FBS 2 : Yang Sebenarnya

2.6K 62 7
                                    

Instagram : wp.zazaa

Rasa panik, bingung, khawatir menjadi satu dalam benak ku. Sambil berlari ku berpikir, apa yang terjadi dengan suamiku?

Tanpa berpikir panjang, ku mengambil sekotak susu putih yang ternyata tak tersedia satu saja. Melainkan banyak berjejer di tempat pintu kulkas dalam. Beberapa detik ku membeku sejenak melihat bungkus susu transparan yang tak tertulis label produk. Aku yang tak tau apa-apa, makin penasaran mendalam.

"Susu apa ini?"

Segera ku kembali ke lantai atas. Keadaan Vangga masih sama. Nafasnya tersengal-sengal tak normal, suhu badannya panas dengan bintik-bintik merah yang mulai bermunculan di area dada dan leher. Aku pun berpikir, mengapa orangtua Vangga tidak bercerita tentang hal ini padaku?

"Duduk." perintahku.

Vangga duduk, bersender di dinding. Mulai meminum lahap air susu yang ku sodorkan. Hingga tak tersisa lagi, Vangga terlihat sangat lega setelah meminum nya. Nafasnya perlahan mulai kembali normal. Memang sengaja ku menyentuh dahinya, dan ternyata suhu badannya kembali normal. Begitu juga dengan bintik-bintik merah tadi, kini telah mengempes.

"Lo kenapa?" tanyaku menaikkan satu alis, menyembunyikan sikap kekhawatiran ku padanya.

Vangga menggeleng lemas tak mau memberitahu. Pria itu mulai membaringkan tubuhnya kembali tidur. Begitu juga denganku yang masih setia bertanya-tanya, heran dengan keadaan suamiku yang tetiba saja aneh. Keberadaan ku disini masih baru, jadi, ada banyak hal yang perlu ku tau.

°°°

Siang ini, setelah jam kampus ku berakhir. Aku memutuskan untuk datang ke rumah Mama Fatim. Orangtua dari suamiku, Vangga. Kehadiran ku kemari, membuat Mama bertanya. Mengira bahwa aku dengan Vangga sedang bertengkar di hari kedua setelah pernikahan.

"Ada apa nak? Kau dengan Vangga baik-baik saja kan?" Raut Mama Fatim tak bisa bohong menampakkan kesan kekhawatiran nya padaku.

Ku tersenyum, membalas penuh keyakinan. "Aku dengan Mas Vangga baik-baik saja Ma. Aku datang kemari ingin mempertanyakan tentang sesuatu."

"Boleh.. apa nak?"

"Semalam.." Diriku mulai bercerita secara detail tentang apa yang Vangga alami semalam.

Anehnya, Mama Fatim meringis samar. Mungkin karna dia tak memberitahu ku lebih dulu sebelum di hari pernikahan ku dengan Vangga.

"Sebelumnya maaf karna Mama tidak bercerita tentang penyakit Vangga padamu. Mama takut jika Mama bercerita tentang Vangga yang seperti itu, kamu tidak akan menerima Vangga untuk menjadi suamimu." ungkap Mama Fatim risau. Ku berhembus nafas, menggeleng kepala pelan seraya tersenyum tipis.

"Ma, perjodohan ini di setujui oleh dua pihak. Aku tidak mungkin menolak nya dengan alasan seperti itu. Dan seharusnya Mama memberitahu ku. Semalam aku benar-benar panik." ujaraku pada Mama.

"Hnghh, Vangga memang mengidap suatu penyakit yang langka. Itu terjadi hanya di pria saja. Penyakit itu di bawa dari lahir yang nanti nya akan kambuh lagi jika si pria telah beranjak dewasa. Karna tak ada pilihan lain, kami harus menjodohkan Vangga." Mama Fatim tampak sayu saat mengingat nya.

"Apa hubungannya dengan pernikahan?" tanyaku.

"Ekhm. Begini Mora. Mungkin sudah saatnya kamu tau. Dan kamu pasti tau Vangga menyetok susu di kulkas nya, susu itulah yang meredakan penyakit nya. Itu bukan susu biasa, seperti kambing atau sapi. Tapi itu susu ASI." jelas Mama Fatim.

"Ooo.. ASI punya siapa? Punya Mama?" Aku sebagai pendatang baru di keluarga, tentu berusaha menebak.

"Bukan. Mama sudah lansia. Sangat tak mungkin mengeluarkan ASI. Itu bukan punya Mama." kata Mama Fatim menggeleng di akhir.

"Lalu?" Aku bertanya memiringkan kepala sedikit. Raut muka ku seperti orang yang sedang berpikir keras.

"Sebenarnya Mama tidak ingin mengatakan ini. Mama takut melukai hatimu, Mora." balas Mama.

Dari ucapan Mama barusan, sangat mudah di tebak. "Eum.. ASI itu punya wanita lain ya? Pasti muda ya Ma?"

"Hemm begitulah.. kamu bisa bertanya lebih jelas pada Vangga. Atau kamu bisa meredakan penyakit Vangga dengan-"

"Eh?!" Spontan ku terkejut mendengar.

"Gapapa Mora.. kamu ngga kasihan sama Vangga?"

"K-kasihan si Ma.. tapi kan Mora ga kebiasaan." Membayangkan saja sudah sangat malu.

"Udah. Coba aja dulu. Lagian itu suami kamu sendiri, bukan lelaki lain. Iya kan? Jadi, biasakan saja. Vangga pasti sembuh jika dia rutin." kata Mama menyarankan.

"Memangnya Mas Vangga mau?" pikirku mendalam.

"Lelaki mana yang tidak mau? Tentu Vangga mau." Mama Fatim meringis samar.

Glek. Air ludah ku tertelan kasar.

"Kalau belum siap tak apa. Tetapi Vangga terpaksa meminum ASI wanita lain. Karna penyakit nya itu kambuh tak kenal waktu. Dia lebih sering kambuh di tengah malam." lontar Mama lagi menjelaskan. Pikiran ku semakin kemana-mana.
.
.
.
.
.
.
Sisi lain. Tampak seorang Pria tampan tengah menyangga ponsel nya. Berdiri tepat di hadapan kaca besar dari tingginya gedung perusahaan. Vangga, sedaritadi fokus menatap ponsel. Seakan sedang membalas pesan yang penting.

Tok, tok, tok..

"Masuk." datar Vangga memutar badan.

Tampak berdiri seorang pria muda di dekat pintu. "Tuan. Maaf menganggu, ada tamu di luar. Dia memaksa ingin bertemu dengan anda tanpa adanya perjanjian secara langsung."

"Siapa?" Vangga bertanya, memasukkan ponselnya segera kedalam saku.

"Seorang wanita muda." ucapnya. Tak perlu menebak lagi, Vangga telah mengenalinya.

"Suruh dia mas-"

Tetiba saja, "WOY!! DASAR OM-OM!!! MASA GUE GA BOLEH MASUKKK SIH?!?!! SOMBONG BANGET LO ANJINGGG!!" Yeah, aku memang tak tau malu dengan sekitar.

"Tutup mulut anda! Tidak sopan sekali anda berbicara kepada atasan kami!" sentak asisten tersebut bermuka kesal.

"Eh Lo tuh gimana si! Mau banget punya atasan kaya dia! Udah sombong, jelek pula! Masa gue ga boleh masuk?!!" pekik ku menyembur.

"Dasar wanita muda!"

"Anent, biarkan dia masuk." pinta Vangga menyela pembicaraan kami.

Pria yang sepertinya adalah asisten suamiku itu, dia sekilas menunduk lebay setelah Vangga berbicara. Kemudian, dia pergi begitu saja tak lagi meladeni ku.

"Masuklah." kata Vangga menyuruh ku. Aku masuk melangkah maju setelah menutup pintu ruangan. Kepalaku tak bisa diam menoleh kesana nan kemari melihat betapa mewahnya ruangan kerja Vangga.

Hingga langkah ku terhenti. Tertarik dengan koleksi foto berfigora yang bertempelan rapi di dinding. Tak ada satupun foto yang tak menampakkan sosok suamiku di sana. Semuanya di lengkapi dengan Vangga yang tengah memegang piala penghargaan miliknya. Tak hanya itu, ada juga foto dengan teman serekan kerjanya dan satu lagi..

Foto yang paling berbeda, dan bingkai figora yang paling berbeda. Berletak di paling pinggir sebelah kiri. Ku melihatnya secara jelas meski lemari menutupi pencahayaan kaca figora.

Di sana, tampak seorang wanita cantik tengah menggandeng tangan Vangga. Keduanya tersenyum lebar di sebuah acara besar yang tentu ku tak tahu acara apa itu.

"(Siapa?)"

°°°

FEBIOLABREATS [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang