Pelatihan itu Dimulai

403 43 2
                                    

Untuk kedua kalinya Qya memasuki rumah besar ini. Rumah yang lebih terlihat seperti museum ketimbang istana untuk melepas lelah setelah seharian beraktivitas.

"Kita akan bertemu ayah gue."

Dari iramanya, Qya tahu Arry tegang. Pastinya. Qya membayangkan bahwa ayah Arry pasti seorang yang sangat keras. Membuat Qya makin deg-degan. Dia semakin menundukkan kepalanya.

Clek!

Arry membuka sebuah pintu. Pintu yang terletak di paling belakang rumahnya. Dekat dengan pekarangan belakang yang dihiasi oleh banyak tanaman yang tidak diketahui Qya. Taman itu dibatasi oleh dinding kaca yang melapisi bagian dalam rumah Arry.

"Selamat datang, Varisa."

Suara berat dan serak itu datang dari balik bangku yang membelakangi Qya dan Arry. Qya tetap menunduk. Arry pun tersenyum miring.

"Panggil dia Qya, ayah."

"Aku akan memanggilnya Varisa. Lebih cocok untuk nama seorang pahlawan nantinya. Betul bukan?" Elang membalikkan kursinya ke arah Qya dan Arry. Reflek, Qya menatap mata itu. Mata coklat pekat yang hampir sama dengan mata Arry.

Berbagai macam peristiwa, pikiran yang panjang dan masa lalu terekam oleh Qya. Kematian istrinya, perjuangannya, bagaimana dia menjadi cacat. Semuanya terbaca.

Kepala Qya serasa akan meledak saat membaca itu semua.

Menyadari keanehan Qya yang memegang erat bajunya, membuat Arru segera meraih badan Qya. "Lo kenapa? Ngebaca pikiran..."

Bisikan kecil Arry masih terdengar oleh Elang. Elang dengan tertatih berjalan menuju Qya. Tidak ada Kurnia. Karena memang Elang ingin pertemuan ini hanya ada dia, Arry, dan Varisa.

"Salah satu yang harus kau kendalikan adalah kekuatan mentalmu saat membaca pikiran orang lain. Bagaimana caranya kau bisa menang kalau membaca pikiran musuh kecil saja kau sudah tumbang?"

Perkataan tajam Elang membuat Qya bergidik. Mereka belum berkenalan, tapi sudah begini keadaannya. Hal ini tambah membuat mental Qya surut.

"Ayah! Dia baru saja...."

"Kita tidak boleh terlihat lemah Gifarry! Antar dia ke atas. Aku akan menyusul."

Dengan pelan, Arry memapah Qya ke lantai atas. Yang terhubung dari tangga di ruangan itu.

Di atas, terlihat sebuah ruangan yang berisi banyak buku di dalamnya. Rak-rak buku itu terbuah dari kaca. Dari kaca itu terlihat pemandangan rumah Arry bagian belakang dari atas sini.

"Maafkan kelakuan ayah gue tadi. Dia sangat cemas akan keseimbangan dunia ini dan makhluk bernama Zutua itu."

"Tidak papa. Ini resiko gue juga kan. Gue pun selama ini karena ibu lo. Gue harus berterima kasih sama ibu lo. Dan sekarang saatnya kan gue membalas budi sama keluarga kalian."

Walaupun tidak dapat membaca pikiran seperti Qya, tapi Arry tahu cewek di depannya ini sangat cemas dan tidak siap akan takdir yang dia hadapi ke depan.

Tak! Tak!

Bunyi tongkat milik Elang terdengar. Membuat Qya dan Arry langsung menegakkan badannya.

"Silahkan duduk."

Mereka duduk di sebuah sofa yang ada sebuah meja kava di depannya. Elang duduk di depan mereka.

"Saya langsung saja. Saya akan menceritakan dulu apa yang akan kalian lakukan."

Terasa keheningan yang menusuk di antara mereka.

"Sebelum Arry pindah ke Indonesia, saya sudah menetap di sini sebelumnya. Arry bersekolah di luar negeri sementara karena beasiswa yang dia terima. Tapi saat dia pergi, mendadak segel bagi para pemberontak Zutua melemah-- kau sudah tahu kan ceritanya-- karena beberapa pengikut pemberontak yang berhasil kabur mengumpulkan kekuatan. Harris dan klan Billow tidak mengetahui mereka di mana, tapi kami yakin mereka ada di Indonesia. Karena terakhir aku dan istriku menyegel mereka di sini. Karena Indonesia juga dapat berhubungan langsung dengan dunia mereka yaitu Zusso.

"Itulah sebabnya saya menyuruh Arry kembali. Dan mencarimu. Karena Arry sendiri tidak bisa. Harus ada kekuatan yang digabungkan untuk menguatkan segel bahkan membuat mereka mati. Karena keadaanku sudah tidak memungkinkan. Kekuatan Christine istriku itulah yang dapat membuat segel dan ditutup olehku dengan tanda yang seperti Arry miliki. Dan hal itu diteruskan oleh kalian. Selain itu, kita juga harus menangkap para pengikut pemberontak dan bekerja sama dengan para Zutua yang menginginkan para pemberontak musnah. Untuk kembali merebut keseimbangan Zusso dan bumi."

Penjelasan panjang Elang membuat Qya menelan ludah. Dia sudah tahu. Dan itu membuat dia semakin bergetar.

"Setelah mendengar ini, aku akan membuatmu tahu bagaimana cara melatih kekuatanmu. Seperti Christine dulu. Dia melatihnya bukan dengan latihan fisik seperti yang aku dan Arry lakukan. Tapi dengan meditasi."

Elang memencet sebuah interkom yang ada di meja kaca.

"Panggil Jessie ke sini."

Beberapa menit kemudian, muncul seorang wanita berumur 20 tahunan dengan baju minim yang menampakkan kulit putih mulusnya. Rambut pirangnya yang pangjang itu menandakan dia bukan orang Indonesia. Di tangannya terpampang tatto panjang dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Qya.

"Dia adalah Jessica Vollide, yang akan membimbingmu dalam meditasimu mulai besok."

Qya melihat ke arah Jessie. "Panggil saja Jessie. Saya fasih berbahasa Indonesia. Salam kenal." Jessie menampilkan senyum manisnya.

Qya melihat sekilas. Isi pikiran Jessie sangat berbeda dengan senyum manisnya.

Oke, aku harus siap dengan apa yang akan aku hadapi....

**

Sebuah apartemen yang terletak di lantai 32 itu terlihat sepi. Penerangan sangat redup. Dan di sana, duduk seorang gadis muda yang sedang meminum wine di gelas berkakinya yang ramping, seramping kaki milik gadis itu.

Tika memeriksa sebuah pesan yang masuk ke hp-nya beberapa menit yang lalu.

Kita akan menjalankan semuanya. Bersiap-siaplah. Kehormatan kita akan kembali lagi.

Tika kembali meminum wine-nya dengan santai.

"Jadi, sudah dimulai."

***

A.n

Yaaap nggak tau mau nulis apa di a.n. cuma mau bilang makasih banyak yang sudah baca dan vommenynya:D

Kalau ada yang mau ditanya mengenai kejelasan Zutua dkk, monggo langsung ditanya. Ehehhehehehe

Jangan lupa vote&commentnya ya:D

May I Look Into Your Eyes?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang