ya?"
"Hahaha." kami tertawa termasuk Dera yang membuatnya.
"Mungkin terlalu lama disimpan." aku menggoda Dera.
"Emang telur asin!" hardik Dera.
"Uwis, mangan ae! Mubazir!" kata Ratih. (Sudah, makan saja!)
"Kamu yang buat, ya?" aku menebak lantas Dera mengangguk.
"Pantas saja!" ucapku dengan nada mengejek. Dera memukul pelan bahuku.
Siang itu perut kami terasa mau meledak, Ratih dan Nining sampai berbaring di atas rumput, tas milik masing-masing dijadikan alas kepala. Dera pun membereskan kotak makannya, dan aku sendiri—entah sedang apa, hanya duduk di pinggir balong(kolam tanah) dan melempar kerikil-kerikil kecil ke dalam air.
Namun tiba-tiba Warung Ceu Olim menjadi ramai, lantaran kedatangan para siswa yang baru saja pulang salat Jumat. Aku melihat Ratih dan Nining, mereka malah sudah tertidur pulas.
Serius? Kalian tidur di tempat seperti ini? pikirku.
"Heksagonal? Kamu sedang apa?" sapa Firdaus duduk di bangku.
"Eksha!" aku menyambar.
"Iya, Eksha. Maaf! Kamu mau berkemah di sini?" sindir Firdaus.
"Tidak! Teman-teman saya cuma ketiduran," aku menunjuk kepada Ratih dan Nining dengan pandanganku.
Firdaus yang masih duduk mencondongkan tubuhnya ke depan, sehingga kepalanya berada tepat di dekat bahuku. "Kamu sudah makan belum? Mau makan bersama saya?" Firdaus menawarkan.
Aku menggeleng. "Sudah." kujawab singkat.
Makin lama aku makin tidak nyaman kalau bertemu dengan Firdaus, pasalnya—aku merasa ia tak jauh beda dengan Suhendar. Acapkali ia melakukan kontak fisik—meskipun hanya sedikit, tapi naluriku mengatakan: bahwa aku dalam keadaan terancam. Apalagi dengan nada bicaranya itu, membuat orang yang mendengarnya bisa dengan mudah keliru atas hubungan kami yang sebenarnya hanya dua orang asing.
"Tunggu, ya?" pinta Firdaus kepadaku sembari melangkah pergi ke warung Ceu Olim.
"Ra, ayo pulang! Kita bangunkan Ratih dan Nining."
Dera tidak menjawab, bibirnya mengatup sembari memelototiku. Beberapa kali bola matanya memutar, menunjuk ke arah belakangku.
"Apa?" kutanya. Kini Dera menggerakan bibirnya tak karuan.
"Ngomong, Ra. Aku tidak mengerti!"
Lantas ada suara yang berat terdengar tepat dari arah belakang. "Ra. Lagi pada botram, ya?" Ia bertanya.
"Iya. A," sahut Dera tersenyum sungkan.
"Eksha botram juga?"
"Emm, Iya," kujawab tanpa melirik—sebab dari cara Dera memanggilnya saja aku sudah tahu siapa orangnya. Ratih dan Nining yang sudah bangun pun ikut menganggukkan kepala, mungkin—orang yang ada di belakangku itu juga menyapa mereka.
Yang membuatku kebingungan adalah, Ratih dan Nining yang tiba-tiba mengajak Dera untuk mengerjakan PR di depan Warung Ceu Olim, dengan kedipan mencurigakan Dera mengiyakan. Aku membatin, PR? PR apa? Hari ini, bukannya tidak ada PR? Apa yang mereka rencanakan? Persekongkolan macam apa lagi ini?
Ketiga Ceri itu bersiap-siap untuk berpindah tempat, aku tidak diberikan celah untuk bertanya. Ditambah, Firdaus si Ketua OSIS itu datang kembali sembari membawa sebuah bungkusan. Aku mengatupkan bibir, menghela napas panjang, tampaknya kini aku ibarat wasit di antara dua orang yang tidak saling menyukai. Sedikitnya—aku merasa khawatir pula, bagaimana jika terjadi pertikaian, atau mungkin—perkelahian. Kejadian di belakang musala kala itu masih kuingat jelas di benakku.
"Eh! ada Ali?" ujar Firdaus.
"Iya," jawab Ali pelan.
Firdaus menunduk, melihat bungkusan yang tengah ia bawa kemudian mengalihkan pandangannya kepada aku yang masih memeluk lututku di atas rerumputan. Sementara Ali duduk dengan posisi sebelah kakinya melipat di atas bangku, tatapannya juga menyorot ke arah aku dan Firdaus secara bergantian.
Aku yang canggung dengan situasi itu kembali membatin, Ali ini—banyak musuh atau bagaimana? Dengan Suhendar, dia terlihat bermusuhan. Dengan Firdaus, apalagi! Dia sempat mengakuinya secara terang-terangan. Lihat saja tatapan matanya! Ali seperti ingin melapuk Firdaus saat ini juga.
"Kak Firdaus?" panggil Dera.
Firdaus melirik kemudian ia menyipitkan matanya.
"Boleh minta tolong?" pinta Dera.
Ekspresi Algojo itu terkesan ragu, namun ia berkata, "Saya—tinggal dulu ya, Sha?" pamit Firdaus.
Aku mengangguk pelan. "Silakan."
Lantas Firdaus langsung menghampiri ketiga Ceri di meja—depan warung Ceu Olim. Aku menggaruk kepala, mengapa sahabat-sahabatku itu melakukan hal yang demikian.
Aku berbalik arah, masih memeluk lutut dan memerhatikan riakan air di kolam. Di sekitar mulai tenang, para siswa telah meninggalkan tempat itu, yang aku dengar hanya desiran angin utara yang membelai daun-daun di pohon tangkil.
Aku kehabisan batu kerikil untuk kulempar ke dalam kolam; kemudian Ali turun dari bangku dan duduk di sampingku dengan jarak beberapa senti, lantas ia ikut memeluk lututnya.
Rasa panas tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku, namun hanya tanganku yang mendadak menjadi dingin. Percis seperti ketika aku sedang membaca teks pidato di depan Kepala Sekolah, terlebih kami hanya saling diam. Aku adalah orang yang tak pandai berbasa-basi; tidak pandai menghibur seseorang; tidak suka juga memuji hanya untuk mencari muka; lebih buruknya—aku adalah orang yang terlalu berwaspada sehingga acapkali berprasangka buruk terhadap seseorang— terutama jika ia laki-laki.
Hampir lima belas menitan kurasa, kami hanya memandang kolam yang luasnya kurang lebih sepuluh meter persegi. Dengan tanaman rawelia hampir di sekeliling kolam, sedangkan pohon pisang dan juga pohon kelapa yang menjulang tumbuh di bagian seberang kolam.
Tanganku semakin dingin, kualihkan pandangan berkali-kali kepada sahabat-sahabatku yang sedang pura-pura sok sibuk dengan PR palsunya. Kudapati Firdaus juga masih ada di sana. Entah apa yang Dera perbuat sehingga Ketua OSIS itu dibuat betah untuk membantu mereka.
"Teman-temannya tidak akan hilang, kenapa dilihat terus?" tanya Ali.
"Kamu bicara? Aku kira kamu sedang sakit gigi," sahutku.
Ali tertawa. "Panas dalam," balas Ali.
"Di halaman rumah pamanku ada pohon daun cincau, mau kubawakan?" aku menawarkan. Entah mengapa perkataan itu keluar begitu saja dari mulutku, meski aku tahu jawaban Ali tadi—hanyalah gurauan.
"Jangan repot-repot," jawab Ali seraya mencabut sebuah gulma, "Yang kemarin itu paman?" tanya Ali kemudian.
"Iya."
"Dia imigran juga?" tanya Ali tiba-tiba seraya memainkan gulma yang ia cabut.
"Ngg ... Pamanku bukan imigran, lebih tepatnya anak imigran. Ia lahir di Lembang."
"Mmm, Aku kira seorang imigran juga."
"Memang kamu imigran?" tanyaku, pura-pura tak tahu tentang desas-desus gosip dan latar belakangnya dari Dera.
Ali mengangguk. "Iya, saat masih duduk di kelas lima SD."
"Emh" Aku pun mengangguk, sambil berpikir—pertanyaan apa lagi yang akan kuajukan. "Awalnya tinggal di mana?" Kutanya.
"Afrika," jawab Ali singkat.
"Benua?"
Ali terkekeh. "Maksudku, negara yang ada di Afrika. Kamu bisa menebak?"
Aku menganga, sekilas mengingat sederet nama negara. "Tidak!" kujawab.
Ali mengusap dahi seraya tersenyum geli. "Kamu itu mengambil jurusan IPS, tapi tidak tahu negara mana saja yang ada di Afrika?"
Kukatakan dengan perasaan kesal, "Kan, banyak! Bisa sampai azan awal kalau disebutkan satu per satu. Sudah! Lebih baik jangan menjawabnya!" ... "Tapi, benar dari Afrika?"
Ali mengangguk.
Aku terdiam sejenak, kembali bertanya-tanya dalam batinku. Katakanlah bapaknya dari Afrika, ibunya asli dari Lembang. Jika wajahnya tidak mirip dengan bapaknya, pasti mirip dengan ibunya. Karena pemikiran itu aku nekat bertanya, "Ayah kamu, asli dari Afrika? Atau, kamu hanya dilahirkan di Afrika?"
"Asli dari sana, kenapa?" tanya Ali. "Tidak percaya?"
"Oh. Percaya, percaya." kujawab, justru dengan nada yang tidak meyakinkan.
"Di sekolah juga banyak yang tidak percaya. Jadi sudah tidak heran," ungkap Ali.
Aku tak mengajukan pertanyaan lagi. Cukup, aku menanyakan hal-hal yang tidak seharusnya kutanyakan.
"Sha!" teriak Firdaus yang masih bersama ketiga Ceri. Lantas, aku melirik ke belakang.
"Kutitip di teman-teman kamu, ya?" kata Firdaus menyimpan sebuah bungkusan itu di meja. Lalu ia seperti berpamitan kepada ketiga sahabatku.
Aku melirik kepada Ali yang sedang memalingkan wajahnya dan memerhatikan pemandangan yang jauh.
Ali melihatku dan berkata, "Sha, kalau ...."
"Sha. Ayo Pulang?" ajak Dera.
Aku beranjak dari tempat dudukku, Ali juga. Aku belum sempat mendengar perkataanya hingga selesai.
"A Ali, Eksha nya—Dera ajak pulang dulu, ya? Tidak apa-apa, kan?"
Ali mengangguk. "Iya. Silakan."
"Permisi?" ucap Dera kepada Ali. "Ayo?" Dera merangkulku, hendak meninggalkan tempat itu. Ratih dan Nining juga sedang menungguku, masih duduk di meja depan warung.
"Mm, sebentar!" cegah Ali.
Aku membalikan badanku. Ali menyerahkan sebuah kotak kardus berwarna putih.
"Aku membelinya tadi, buat kamu!" katanya.
"Ehhhh!" pekik Dera, menepuk pundakku berkali-kali. Ekspresinya seperti melihat hantu di siang hari. Membuat aku dan Ali terkejut.
"Apa?" bisikku seraya menarik punggung bajunya.
Selain membuatku jantungan. Dera yang sedang menatap kotak itu, juga membuat Ali kebingungan.
"Kenapa?" tanya Ali kepada Dera. "Tidak boleh? Atau, ada yang marah kalau sampai saya memberikan ini?"
Dera memegang lenganku kencang, seperti menahan binatang buruan yang takut terlepas. "Nggg? Maaf, bukan begitu maksudnya. Dera cuma kaget, A," ungkap Dera, tersenyum masam. Mungkin ia merasa malu.
"Kaget? Kenapa?" Ali penasaran.
"Kotaknya. Iya, kotaknya, sama seperti yang Dera punya."
Aku ingin tertawa terbahak-bahak, sungguh alasan yang konyol! Ditambah ekspresinya Dera yang kebingungan membuat perkataanya terlihat jelas; begitu tidak masuk akal! Itu hanya sebuah kardus; kardus makanan, siapa saja mungkin punya. Di mana saja mungkin ada. Apa yang harus dibuat terkejut? Tidak ada istimewanya. Mungkin begitulah yang Ali pikirkan.
Ali hanya tersenyum. Dan aku meraih kotak yang ia berikan, sebelum akhirnya kami benar-benar pamit untuk pulang.
Di pinggir jalan, saat kami berempat menunggu angkutan kota datang. Kupukul lengan Dera. "Kenapa tadi? Kau tahu, aku sampai terkejut!" hardikku kepada Dera. "Kalian juga, ada rencana apa? Sampai mengerjakan PR palsu bersama Ketua Osis?" lantas kuhardik juga Ratih dan Nining.
"Ya, ampun! Kamu tidak sadar? Aku saja mengingatnya? Kenapa kamu tidak?" ucap Dera kesal.
"Ingat? Mengingat apa?" tanyaku menurunkan nada bicara.
Dera menghentak-hentakkan kakinya, aku rasa kekesalannya sudah sampai ke puncaknya,."Ini sama persis seperti yang ada di mimpi! Sekarang ingat?"
Sekali lagi kupukul lengan Dera, tampaknya pukulan kali ini lebih keras dari yang sebelumnya, dan membuat Dera menjerit.
"Iya, juga!" aku memeluk diriku sendiri, mulai merasa takut.
"Aku juga ikut bingung," keluh Dera, memegang dahinya.
Ratih dan Nining menatap dengan serius, meski tak mengerti tentang pembicaraan aku dan Dera.
"Ini, buat kamu saja!" kuserahkan kotak itu kepada Dera.
"Ih, kenapa harus aku?"
"Kalian itu ... dari tadi ribut-ribut terus!" protes Ratih.
"Iya, kenapa?" tanya Nining.
"Eksha dapat kotak dari ... Pangeran Arab," kata Dera, menyebut Ali pangeran Arab karena Ratih dan Nining sudah terbiasa dengan sebutan itu. "Terus, kotaknya malah mau dikasih aku!" pungkasnya.
"Kotak?" ucap Ratih mengulangi nya.
"Iya. 'isinya makanan', katanya." kujawab. "Nining, mau?" tawarku kemudian.
"Ih, nggak! Nanti Nining malah kena pelet!" tolak Nining.
Ratih mengusap muka Nining. "Huh! Orang cakep nda mungkin pakai pelet-pelet!"
"Iya, ya. Mana mau dia sama Nining," ucap Nining polos.
"Isinya apa?" tanya Ratih mendekatiku.
"JANGAN! Biar Eksha sendiri saja yang buka." Dera menghalau. "Sana, Sha! Pulang! Pulang!" usir Dera. Menyuruhku untuk segera naik angkutan kota.
"Yeh, memangnya kenapa?" tanya Ratih.
"Kalian tidak perlu tahu! Sana! Naik! Cepat naik!" imbuh Dera, ia sedikit mendorong-dorong tubuhku ke lubang pintu angkutan kota.
Di dalam angkutan kota, beberapa saat aku melihat kotak yang saat ini aku pegang. Sulit juga jika harus kumasukan ke dalam tas, takut sesuatu di dalamnya tumpah mengenai buku. Meski yang bersangkutan berkata ini hanya makanan, aku belum ingin membukanya. Kemudian kuingat juga sebuah bungkusan yang di tinggalkan Firdaus, bungkusan itu mungkin terbawa oleh Ratih atau Nining. Ah, sampai kapan aku harus terlibat dengan dua orang yang saling tidak menyukai itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]
Ficción GeneralFOLLOW! JANGAN LUPA VOTE, KOMENTAR, SARAN DAN KERITIK YANG MEMBANGUN, YA! TERIMAKASIH.