12. Pertandingan Voli

155 53 2
                                    


Rabu pagi. Bersin-bersin yang terus-menerus terjadi padaku, rupanya—tak mudah hilang hanya karena terbiasa dengan udara di Lembang. Apalagi, pagi ini—aku bangun lebih awal dari biasanya, karena ada hal yang harus kulakukan terlebih dahulu sebelum aku pergi mandi. Bukan ke Pasar, bukan pula ke Istal untuk memberi makan sapi-sapi peliharaan Mang Baren. Tapi untuk menyetrika baju seragamku yang basah.
Aku telah mengambil setrika yang ada di kamar Anne, sekalian juga—kuminta arang ke warung yang gemboknya sudah Bi Iseu buka.
"Bi, anglo nya di mana, ya?" tanyaku.
"Coba cari di dapur, Sha. Dekat jirigen air," sahut Bi Iseu yang sedang menata mi instan.
Aku langsung pergi ke dapur dan memeriksanya, namun tidk kutemukan. Lantas, di mana anglo nya? benakku. Kuperiksa lagi ke setiap penjuru dapur, tidak ada jirigen lain selain ketiga jirigen yang berjajar tadi. Setelah kucari lebih teliti, ternyata aku melihat anglo itu disimpan di atas rak piring.
"Ya ampun, ternyata di situ! Pasti ini ulah Mang Baren!" gerutuku. Lantas kuambil sebuah kursi untuk selanjutnya—kugunakan sebagai tumpuan agar aku bisa menurunkan anglonya dari atas.
"Ada, Sha?" teriak Bi Iseu.
"Ada. Di atas rak piring, Bi. Pasti si Mamang yang simpan," ucapku ketus, soalnya hanya Mang Baren yang kebiasaannya demikian.
Tanpa menunggu lama, aku membakar jerami kering untuk menyalakan bara arang yang selanjutnya kupindahkan ke dalam setrika, lantas aku mengipasinya sekuat tenaga agar baranya semakin besar. Butuh waktu lebih dari lima belas menit—aku berurusan dengan arang, karena itu, dengan segera aku menyetrika baju seragamku yang basah kemarin—terkena air hujan ketika aku menghampiri Mang Baren di gerbang sekolah. Meski tak seberapa basahnya, namun aku khawatir bila itu menimbulkan bau yang tak sedap saat kukenakan. Tidak lupa, aku juga menjejalkan satu setel baju olahragaku ke dalam tas untuk kupakai saat pertandingan voli nanti.

***

Dera tengah berdiri di depan gang, menyambut aku dengan sebuah lambaian tangan, dan aku membalasnya.
"Mang, nanti tidak usah jemput Eksha, ya. Eksha pulang naik angkot saja. Soalnya, Eksha tidak tahu—acara hari ini akan selesai sampai pukul berapa," pesanku kepada Mang Baren.
“Iya. Semoga sukses acaranya!”
"Aamiin. Assalamualaikum," aku berpamitan.
"Waalaikumsalam."

Dera  menyeringai ketika aku mulai menghampirinya. "Mudah-mudahan acara hari ini berjalan lancar, ya?" harap Dera.
"Aamiin" sahutku.
Ratih dan Nining juga baru datang, "Merdeka!" seru Ratih tiba-tiba. Ratih memang seperti air hujan yang mengguyur bunga-bunga yang layu. Penuh semangat.
"Kita sudah merdeka. Tapi, aku merasa gugup sekarang," ungkapku, sambil menggosok-gosok telapak tanganku yang kedinginan.
"Oh, iya. Hari ini kan—pertama kalinya Eksha akan ikut paduan suara di upacara nanti," cetus Nining.
Aku mengangguk pelan.
"Jangan khawatir! Pasti acaranya berjalan lancar—sampai selesai." Dera menenangkan seraya menepuk pundakku kemudian ia bergayutan pada tubuhku yang mungil dan pendek ini.

Di hari Kemerdekaan Indonesia, sudah seharusnya semua murid mengikuti upacara pengibaran bendera merah-putih. Dengan suara meso sopran aku berdiri di antara anggota Paduan Suara—yang berjumlah dua puluh tujuh orang termasuk aku dan Dirigennya—menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia dengan sangat percaya diri. Karena postur tubuhku yang pendek, tentu saja aku ditempatkan di barisan paling depan, membuat aku dan Ali yang kala itu sedang menjadi pemimpin upacara—berdiri hampir sejajar.
Aku berusaha fokus, untuk tidak mengingat kejadian kemarin. Tetapi, tak dapat aku berpura-pura—tidak melihat apa yang aku lihat; bahwa tatapan Ali seperti menajam ketika melihat ke arahku. Aku membatin, Apa dia marah kepadaku? Tapi apa salahku? Apa pun yang terjadi di antara Ali dan Suhendar sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Dan, memang itu bukan urusanku juga! Jadi, mengapa aku harus terlibat?
Sementara, suasana lapangan begitu diselimuti aura semangat pemuda yang mencintai negara. Dengan mengenang semangat juang para pahlawan yang telah memerdekakan Indonesia, kami melangsungkan upacaranya dengan khidmat; sampai selesai.
Pukul sembilan pagi, sekolah memulai perlombaan yang akan diikuti murid di berbagai kelas seperti: lomba lari; balap karung; gigit koin; lomba puisi; lomba bernyanyi; tolak peluru; dan peragaan busana. Sedangkan untuk pertandingan, hanya ada sepak bola, voli dan basket. Untuk sore harinya, sekolah akan menggelar pertunjukan seperti Tari Tradisional, Drama dan diakhiri dengan Pentas Seni Musik.
"Sha! Ayo, siap-siap! Giliran kita, nih!" ujar Ratih.
Aku menghela napas dan melakukan pemanasan.
"Semangat! Semangat!" seru Dera.
Kuelus pergelangan tanganku, "Siap-siap memar! Yang kuat!" ucapku lirih. Aku meminum beberapa teguk air dari botol minum yang kubawa dari rumah, sebelum pertandingan voli resmi dimulai.
Voli adalah olahraga unggulan di sekolah kami—yang kusebut Gele Roos ini, karena itu—sudah pasti banyak murid yang mengerti dan sedikitnya bisa bermain. Lain halnya dengan aku—yang belum pernah bermain voli sama sekali. Dan, jika bukan karena terpaksa; mungkin aku tidak akan mengikuti pertandingan hari ini. Sungguh! Aku tidak mengerti sama sekali, bagaimana peraturan yang ditetapkan dari permainan voli ini, bahkan aku tidak tahu tugas dari setiap pemainnya. Aku hanya ditunjuk untuk bermain sebagai Libero, katanya—karena badanku yang pendek tidak bisa melakukan blocking dengan maksimal. Aku juga diberitahu, bahwa Libero layaknya kiper dalam permainan sepakbola. Namun, tugasnya lebih dari sekadar menjaga gawang. Tidak boleh melakukan serangan seperti smes/spike ataupun servis/serve dan aku harus melakukan passing terusmenerus. Jika boleh mengaku, aku sendiri tidak bisa memasang posisi  kuda-kuda yang benar—ketika melakukan passing. Apa itu sama seperti ketika aku berlatih pencak silat? Atau tidak? aku membuncah.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang