the next step

406 61 16
                                    

Sekarang, memberi salam di pipi maupun bibir rasanya sudah lumrah. Mungkin kikuk, awalnya, karena seringkali mereka tertegun selama beberapa saat dan hanya buyar kalau Sunghoon lantas menggeram sambil menutup muka atau Heeseung buang pandang. Puncaknya kala keduanya putuskan habiskan sisa akhir minggu di depan teve raksasa di ruang tengah—sementara tokoh utama dalam film berjalan menjauhi api, Sunghoon permisi untuk isi kembali mangkuk kudapan mereka.

"Mas Heeseung pilih film lagi. Biar aku panasin makan malam." Lalu ia bangun dan beri hadiah kecil di pipi pasangannya. Refleks. Karena Heeseung lakukannya pagi ini waktu ia bangun untuk lari pagi.

Duduk berdekatan di sofa; dengan Sunghoon bergulung erat di dalam kungkung lengan pasangannya; nyatanya belum bisa mempersiapkan Heeseung untuk menerima hadiah dari Sunghoon. Ha. Jadi, berakhirlah skenario itu dengan kecanggungan.

"Kㅡkamu ...."

Sunghoon berdiri sembari pasang wajah inosen. "Habis tadi pagi mas Heeseung cium pipi aku," katanya pendek.

Yang disebut namanya balik melongo, sebelah tangan tangkup area pipi yang barusan diserang. "Hoonㅡ"

"Mas Heeseung apa sih!" Kebiasaan Sunghoon kalau malu—tutupi muka dengan kesepuluh jari lalu buat suara abstrak biar menyalurkan rasa malu sekaligus gugupnya. Iya. Satu hal yang selalu buat Heeseung lupakan seluruh bebannya. "Aku maluu!"

Masih pegang pipi, Heeseung lantas bangun dan hampiri kesayangannya; iya. Sekarang sudah diikrarkan besar-besar. Orang-orang di kantor pun tahu.

Rumor has it kalau Sunghoon yang menelepon, Heeseung akan pasang tanda do not disturb bahkan.

Genggam dua tangan Sunghoon, geser, supaya Heeseung bisa lihat pasang manik hazel pasangannya.

"Kamu ngapain malu gitu?" tanya Heeseung lembut, "Harusnya saya yang panas dingin."

Sunghoon majukan bibir—ujian untuk Lee level dua. "Habisnya aku mau tes; kenapa tiap mas Heeseung yang cium aku, mas Heeseung biasa aja."

Senyum kecil; Heeseung layangkan tawa. "Luarnya biasa; dalemnya saya merinding, Sunghoon." Well, perkataan publik tentang Lee Heeseung yang speak his mind truthfully nyatanya benar. Dan sialnya, Sunghoon tambah gugup. "Manis kamu kalau merah mukanya."

Makin-makin, tomat kalah.

"Mas Heeseuuuung!"

Kembali Senin, kembali pada rutinitas masing-masing. Acara menontonnya dengan Heeseung tadi malam selesai sebelum pukul sembilan. Kenyang dan masih menikmati skinship yang mulai lumrah, Sunghoon dorong pasangannya ke kamar mandi buat ganti piyama.

Seperti biasa pula, Heeseung tak pernah tinggalkan rutinitasnya lari pagi—selelah apa pun, semenggoda apa pun berbaring di samping Sunghoon dan menunggu sampai ia mengerjap bangun.

Sapaan pagi—lagi; kali ini di dahi. Sunghoon-nya menggeliat pelan dan tarik selimut hingga ke dada. Tidak salah. Desember di ujung hidung. Udara mulai dingin. Mungkin Heeseung hanya akan habiskan waktu di treadmill ketimbang lari di luar—bisa-bisa dia flu.

Sunghoon sudah duduk-duduk di island sekembalinya Heeseung. Dan sekitar lima belas menit kemudian, keduanya duduk berhadap-hadapan. Sarapan. Kebiasaan mereka yang melewatkan sarapan terganti dengan rutinitas pagi yang baru.

"Nanti siang ke studio?"

Sunghoon anggukkan kepala. Ia mulai menyukai kebiasaan paginya sekarang. Menyendok sereal ditemani obrolan ringan. Cologne Heeseung tercium lembut.

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang