return to me

647 62 26
                                    

Heeseung terbangun oleh suara ketukan pintu.

Sadar. Ia masih pada posisi awal. Di sofa panjang, kelelahan setelah bereskan seisi vila dari bungkus makanan dan bekas plastik entah apa. Dan sekarang, kepalanya sakit—karena terbangun tiba-tiba. Dari apa yang Heeseung dengar, kurang lebih ada yang seriously butuh bertemu dia—Taehyun, atau mungkin Mama; dua orang yang pasti sudah tahu keberadaannya.

Maka, Heeseung tak berekspektasi apa pun waktu buka pintu.

Dia bahkan tak menyangka akan mendapatkan satu pelukan penuh Sunghoon di pintu depan vilanya.

"Hoonㅡ"

Yang namanya dipanggil tak menjawab verbalㅡeratkan pegangan di sekitar leher Heeseung dan benamkan wajahㅡsembunyi. Namun toh Heeseung tahu pasangannya tengah keluarkan emosi; isakannya pelan. Dan tumbuh lagi rasa bersalahnya sejak seminggu ini.

"Sayang ...." Heeseung coba lagi; tak mempan. Walau demikian, tidak ada yang bisa hentikan senyum kecil merambat ke bibirnya. "Kita ke dalam, ya?" Dan karena Sunghoon tak juga bergerak, ia putuskan jalan paling singkat.

Yang berakhir dengan pekik kecil Sunghoon dan Heeseung yang tersenyum congkak.

"Mas Heeseungㅡ"

"Sebentar." Sang putra Lee nyamankan posisinya di sofa dengan Sunghoon yang masih berada dalam pangkuan. Hangat. Tak disangka cuma butuh kehadiran pasangannya untuk hilangkan gundah. Heeseung merasa tolol. Kalau saja ia sadar lebih cepat. "Saya mau peluk kamu."

Respons Sunghoon berupa sepasang lengan yang melingkar lebih erat. Wajahnya masih menyembul malu dari bahu pasangannyaㅡsalurkan perasaan lewat kontak fisik dan embusan napas bersama.

"Mas Heeseung sehat? Nggak lewatin jam makan, kan?" Suara Sunghoon teredam; namun Heeseung tidak kehilangan aksen khawatir di tiap nadanya.

"Harusnya saya yang tanya begitu ke kamu." Heeseung balas; sebelah tangan raih kaki Sunghoon yang saat itu hanya dibekali celana katun tujuh per delapan. Heeseung tebak; Sunghoon menyusul kemari tanpa persiapan. Dan sudah pasti Mama yang tak akan tega tutup mulut. Heeseung hanya menyayangkan kenapa bukan supir pribadi Mama yang antar Sunghoon ke sini—iya, dia khawatir. Belum tentu suasana hati pasangannya tenang. "Maaf, saya belum bisa jujur ke kamu," aku Heeseungㅡgulirkan atensi pada anklet yang melingkar di mata kaki Sunghoon. Cantik. Heeseung buat mental note untuk belikan model lain.

"Jangan tinggalin aku tiba-tiba lagi, mas Heeseung." Sunghoon tutur pelan—nadanya putus asa. "Maaf juga—aku nggak peka sama perasaan mas Heeseung. Aku bahkan nggak tahu tanggal peringatan kematian Papa. Aku bodoh nggak nanya apa pun. Aku—"

"Kesayangan saya nggak bodoh, oke?" Nada Heeseung tegas—usapannya di sekitar mata kaki Sunghoon terlepas. Ia angkat wajah pasangannya; pandangan melembut karena jelas lingkaran merah tergambar di sekitar hazel lawan bicaranya. "Saya bolehㅡ?"

Sunghoon anggukkan kepala singkat. Tak menjawab—ia bertemu Heeseung tepat di tengah.

Entah siapa yang mulai; entah siapa yang izinkan.

Heeseung hanya ingat permintaan lirih Sunghoon untuk pindah dari sofa panjang. Mungkin kakinya lelah ditekuk, dan Heeseung adalah pria yang akan pastikan pasangannya nyaman dan terpenuhi seluruh kebutuhan.

Bibir Sunghoon bengkak—manis. Semakin merah; semakin bersemangat pula Heeseung menyerang. Sesekali raih area mata kaki Sunghoon dan mainkan anklet di sana—iya, Heeseung baru sadar hal demikian dan fuck, ia menyukainya.

Ujung jemari Sunghoon bergetar ciptakan jalur di sepanjang lengan Heeseung; gerak pelan; kuatkan pegangan di bahu pasangannya saat dihentak. Bulir airmatanya jatuh, Heeseung tersenyum kecil lantas hapusnya dengan ibu jari. Seluruh hal tentang Sunghoon teriakkan perintah wajib dijaga, dimanjakan, dan pastikan baik-baik saja. Jika bisa, Heeseung ingin sembunyikan ia dari dunia—dalam kungkungannya; dalam jarak pandangnya.

"Pretty, pretty Sunghoonieㅡ"

Gumam Heeseung dipotong lenguh panjang Sunghoon; mungkin akan ada permukaan punggung yang dikurbankan setelah ini.

Nama Heeseung penuhi ruangan, tak ubahnya desir permohonan seseorang. Sementara si empunya nama benamkan wajah di perpotongan leher dan dahi pasangannya; raup rakus aroma tanpa ingin berhenti.

Ketika akhirnya Heeseung selesai dan balurkan permintaan maaf ke setiap jengkal wajah Sunghoon, ada senyum penuh geligi yang kelewat nakal. Heeseung balas; hanya lemparkan seringai waktu Sunghoon duduk di perutnya—kentara tak ingin waktu mereka berakhir begitu saja.

Bisik kecilㅡHeeseung tak paham ke mana perginya Sunghoon yang lembut dan pemalu.

"Lagi."

Lantas; siapa Lee Heeseung berani bantah permintaan Sunghoon?

"Pelan, Sayang."

Sunghoon menggeleng pelan; masih pasang seringai kecil di wajahnya. Nakal.

"Jangan tarik anklet aku, mas Heeseung, nanti putus." Sungguh. Racauan Sunghoon terdengar kelewat inosen despite posisinya sekarang. Pandang lugu; bibir menuju bengkak. Hati Heeseung sungguh tak kuat.

"Saya belikan seluruh model anklet yang kamu mau," balas Heeseung; sentuhan bayang di pinggang pasangannya. "Sekarang, hm?"

Iya. Harus sekarang. Kalau tidak, Heeseung bisa benar-benar gila.

"Ngㅡgak." Sunghoon mainkan nada kalimatnya—geleng pelan, bibir dikerucutkan. Sialan. Hazelnya mengerling.

"Pokoknya aku yang pegang kendali sekarang."

Tuhan, mana air suci?

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang