Bengkel24: Kerja Bakti

5.7K 190 32
                                    

Sudah lebih dari tujuh hari Yanto menghindari Mang Saki. Bukan sedang marah, hanya sedang kesal saja. Yanto tahu kalau marah dengan orang tidak boleh lebih dari tiga hari. Tapi kalau kesal, boleh kayaknya.

Setiap kali Mang Saki mampir ke rumah, ia akan menghindar dan kalau terpaksa harus bicara dengannya, Yanto akan ngomong seperlunya. Banyak pesan WA yang masuk dari Mang Saki, Yanto abaikan. Bahkan banyak yang belum dibaca. Telepon darinya pun selalu Yanto matikan.

Apakah Yanto bersikap berlebihan?

Yanto merasa ini cara paling baik agar hatinya tidak berharap banyak. Perasaan sukanya memang jelas, tapi kalau yang disukainya memilih jalan lain, Yanto tidak bisa memaksa. Yanto sadar hubungan ini tidak punya ujung yang indah dan karena paham itu, Yanto memilih meredam perasaannya sampai benar-benar surut. Ia ingin getaran itu menjadi kecil.

Malam itu, sekitar pukul 10 malam, perut Yanto berbunyi gara-gara lapar. Ia pergi ke dapur hendak membuat mie rebus. Selagi menunggu air di panci bergulak, Yanto duduk di kursi meja makan sambil membuka-buka ponselnya.

"Ehm!" Deham Ibuk yang muncul di dapur. "Mau masak apa, Nto?"

"Mie rebus, Buk. Yanto masih lapar ternyata. Ibuk mau dibuatkan sekalian?"

Ibuk ikutan duduk di kursi lain. "Boleh, Nto. Pakai irisan cabe juga kan?"

"Pasti atuh. Biar rasanya lebih mantap, hehe. Oya, Buk, Bapak sudah berangkat siskamling?"

"Sudah. Soalnya tadi disusul Wak Mamat."

Yanto menyiapkan mie lebih dulu yang untuk Ibuk. Punyanya sendiri sudah ia siapkan sebelumnya. Setelahnya Yanto kembali duduk di kursi.

"Nto, Ibuk boleh tanya sesuatu?" Ucap Ibuk memecah keheningan.

Yanto mengalihkan tatapannya dari layar ponsel ke ibuknya.

"Boleh, Buk. Memangnya Ibuk mau tanya apa?"

"Kamu lagi berantem sama si Saki?"

Yanto mematung beberapa saat. Agak kaget mendengar pertanyaan Ibuk barusan. Apa yang Ibuk tahu sebenarnya?

"Memangnya kelihatan, Buk?"

Ibuk mengangguk. "Ada masalah apa memangnya?"

Yanto menghela nafas. Ia tidak bisa berterus terang soal apa yang terjadi.

"Cuma beda pendapat saja, Buk. Yanto kurang suka sama jalan pikiran Mang Saki. Makanya Yanto memilih diam saja."

"Terus mau sampai kapan?"

"Enggak tau, Buk," jawab Yanto lemah.

"Memangnya tidak bisa diomongin berdua? Ibuk enggak suka kalian diam-diaman."

"Pyuh! Apa harus Yanto yang mulai, Buk?"

"Masalah itu jangan dibuat lama-lama. Kamu ngomong duluan bukan berarti kamu mengalah, Nto. Tapi kamu lagi bersikap kesatria, mau menyelesaikan masalah lebih dulu. Sebenarnya enggak enak kan menyimpan masalah? Pasti kamu juga kepikiran terus!"

"Iya, Buk," lagi Yanto menghembuskan nafas, "Yanto akan coba ngobrol sama Mang Saki lagi."

Ibuk tersenyum bangga. "Jadi baik itu enggak pernah ada ruginya, Nto."

"Iya, Buk."

Dan tak lama kemudian air di panci mendidih. Yanto bangkit untuk melanjutkan memasak mie rebus.

Dari tempat semula, Ibuk memandangi anak laki-lakinya yang sudah bujang dengan bangga. Yanto terbilang anak yang penurut. Tidak banyak tingkah dan cukup dewasa di tengah kondisi keluarga yang pas-pasan. Ibuk berdoa dalam hatinya semoga Yanto diberikan kesehatan dan dihindarkan dari masalah-masalah pelik.

MONTIR KETAR-KETIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang