warm embrace

473 65 11
                                    

Sunghoon terbangun karena sayup kecil suara konversasi seseorang. Di bawahnya empuk, pun dia merasa hangat. Agak pening kepalanya, tapi masih bisa ditoleransi. Ingin lihat pukul berapa; sekali bergerak pandangannya kabur. Rasa pusingnya meningkat sekian kali.

"ㅡnggak bisa, Taehyun. Atur supaya diubah jadwal meeting-nya. Saya nggak akan ke kantor hari ini."

Itu suara mas Heeseung-nya, mungkin ada di balkon depan karena terdengar jauh (bukan seperti cerita mitos berkenaan hantu perempuan; suara jauh dianya dekat).

"Atur untuk suspend, atau minggu depan. Saya nggak mau ada meeting di akhir minggu. Lagi pula proyek yang dia tawarkan kayak main-main begitu." Suara Heeseung jelas agak kesal; otoritasnya dia keluarkan sebagai atasan paling atas. "Ya. Senin. Oke, diterima. Tolong monitor selama saya nggak ada."

Derap langkah pelan, lalu pintu balkon ditutup. Semilir angin yang awalnya ikut masuk dan buat Sunghoon agak bergidik despite seluruh tubuhnya dibungkus selimut berhenti. Heeseung belum tutup telepon.

"Demamnya sudah mulai turun, Tae. Nggak apa-apa. Saya mungkin panggil dokter kalau panasnya naik lagi," tutur Heeseung; lalu area sebelah Sunghoon kentara diokupasi. Hangat kembali. "Oke, Tae. Makasih. Tolong hubungi kalau ada sesuatu."

Telepon ditutup; Sunghoon masih setia pejamkan mata. Baru ia buka perlahanㅡsupaya tidak tiba-tiba pusing lagi waktu usapan halus sapa dahinya.

"Sunghoon? Hei. Kamu masih pusing?"

Ingin hati tertawa; pertanyaan Heeseung itu kikukㅡsetengah gusar, setengah ingin tahu. Tapi Sunghoon maafkan. Dia suka cara Heeseung mainkan rambutnya.

Yang ditanya anggukkan kepala pelan. "Maaf mas Heeseung haruㅡ"

"Nggak ada." Suara itu lagi. "Sunghoon, kamu tanggung jawab saya, oke? Jangan minta maaf karena hal-hal kayak gitu. Kemarin kita sudah saling cerita, kan?" Senyum kecil waktu Sunghoon majukan bibirㅡaku sakit, jangan kena marah juga. "Mulut kamu pasti pahit ya. Tapi Bunda bilang kamu harus minum obat penurun panas dulu seenggaknya."

"Mas Heeseung telepon Bunda?"

Heeseung aminkan. "Saya takut kamu ada alergi obat," jelasnya. "Dan Bunda bilang kamu nggak suka buburㅡapalagi kalau lagi begini. Sereal mau?"

Sunghoon angguk lemahㅡwalaupun kalau boleh jujur, dia ingin tolak mentah-mentah segala jenis makanan buat masuk ke mulutnya. Bayangkan minum air putih saja rasanya berat.

Tidak butuh waktu lama buat Heeseung siapkan sarapan. Jam di nakas bergeser ke angka tujuh, masih pagi sekali. Heeseung biasa berangkat sekitar pukul delapan. Perut Sunghoon bergolak tak nyaman kalau-kalau pasangannya terjaga sejak pagi sekali; mungkin karena suhu tubuhnya tinggi, atau simply jaga-jagaㅡSunghoon tak tahu.

Heeseung hormati Sunghoon yang memilih makan sendiri; bersandar pada tumpukan bantal. Putuskan untuk temani makan; buat distraksi agar Sunghoon lupa akan abnormalitas indra pengecapnya.

"Sudah?" Heeseung terima mangkuk Sunghoonㅡsisa sedikit. Lumayan. "Minum obat, ya?"

Sunghoon tidak tahu apakah Bunda sempat beberkan kebiasannya saat sakit. Sementara Heeseung bawa nampan berisi mangkuk mereka ke luar kamar, Sunghoon celingukan mencari keberadaan telepon genggamnya. Dan alas. Ada di nakas di sisi ranjang Heeseung ternyata. Ingin raih dan telepon Bunda, tapi Heeseung rupanya lebih dulu kembali lagi.

Dia tutup pintu, pastikan suhu AC tidak terlalu dingin. Prefer ditambah sedikit udara luar, jadi Heeseung buka sedikit pintu menuju balkon. Tidak selebar tadi. Cukup buat Sunghoon merasa sejuk.

Lantas berjalan ke tempat tidur, dan duduk lagi di spasi bagiannya.

"Bunda barusan juga kasih tahu sesuatu," mulai Heeseung, nadanya bimbang. Sedang Sunghoon, dia sudah tahu ke mana pembicaraan ini mengarah.

"Mㅡmas nggak keberatan?"

Detik itu juga, Heeseung menoleh ke arah Sunghoon. Datar. Tanpa bicara apa pun, Heeseung raih tumpukan bantal di belakang tubuh pasangannya, arrange lagi hingga tersisa satu, lalu perintahkan Sunghoon untuk berbaring.

"Sini." Si putra Lee instruksikan pelan; tangannya terbuka mengundang. Sunghoon bergerak pelan awalnya, tapi melenguh bahagia pula kala pipinya terbenam di dada Heeseung. "Saya bilang apa barusan?"

Sunghoon pejamkan mata. "Akuㅡtanggung jawabnya mas Heeseung."

Ia rasakan anggukan Heeseung selanjutnya. "Tidur, ya? Badan kamu masih panas. Biarin obatnya kerja, oke?"

"Tapi mas Heeseung di sini kan?"

Ada hela tawa ditahan setelahnya. "Selalu, Sunghoon."

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang