when you say my name

782 105 7
                                    

Satu hal yang tak pernah gagal buat Sunghoon lupa waktu adalah kegiatannya menggambar. Melukis di kanvas, menyusun cerita komik, bahkan coret-coretan abstrak di halaman terakhir buku catatan. Itulah mengapa dia senang tidak kepalang saat Heeseung menunjukkan satu ruangan sisa yang belum direncanakan apa-apa.

"Bisa untuk studio kamu." Pewaris tunggal keluarga Lee itu berkata pendek, membiarkan Sunghoon menapak pelan-pelan memasuki ruangan.

Sunghoon tak ekspektasi apa pun.

Buatnya, diberikan satu spasi luas yang bisa dia sulap menjadi studio kelak adalah hadiah paling menyenangkan. Teringat bagaimana dulu ia mati-matian hanya untuk studio berukuran miniㅡsekarang Sunghoon memiliki satu yang dapat dia gapai kapan pun.

Tersadar bahwa Heeseung masih berdiri di dekat pintu sembari bersedekap, Sunghoon tahu diri. Ia berbalik, menapak jalan ke arah Heeseung.

"Makasih mas Heeseung," senyumnya. "Kasih tau aku makanan favorit mas Heeseung, aku masakin nanti malam."

Mungkin Sunghoon salah lihat. Mungkin bias dari kurdin merah gelap yang jadi penyebab. Namun Heeseung lantas buang muka dan mati-matian sembunyikan ekspresi.

"Nggak apa-apa. Nanti kamu repot." Lantas ngeloyor pergi. Tinggallah Sunghoon beserta seluruh kegelian yang ada. Tiga hari tinggal bersama, setidaknya Sunghoon mulai merasa sedikitㅡsedikiiiitㅡnyaman.

Dan seperti kaum kebanyakan; satu hal yang bakal dilakukan saat suasana hati senang adalah mengabarkan. Untuk Bunda dan Ayah, dua-duanya bisa menyusul. Toh, Sunghoon juga sudah janji bakal meminimalisasi acara merengek dan cerita panjang lebar ke kedua orang tuanya; karena practically sekarang dia sudah jadi milik orang.

Jadi, menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala, Sunghoon menunggu dengan nada sambung bermain di rungunya.

"Hoon?" Suara Jay terdengar di dering ketiga.

"Jay!"

Sunghoon sontak tutup telinga begitu suara di seberang sana berteriak heboh. Kentara sahabatnya langsung meraih Jungwonㅡpasangannyaㅡdemi merudung ekstatik yang tengah menjalar. Ampun. Padahal baru tiga hari yang lalu Jay meraung tak keruan karena sahabat dekatnya pergi menikah.

"Apa kabar?"

Sunghoon melolos tawa. "Ya Tuhan, Jay, kayak aku pergi ke luar benua. Iya, baik. Kamu dan Jungwon sendiri?"

Masih menahan kegembiraan, jadi tetap ribut. Dan disusul dengan cerita Sunghoon tentang ruangan baru yang ia terima. Luas lumayan, berpotensi untuk jadi studio sekaligus tempat penyimpanan gambar miliknya selanjutnya. Mungkin hingga jumlahnya cukup sampai Sunghoon bisa membuat showcase sendiri. Kelak.

Di tengah pembicaraan pula, terlempar satu pertanyaan dari Jay yang mampu membuat jalur telepon mereka hening. Sejemang.

Sunghoon bahkan tidak paham harus memberi jawaban macam apa.

"Kita di rumah kok, Jay," hela Sunghoon, tanpa sadar suaranya beringsut pelan. "Penthouse-nya besar! Makanan pun biasanya mas Heeseung bakal pesen langsung ke bawah."

"Hoon ...? Kalian nggak bulan madu gitu?"

Senyum Sunghoon memudar. "Belum sempat, Jay, nanti ada waktunya." Dia bilang. "Kemarin pun dipanggil ke kantor. Mas Heeseung pasti dibutuhin banget Jay, makanya kita nggak bisa main pergi. Harus direncanain dulu."

Bulatan kancing di sweter Sunghoon hampir lepas lantaran ia mainkan; demi merudung rasa gugupnya, mungkin. Intonasi Jay kentara khawatir; walaupun yang Sunghoon rasa, kehidupannya sekarang tak banyak berubah. Hanya tinggal di penthouse, kamar super besar, dan teman satu rumah.

Bukan membenci Heeseung. Bukan pula meminta perhatian lebih pada Heeseung. Sunghoon tahu lelaki itu sibuk.

"Kamu nggak apa kan Hoon?"

Coba balurkan senyum di kalimatnya, Sunghoon menjawab. "Apa sih, Jay? Aku baik-baik aja kok," katanya. "Aku tutup teleponnya, oke? Salamin buat Jungwon!"

Sambungan putus; Sunghoon benci kalimat Jay bawa sesuatu ke tengah dadanya.

Biasanya, di sore menuju malam, Heeseung bakal mengokupasi island mereka dengan laptop terbuka, buku catatan, dan snack sederhana yang biasanya disiapkan oleh Sunghoon. Teringat lagi kata-kata Jay, bahwa seminggu ini practically hanya Heeseung yang membawa pekerjaan kantornya ke rumah.

Tapi sore itu ada yang beda, karena seselesainya Sunghoon dari kamar mandi dan hendak mengambil sisa maskerㅡiya, dia ribet urusan skincareㅡdari kulkas, daerah island kosong. Lampunya pun redup; hanya berasal dari penerangan kecil di sudut-sudut tembok.

Terpikir mungkin Heeseung tidur atau pindah suasana, Sunghoon angkat bahu. Toh, sekikuk apa pun mereka, Heeseung selalu mengabarkan jika perlu ke luar. Sekalipun hanya mengambil makanan di pintu depan.

Jadi terbayang bagaimana Sunghoon hampir melompat kaget waktu pintu kulkas ditutup, ada Heeseung yang tiba-tiba sudah berpakaian rapi. Hilang sudah kaus oblong dan celana katun rumahannya.

Rapi; tapi bukan pakaian yang biasanya dia kenakan untuk ke kantor.

"Sunghoon."

Boleh merasa was-was, kan kalau begini?

"Ya, mas?"

Sungguh, kalau Heeseung tiba-tiba bilang dia ada kencan dengan orang yang bukan Sunghoonㅡ

"Ayo kita makan di luar."

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang