16. Tersangka?

150 52 2
                                    


Aku terkekeh seorang diri, setiap kali mengingat isi kotak pemberian imigran dari Afrika itu. Pasalnya, setelah kubuka kotak itu di ruang pribadiku; yaitu kamar. Kudapati selusin kue cincin berjajar di dalamnya, atau orang Sunda biasa menyebutnya dengan nama "ali agrem". Kalau sekilas mungkin ini tidak lucu sama sekali, berhubung itu cuma makanan, kan? Tetapi karena makanan dan si pemberi sama-sama bernama Ali, hanya karena hal sepele itulah aku tertawa. Lagi pula kue yang biasa ada di acara hajatan itu, terbilang lebih sering dikonsumsi orang yang lebih dewasa. Singkatnya, selera orang tua. Meski aku sendiri menyukainya, tak menyangka saja, bahwa imigran dari Afrika itu menyukai makanan semacam ali agrem.
Kumakan satu di antara selusin, sisanya kuberikan kepada pamanku. Apa yang dikatakan Nining, kukatakan pula kepada Mang Baren-saat aku memberikan ali agrem itu. Jikalau aku takut terkena gendam pemikat. Tidak perlu ada yang tersinggung, sudah pasti aku hanya menanggapi hal semacam itu sebagai lelucon semata. Jika kuanggap serius, mungkin aku tak akan memakan salah satu dari selusin ali agrem pemberiannya.

Hari ini aku sedikit merasa pusing, duduk di mejaku seraya menulis di lembar demi lembar kertas. Beruntung ketiga temanku, tidak ada yang berisik karena penasaran tentang kotak kemarin. Tapi jika itu Dera, pasti ia akan menunggu waktu yang tepat untuk bertanya. Sekilas kulihat guruku yang bernama Pak Eman, mendekati pintu dan samar-samar terdengar suara seseorang di ambang pintu kelas sedang berbicara dengan beliau. Kemudian tak lama, beliau bertanya. "Mana yang namanya Eksha?"
Aku mengangkat tangan, "Saya, Pak!"
"Silakan!" kata Pak Eman kepada seseorang yang ada di luar sana. Setengah dari tubuh Ali menjulur dari balik pintu. "Eksha dipanggil Pak Udin, sekarang!" ujar Ali.
Sepopuler itu kurasa, Imigran dari Afrika ini. Aku berpendapat seperti itu, karena sebagian siswi yang jumlahnya hanya sembilan belas orang menoleh dan berbisik seperti radio yang kehilangan sinyal. Saling bersikutan dan beberapa ada yang senyum-senyum tidak jelas. Jika harus kukatakan tentang keburukanku yang lain, aku benci orang yang populer! Bukan soal kedengkian yang bersifat iri terhadap kepopulerannya, tapi ini perasaan ketidaksukaan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kata populer itu sendiri. Kau tahu? Orang yang populer cendrung merepotkan! Meski begitu, mungkin kepopuleran yang dimiliki oleh orang dengan sifat tak acuh akan lebih baik, daripada kepopuleran yang dimiliki oleh orang merasa sok populer. Orang sok populer cendrung menggunakan parasnya, kepintarannya, atau hal yang menjadi daya tariknya sendiri untuk menjatuhkan orang lain. Dan orang yang tak acuh, contohnya Dera, ia terkenal sebagai siswi yang cantik di kelasku, atau bisa jadi di satu sekolah. Namun karena ia tak memedulikan, maka ia akan tetap bersikap rendah hati. Walaupun terkadang, aku juga sedikit direpotkan oleh siswa dari berbagai kelas, sebagai perantara untuk menyampaikan sebuah salam yang dititipkan mereka-untuk Dera.
Kusisipkan pena yang sedang kugunakan, di antara halaman buku tulisku. Beranjak dari kursi, dan Dera spontan berdiri memberikan celah untukku, agar aku bisa keluar dari tempat duduk. Tanpa bertanya lebih lanjut, aku mengikuti imigran dari Afrika yang lebih dulu meninggalkan kelas kami menuju ruang guru untuk bertemu Pak Udin. Andai kau melihatnya secara langsung, jika ia sedang berjalan beriringan bersamaku, mungkin, di matamu pun kami berdua akan terlihat seperti seorang tuan dan pelayannya. Tapi tak apa, itu kenyataannya dan sejauh ini, itu tidak mengusikku.
Belum kuberi tahu sebelumnya, bahwa Pak Udin juga mempunyai tugas sebagai guru BP. Guru yang mempunyai waktu mengajar yang fleksibel. Sebagai penjaga sekolah, guru pengganti(jika guru yang lain tidak hadir), mengajar ilmu keagamaan, dan Dewan Kepala Musala. Kurasa itulah kekuatan dari status sosial, sebagai menantu pemilik sekolah.
"Masuk, Sha!" kata Pak Udin, ketika aku baru saja sampai di depan pintu. Satu lagi yang sering membuatku heran, seberapa pun banyaknya murid di sekolah, beliau bisa hafal satu per satu nama murid tanpa ada kesalahan penyebutan dan dari di mana alamat murid tersebut. Konon katanya, menurut rahasia publik para murid, hebatnya; Pak Udin seperti mempunyai kekuatan untuk menebak peringai seseorang.
Aku masuk, dan duduk berhadapan dengan Pak Udin, setelah beliau mempersilakannya. "Bapak memanggil? Maaf, ada apa, Pak?" tanyaku.
"Seperti yang kita tahu, kemarin kamu sempat kehilangan sepatu, dan mencarinya sambil hujan-hujanan. Kamu juga sudah menemukan sepatumu di tong sampah. Jadi Bapak mencaritahu dari kemarin-siapa yang telah melakukannya," jelas Pak Udin. Beliau memang selalu berbicara santai dengan setiap murid.
"Iya, Pak," jawabku singkat.
"Nanti, sepulang sekolah, kamu datang ke ruangan Bapak dulu-sebelum kamu pulang!" pinta Pak Udin.
"Baik, Pak!" aku menjawab.
"Sudah begitu saja dari Bapak, ingat! Kamu juga Ali! Karena kamu tahu bagaimana kejadiannya, kamu juga jangan pulang dulu!"
"Siap, Pak!" jawab Ali.
Sebelum keluar, aku pamit kepada Pak Udin dan mengucapkan terima kasih. Sebenarnya, aku sendiri sudah tidak mempermasalahkan kejadian kemarin. Namun, menurut Pak Udin; perbuatan salah tetaplah salah, dan perlu diadili untuk memberi efek jera.
Ali terlihat ingin mengatakan sesuatu saat itu, namun aku yang harus segera kembali ke kelas-hanya mengucapkan, "Terima kasih sebelumnya." Karena ia bersedia untuk tidak langsung pulang-nanti siang.
Seperti yang aku katakan, aku membenci orang yang populer! Pengaruhnya baru saja terjadi, ketika aku kembali ke kelas dan semua siswi mulai memandangiku dengan mata-mata penasaran itu! Sebelumnya, situasi seperti ini juga pernah kualami ketika ada kesalahpahaman antara aku dan Firdaus. Dan, sebuah gosip lahir dari situ. Itu akan sangat merepotkan! Dan hal semacam itulah, yang selalu aku hindari. Aku hanya ingin menjadi murid yang biasa-biasa saja, dengan ketenangan dan tidak menjadi sorotan apalagi bahan gunjingan. Karena menjadi orang yang diberi sorotan tidak selamanya berdampak positif.
Biar aku ceritakan satu kisah, dari pengalaman nyata yang menimpa seseorang-yang aku kenal dengan baik, bisa dikatakan ia sudah seperti kakak laki-laki bagiku. Dia seorang laki-laki, sekaligus tetanggaku, yang banyak di gandrungi wanita di lingkungan tempat tinggal dan di universitasnya juga, sebut saja namanya Narkissos. Ketika ia mengenal wanita, ia sering dikelabui dengan kebohongan-kebohongan yang menjijikan. Salah satu wanita yang ingin menjadi pacarnya mengancam bahwa, wanita itu akan melakukan bunuh diri-jika cintanya ditolak. Dan kekasih dari Narkissos itu sendiri, membohonginya dengan berkata bahwa, wanita itu mempunyai penyakit kanker otak stadium akhir. Jika terjadi pertengkaran, kekasihnya itu akan mengeluh dan bepura-pura sakit kepala, agar mereka damai kembali-dan wanita itu akan menolak untuk putus. Yang lebih parah, salah satu teman wanita di universitasnya selalu berpura-pura kerasukan arwah leluhur, untuk kemudian memberi pesan kepada si Narkissos agar mau menjaga wanita itu dengan baik.
Drama-drama itu dilakukan atas dasar ingin memiliki secara berlebihan? Bagiku hal-hal seperti itu terkesan lebih menyeramkan dibanding ketika aku membaca novel-novel horor karya Richard Bachman.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang