10. Mendapat Hukuman

160 50 6
                                    


Imigran itu kembali mengejutkan aku untuk ke tiga kalinya. Dia turun dari sepedanya dan berdiri di dekat pagar pohon daun bidara milik Ceu Olim.
"Mau ke warung?" tanya Ali. "Iya. Masa ke Pluto!" kujawab spontan karena kesal. "Boleh, tidak? Aku titip rokok lagi?" pintanya.
"Tidak!" aku menghardiknya tanpa sadar.
Ali terkekeh. "Heureuy!" imbuhnya. (Bercanda)
Aku mencemooh sebelum meninggalkannya pergi ke warung Ceu Olim.

Saat aku hendak kembali ke sekolah, aku kira Imigran itu sudah pergi dengan sepedanya.
"Eksha?" panggil Ali saat aku keluar dari warung Ceu Olim. "Bisa minta tolong sebentar?"
Eh? Dia ingat namaku sekarang? pikirku.
"Apa itu?" tanyaku.
"Tolong pegangi sepeda saya," pinta Ali.
Aku melihat rantai sepedanya yang terlepas. "Memangnya, tidak bisa disandarkan atau semacamnya?" kutanya.
"Ngg, tidak," jawab Ali cepat.
"Bukannya-posisinya bisa dijungkir balikan?" kutanya lagi, aku mengingat saat ayahku sedang memperbaiki sepeda.
"Saya hanya perlu memasangnya lagi," jawab Ali.
Karena aku tidak begitu banyak mengerti tentang sepeda, jadi kuiyakan saja permintaannya itu. Aku mengangguk. "Ya, sudah!"
"Sebelah sini," kata Ali menunjukkan posisi di mana aku harus memegangi sepedanya.
"Rantai sepedaku rusak, jadi aku hampir saja menabrakmu," jelas Ali sambil memperbaiki rantai. "Maaf!" imbuhnya seraya melirik kepadaku.
"Emm, ya," jawabku singkat dan pelan.
"Dan ini sudah ke empat kalinya. Maklum, sepeda tua!" ungkap Ali seraya memutar-mutar pedal.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Masih lama?" kutanya.
"Sebentar lagi," jawab Ali. "Kamu sudah terlalu lapar, ya?" tanya Ali kemudian.
"Tahu dari mana?" kutanya. Dari arah jam lima, kulihat pipi Ali melesung. Aku rasa ia tersenyum atau mungkin-tidak.
Lantas Ali menjawab. "Dari Rokib dan Atid," kelakarnya.
Aku mengerutkan dahi.
"Selesai!" ujar Ali, menggosok-gosok tangannya yang kotor terkena oli. "Bisa tolong bawa sepedaku ke sana?" pinta Ali menunjuk ke arah kolam yang terletak di samping rumah Ceu Olim.
"Kenapa ke sana?"
Ali menjawab, "Aku mau mencuci tangan." Kemudian ia berjalan lebih dulu ke arah kolam.
Aku menuntun sepeda dan menyandarkannya di sebuah bangku, "Kenapa tidak ikut cuci tangan di warung Ceu Olim saja?" tanyaku.
"Tidak apa-apa," jawab Ali. "Biar kamu juga bisa duduk di situ sambil memakan roti."
"Tapi kan, di sana juga ada bangku." kujawab. "Tunggu! Tahu dari mana-saya sudah membeli roti?"
"Sudah saya bilang, Rokib dan Atid yang memberi tahu."
"Pasti mengintip?"
Ali tak menjawab, masih sibuk membersihkan tangannya.

Seperti apa yang di katakan Ali, aku pun duduk di bangku sambil membuka roti yang kubeli.
"Rasa apa?" tanya Ali basa-basi.
"Rasa cokelat" kujawab. "Mau?" Lantas aku menawarkan.
"Kalau saya mau, kamu juga tidak akan memberinya. Iya, kan? Orang Indonesia cendrung menjadikan basa-basi sebagai alasan-bahwa itu sebagian dari adab-namun pada akhirnya, tetap hanya basa-basi."
"Siapa bilang?" Aku merobek rotiku menjadi dua dan menyodorkan salah satunya kepada si Imigran.
Ali terkekeh. "Saya cuma bercanda. Kamu makan saja, nanti jika aku menerimanya perutmu tidak akan kenyang."
"Lagi pula, bercandamu itu membuatku tersinggung."
"Maaf!" ucap Ali. Ia melihat ke atas pohon tangkil, yang batangnya juga menopang sebagian bangku yang kududuki.
"Kamu itu pacarnya Firdaus, ya?" celetuk Ali, seraya duduk di ujung bangku.
"Aaahh, itu? Kamu sudah mendengar gosipnya?" kutanya Ali dengan santai. Aku sudah tidak heran, karena gosip memang mudah sekali menyebar. "Bukan! Itu salah paham saja," sambungku.
"Oh. Akan sangat menyebalkan kalau sampai, iya."
"Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Aku tidak suka!" ungkap Ali.
"Maksudnya?"
"Aku tidak pernah akur dengan Ketua OSIS itu."
"Terus hubungannya?"
"Hubungannya? Apa, ya?" Ali berpikir. "Ceuli teh jadi panas ngadenge gosip budak eta we unggal poe." (Telinga jadi panas mendengar gosip anak itu saja setiap hari)
Aku menahan tawa ketika ia mulai berbicara menggunakan bahasa Sunda. "Namanya juga gosip, nanti juga hilang. Suka dilebih-lebihkan, kadang suka dikurang-kurangi." Kubalas sambil asyik memakan roti.
Entah sejak kapan, aku dan Ali berbicara santai. Tiba-tiba saja aku menyadari bahwa kami berdua saling memanggil aku dan kamu.

HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang