Bengkel14: Banyak Kangen

6.1K 166 11
                                    

Sehabis Magrib pada hari itu, Yanto yang sedang tiduran di kamar, dipanggil Ibuk.

"Nto, ada si Rusdi di luar," beritahu Ibuk.

"Iya, Buk? Yanto ke situ kalau begitu," Yanto langsung semangat. Ia sudah kangen, sudah lama tidak ketemu.

"Nto!" Sapa Aa Rusdi lesu saat Yanto muncul di pintu depan.

Yanto bisa melihat wajah suram Aa Rusdi yang duduk di jok motor.

"Kemana saja, Aa, baru kelihatan lagi? Sibuk sama kuliah ya?" Tebak Yanto.

"Begitulah, Nto. Kamu sekarang lagi sibuk?"

"Enggak, Aa. Tadi lagi tiduran aja."

"Temenin Aa jalan-jalan mau nggak? Aa lagi jenuh."

Yanto semringah. "Boleh, Aa. Yanto siap-siap dulu kalau begitu, sekalian pamit sama Ibuk."

Yanto kembali masuk rumah untuk mengganti baju. Ia pakai jins dan kaosnya ditutup jaket untuk menghalau udara dingin malam hari. Yanto juga pamitan sama Ibuk kalau ia mau jalan-jalan sama Aa Rusdi.

"Ya sudah hati-hati di jalannya. Bilang ke Rusdi jangan ngebut-ngebut bawa motor na," pesan Ibuk.

"Iya, Buk, nanti Yanto sampaikan."

Yanto menemui Aa Rusdi yang sudah duduk di atas motor matic-nya yang mesinnya sudah nyala. Yanto langsung saja menaiki jok belakang.

"Udah siap?"

"Iya, Aa."

Gas ditarik, motor menderu maju membelah angin malam. Aa Rusdi menjaga kecepatan di angka 30Km/Jam. Ia menyusuri jalan desa yang kalau sudah Maghrib begini pasti sepi.

Sudah agak lama motor turun ke jalan tapi tidak ada percakapan apa pun antara ia dan Aa Rusdi. Yanto merasa aneh.

"Aa lagi sakit?" Tanya Yanto dari belakang.

"Enggak," jawab Aa Rusdi.

Motor melintasi jalanan sepi yang di kanan-kirinya kebun tebu. Yanto hafal jalan ini agak panjang. Dan saat ia memikirkan soal kemungkinan melihat hantu, tangannya ditarik melingkar ke perut oleh Aa Rusdi. Satu tangan memegang stang motor, tangan satunya meremas jemari Yanto.

Yanto mengeratkan pelukan dan ia sandarkan pipinya di punggung Aa Rusdi. Terasa hangat dan nyaman, Yanto menyukainya.

"Aa, kangen kamu, Nto," ucap Aa Rusdi. Walau suaranya lirih tapi masih bisa didengar.

"Yanto juga, Aa. Kangen Aa."

Tangan Yanto bisa merasakan betapa kerasnya perut Aa Rusdi. Seketika otaknya meluncur membayangkan perut Aa Rusdi yang dihiasi rambut tipis memanjang dari pusar turun ke selangkangan. Rasanya ingin sekali ia mengelus perut itu.

Pelukan Yanto terurai saat motor memasuki jalanan yang agak ramai, dikelilingi rumah-rumah. Ia mengantisipasi dilihat warga.

Motor dilajukan ke pinggir kampung tetangga dan berhenti di sebuah warung yang dibangun dari bambu. Warungnya gelap karena sudah tutup dan tidak ada lampu terpasang.

Warung itu berada di sebuah bukit tinggi yang kalau kita melihat ke bawah kita bisa melihat Setu Patok. Tapi saat malam begini, setu terlihat hanya kegelapan menghampar.

Yang menarik dan indah dari tempat itu kita bisa melihat titik-titik lampu menyebar seperti bintang-bintang di langit. Keheningan dan kegelapan berkolaborasi menjadi momen magis menenangkan.

Yanto dan Aa Rusdi duduk di kursi bambu panjang menghadap ke pemandangan di bawah. Hening sekali, Aa Rusdi lebih pendiam malam ini.

"Ada apa, Aa?" Yanto memecah kesunyian di antara mereka.

MONTIR KETAR-KETIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang