3. MOS di Gele Roos

145 48 0
                                    


Sekolah yang Bi Iseu pilih beralamat di jalan Maribaya, meski letaknya berada sedikit di dalam gang. Aku benar-benar menyukainya.
Bangunan yang di cat warna kuning,  biru dan sedikit perpaduan warna putih terkesan cerah dan bersih. Di belakang sekolah, disuguhkan pemandangan bukit yang indah, serta tanaman hias yang berjajar di setiap depan kelasnya.
Saat aku memasuki area sekolah, di bagian depan—berseberangan dengan seluruh kelas—ada ruang Kapala Sekolah, Ruang Guru, Musala dan Perpustakaan yang cukup luas. Dan di sebelah kanannya, terdapat ruang Laboratorium. Tidak ketinggalan sebuah Pos Satpam juga ada di  bagian paling depan, dekat lahan parkir sepeda. Namun sayangnya, untuk Laboratorium dan Pos Satpam masih belum rampung dibangun, lantaran terkait minimnya dana pembangunan.
"Pasti biaya sekolah di sini—amat mahal!" itu komentar pertama yang keluar dari mulutku, ketika aku mendaftar di sekolah ini. Sekolah yang kujuluki dengan nama "Gele Roos", yang berarti "Mawar Kuning" dalam bahasa Belanda.
Perihal mengisi tenaga di waktu istirahat, semua murid dapat keluar untuk sekadar membeli makanan di warung kelontong yang terletak di seberang jalan, di seberang jalan itu pula ada sebuah kedai bakso dan toko makanan oleh-oleh khas Lembang. Jika murid membutuhkan alat tulis, mereka akan berjalan sedikit lebih jauh ke arah barat untuk menemukan tokonya.
Setelah libur panjang kemarin, akhirnya aku menginjakan kaki di sekolah ini sebagai peserta didik. Dan menjalani hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) dengan memakai papan nama di dadaku, bertopi basin, menggunakan tas dari karung terigu, mengepang rambut, membuat atau membawa barang permintaan panitia yang terkesan aneh, menuruti perintah yang tidak masuk akal, dan dimaki-maki mereka—sampai kesal dibuatnya.
"Sha, koin penari, apa?" tanya Dedeh.
"Opak Jaipong," kujawab.
"Kalau uban rontok?"
"Rambut nenek."
"Kalau beras ngentep?" (Menempel)
"Apa, ya? Mungkin teng-teng(jipang)," kutebak. "Atau, rengginang."
"Satu lagi! Satu lagi!"
"Hmmm," Aku menghela napas sembari melirik ke arahnya. "Apa?" kutanya.
"Bubuk sampeu?" (Singkong)
"Bubuk sampeu, ya?" Aku berpikir. "Apa, ya? Tidak mungkin kalau jawabannya tepung acik. Mungkin, itu getuk."
Dedeh hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil mencatat jawabanku di buku tulisnya.
Semua itu adalah daftar teka-teki makanan yang harus kami bawa esok hari, sementara Dedeh sendiri adalah teman sebangku ... sekaligus orang pertama yang kukenal ketika pertama kali masuk sebagai peserta didik.
"Ayo, baris! Baris!" seru salah satu siswi panitia kepada kelompok Bunga Bakung. Kelompok yang berjumlah sembilan peserta didik termasuk aku yang ditunjuk sebagai ketuanya.
"Baik, Kak!" sahut kami serentak, namun kelompokku malah ribut hanya karena baris berbaris.
"Kalian ini! Baris saja harus ribut! Jalan bebek sampai ujung lapangan, tanpa jeda! Kalau tidak mau, kalian saya beri hukuman yang lebih berat!" titah seorang Ketua Panitia tanpa ampun.
Sebenarnya aku heran, mengapa hal seperti itu saja harus langsung mendapat hukuman?
Lantas kelompokku melakukan apa yang diperintahkan, meski dirasa sangat mengesalkan, apa boleh buat, inilah MOS! Dimana sering dijadikan ajang perploncoan; kesempatan untuk menyiksa peserta didik baru, dan senior pun akan semena-mena kepada juniornya. Alasannya, agar mental menjadi kuat! Omong kosong!
Salah satu di antara kami, mendapat hukuman lagi perihal jalan bebek, ia diberi hukuman lebih untuk berdiri di dekat tiang bendera selama setengah jam. Menurutku, itu berlebihan! Sudah mendapat hukuman, lalu mendapat hukuman lagi? Lumpuhkan saja kami!
Tidak berhenti di situ, kelompok Bunga Bakung juga melakukan kesalahan, saat mengerjakan tugas membuat kerajinan dari kardus bekas. Bagaimana tidak salah? Instruksinya saja, sengaja dibuat tidak jelas agar kami kebingungan. Ujung-ujungnya, kami dipaksa harus menerima hukuman lagi dan lagi, termasuk lari di lapangan sebanyak lima belas putaran.
Di hari ketiga kelompokku paling sedikit mengumpulkan kepingan teka-teki sampai aku harus menjadi Leonardo da Vinci dadakan.
"Kelompok Bunga Bakung! Karena nilai kalian dari tantangan teka-teki ini paling rendah, besok ketuanya akan diberi hukuman untuk membuat karya yang dilukis secara langsung di sekolah!" hardik Ketua Panitia yang bertubuh tinggi dengan ekspresinya yang menyeramkan.
Saat ia marah, semua orang tampak takut, bahkan anggota panitia lain sekali pun. Terlebih ketika kelompokku dimarahi, aku merasa seperti akan dimakannya bulat-bulat.
Hukuman tidak masuk akal! Senang betul menyiksa orang! Jangan-jangan dia titisan Skeletor? Bukan! Jangan-jangan dia punya 'Sima Aing Sima Maung', aku membatin.
"Siapa ketuanya?" tanya Ketua Panitia itu.
"Saya!" Aku mengacungkan tangan.
Ketua panitia itu sedikit menunduk ketika melihat ke arahku, mungkin karena aku pendek dan ia begitu tinggi seperti tiang listrik di pinggir jalan. "Maju!" perintahnya dengan raut muka yang datar.
Aku berjalan cepat menghampiri si Ketua Panitia, berdiri di tengah lapangan, tepat di depan semua peserta didik yang lain.
"Kamu ketuanya?" Ketua panitia itu bertanya lagi.
Bukankah aku sudah mengacungkan tangan? Bahkan menyuruhku untuk maju, mengapa di tanyakan kembali? Begitu batinku meracau.
"Iya, Kak." aku menjawabnya dengan gugup.
"Eksha?" Ketua Panitia itu membaca papan namaku. "Nama kamu Eksha?"
Aku mengangguk pelan.
"Kalau begitu, Eksha kamu ikuti Icha dan minta peralatan melukisnya, sekarang!" perintahnya sambil menunjuk salah satu siswi panitia yang ada di seberang kananku.
"Baik, Kak—Fir ..." aku membaca pelan papan namanya.
"Ha? Kafir?"
Aku terbelalak dan mulai panik. "Tidak! Maksud saya ..."
"Maksud kamu apa? Sebut saya kafir?" bentak Ketua Panitia di depan semua orang.
Aku merasa sial sendiri. Yang pastinya, aku melakukan kesalahan yang fatal dan telah membangunkan singa dari tidurnya.
Dengan sedikit gugup aku menjelaskan, "Maaf, saya tidak bermaksud. Tadi saya hanya berniat untuk membaca tulisan di papan nama, yang ada di saku Kakak. Karena tertutup jaket, jadi saya hanya bisa membaca sebagiannya saja."
Ketua panitia itu sontak melihat ke arah papan namanya. Dengan ekspresi kesal, ia membuka jaketnya di depan semua orang,
"Sudah kelihatan?" sindirnya dengan tenang, namun tatapannya tidak mengatakan demikian.
"Ah, iya, iya. Sekarang terlihat jelas." aku menjawab dengan rasa bersalah.
Aku melihat semua anggota panitia dan para peserta didik menahan tawa mereka. Kudengar ada satu sampai dua suara laki-laki yang sengaja menyerukan 'Kak-Fir' sambil tertawa kencang.
"Nama saya Muhammad Firdaus!" Ia memaparkan. "Bukan Kafir, tapi Firdaus!"
"Iya, Kak Firdaus." kuulang dengan lantang.
"Tidak perlu pakai, 'Kak'! Cukup, Firdaus!" tekan Firdaus memperingatkan.
"Tapi kan, itu tidak sopan."
"Emm ... Itu ... Terserah! Kamu mau panggil saya Aa atau pakai panggilan yang lain?"
Aku sontak mengernyit mendengar kalimat itu, sungguh aku  tidak bisa memanggilnya lagi. Lidahku kelu! Dan rasanya, ingin menghilang saja dari lapangan itu dengan bantuan jin lampu.
Aku paling tidak bisa memanggil laki-laki dengan sebutan 'Aa', bahkan kepada Acep saja aku tak pernah. Sedangkan kepada orang yang lebih tua, aku cendrung menggunakan panggilan yang lain seperti Kang atau Bang. Entah mengapa, bagiku ... panggilan itu hanya diperuntukkan pada orang yang benar-benar intim.
"Siap, Kakak Senior Firdaus!" imbuhku.
Semua orang tertawa, entah bagian mana yang lucu? Aku yang menolak memanggilnya Aa; aku yang masih menggunakan panggilan kakak; atau, aku yang selalu melakukan kesalahan. Yang jelas, aku tidak peduli.
Lantas, aku langsung menghampiri panitia yang bernama Icha untuk mengambil peralatan melukis. Meski dirasa hukuman itu sangat aneh, aku menerimanya dengan senang hati, sebab melukis adalah satu dari dua hal yang paling aku suka.
"Hari ini kamu sudah membuat singa bangun dari tidurnya," celetuk Dedeh. Ternyata memang bukan aku saja yang berpikiran seperti itu.
"Siapa? Ketua Panitia?" tanyaku berlagak pilon.
"Siapa lagi yang mirip singa? Dibanding Pak Udin saja, lebih galak dia."
"Bagaimana lagi, memang aku yang salah, pakek ikutan baca papan namanya segala. Itu namanya menggali lubang untuk mengubur diri sendiri."
"Terus, bagaimana hukumannya? Kamu bisa?" tanya Dedeh.
"Tenang! Kalau soal itu, aku punya tangan ajaib," imbuhku menyombongkan diri.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang