Heeseung kentara gugup.
Dalam span waktu terakhir, dia sudah tanya Sunghoon berkali-kali: "Nggak apa saya tentukan tempat?" Atau "Kamu suka masakan Timur Tengah?" Sampai "Tolong bilang kalau kurang cocok, kita mampir yang siap saji sebelum pulang."
Sementara Sunghoon, usaha kuat tahan senyum di kursi penumpang. Mungkin Heeseung belum pernah mengajak seseorang kencan? Kalau dilihat dari bagaimana ia membukakan pintu, bertanya apakah seatbelt sudah dipasang, dan lain-lain; mungkin lelaki itu baru belajar dari internet sebelum siap-siap.
Tapi toh, tidak penting.
Sunghoon masih kepalang senang. Histori chat dengan Jay waktu siap-siap barusan penuh emoji dan tanda eksklamasi.
Pada akhirnya, Heeseung pinggirkan mobil di depan sebuah hotel mewah. Sunghoon hampir copot jantung. Bukannyaㅡ
"Saya bingung ajak kamu ke mana." Heeseung bisik pelan; sebelah wajah tertutup bayang dasbor mobil. "Di sini makanannya banyak, ada bento, korean food, western juga ada. Kalau masih kurang, nanti waktu pulang kita drive thru saja."
Pantas, Heeseung hafal. Ini salah satu aset hotel keluarganya; Sunghoon tambah dibuat geli. Tidak sopan kalau terbahak, jadi dia cuma lempar senyum kecil. "Nggak apa-apa, mas. Ayo?"
Angguk kepala, Heeseung tarik kunci mobil dan jalan cepat ke arah pintu penumpang. Seperti yang dia lakukan saat mau berangkat, gerakannya luwes bukakan pintu dan beri jalan. Media tak bohong. Pewaris keluarga Lee memang terbaik dalam banyak hal.
Sunghoon tak heran sewaktu mereka berdua menapak di lobi, ada sejenak seluruh pegawai berhenti beraktivitas dan memberi salam hormat yang singkat. Salah satunya, yang pakai pakaian paling rapi di resepsionis, jalan cepat menghampiri.
Heeseung berucap pelan; disambut angguk mengerti si orang resepsionis. Mereka mengekor di belakang, diantar hingga ke mulut restoran yang malam itu khusus memainkan live music tahun 90an. Lagu barat, Sunghoon hafal satu yang sedang dimainkan.
"Kamu suka lagunya?"
Heeseung ambil tempat agak ke belakang, mendekati kaca raksasa yang beri pemandangan kota kala malam. Restorannya memang tidak berada di lantai terlalu tinggiㅡitu rencana Heeseung ke depan untuk buat satu lagi di rooftop; katanya.
"Iya. Bunda dan Ayah sering nyanyi lagu ini dari aku kecil," sambar Sunghoon, senyumnya lebar. Sungguh, dia senang. "Mas Heeseung mau pesan apa?" Lirik buku menu di hadapan pasangannya yang belum disentuh.
Yang ditanya hanya geleng kepala. "Pesankan sama seperti kamu," jawabnya singkat.
Ketika buku menu diambil dan pelayan mereka malam itu mencatat pesanan, suasana hening lagi. Tidak kikuk, nyaman malah. Sunghoon masih buka rungu lebar-lebar; lagu Celine Dion yang sekarang diputar. It's All Coming Back to Me Now.
Dan; satu yang menjadi perhatian pentingnya. Heeseung sama sekali belum mengeluarkan ponsel, maupun menyibukkan diri sendiri. Lelaki itu sungguh duduk di sana, fokuskan atensi entah pada apa; namun Sunghoon sungguh nyaman dibuatnya. Dia bahkan sempat tangkap Heeseung non-aktifkan telepon selepas make sure tidak ada pesan yang harus dibaca.
Tipikal orang yang sangat Sunghoon kagumi. Tidak ke mana-mana bergantung alat komunikasi. Ayah dan Bunda ajarkan demikian. Apa artinya komunikasi dunia maya kalau kamu punya teman untuk diajak bicara.
ㅡ
"Dan aku baru tahu kalau Mama ternyata beli karya aku yang tadinya nggak rencana aku jual." Sunghoon cerita dengan kalimat ekstatik, di tengah keseriusannya memotong daging steak. "Aku nggak tahu siapa beliau, awalnya, karena aku tetap ngotot nggak bisa dijual."
Heeseungㅡyang ternyata tidak permasalahkan mengobrol sambil makan, ikut menyetop aktivitasnya. "Lalu? Gimana caranya Mama bisa beli?"
"Gara-gara Jungwon injak-injak kaki aku." Sunghoon berucap polos; buat Heeseung melebarkan onyx.
"Kenapㅡ"
"Jungwon sadar duluan, kalau Mama nggak mungkin pembeli gadungan. Karena aku pernah kena tipu sebelumnya," lanjut Sunghoon lagi; tandaskan habis air minumnya. "Waktu itu showcase pertama, sih, jadi begitu ada yang tertarik, aku langsung setuju."
Wajah Heeseung perlihatkan ekspresi maklum, hela napas terdengar. Dia lantas habiskan juga minumnya lalu kembali pada pembicaraan.
"Dan dari situ, Mama sering datang ke showcase?"
Anggukan semangat. "Iya! Bahkan Mama pernah janji mau jadi sponsor utama; dan ... showcase-nya diadakan di sini."
Ujung jari telunjuk Heeseung terarah ke tanah, sembari melempar pertanyaan bisu: di sini? yang dijawab anggukan lain oleh Sunghoon. Setelahnya, pasangannya tersenyum kecil, menarik serbet yang sebelumnya ia hamparkan di pangkuan. Lipatan ala kadarnya Heeseung tempatkan di sebelah piring; lalu raih gelas wine.
"Kamu sudah putuskan gimana dekor ruangan baru kamu?" Heeseung tanya, mengaitkan dengan ruang kosong yang hari ini baru saja dimiliki Sunghoon.
Yang ditanya mengamini. "Mama bilang gedung tempat studioku sekarang mau direnovasi. Mungkin ada beberapa peralatan yang bakal kupindah sementara."
"Oh." Heeseung mengerti. "Bilang sama saya kalau kamu sudah siap adakan showcase lagi," katanya. "Kita cari venue yang lebih besar dan lebih dikenal orang."
Sunghoon tidak tahu sampai kapan keberuntungannya bertahan, namun sekarangㅡsekarangㅡia amat berterima kasih. Mungkin bagi banyak orang, memang sudah kewajiban tiap pasangan untuk saling memberi support. Tapi, pengecualian untuk Sunghoon; karena sejak awal pun cerita mereka sudah berbeda.
Lepas senyum paling bahagia, Sunghoon menganggukkan kepala.
"Makasih, mas Heeseung."
KAMU SEDANG MEMBACA
11:11
Fanfic「 remake; original story by adlaidh 」 ft. heehoon sunghoon berpikir, mungkin lebih baik ia dijodohkan atas dasar rekan bisnis saja sekalian. lebih nyata. hidupnya terasa seperti mainan sekarang. +marriage!au