kissing fears away

689 86 15
                                    

Heeseung empaskan setumpuk map waktu sekretaris sekaligus orang kepercayaannya, Kang Taehyun, masuk ruangan. Lihat kerutan dalam di dahi atasannya, lelaki tinggi itu lemparkan senyum kecil.

"Di bawah ekspektasi semua, hm?"

Tak dijawab. Heeseung hanya pasang muka masam. Langit dibelakang kursinyaㅡterlihat dari kaca besar yang tutupi hampir setengah ruangan, mulai gelap. Heeseung gusar. Tapi bingung apa yang ia gusarkan.

"Saya nggak tahu kurang jelas apa saya jelaskan ke mereka. Ini laporan keuangan; kenapa saya serasa baca skripsi anak kuliah?" Heeseung bergumamㅡdahinya ia pijat semampu yang ia bisa. "Saya mau ini selesai sebelum jam empat. Saya harus pulang cepat. Ada berita pemadaman buat maintenance gedung. Sebentar lagi hujan."

Sebelah alis Taehyun mengangkat. "So? Kamu nggak biasanya kebelet pulang cepat kayak gini."

Sang putra Lee buang pandangan. Taehyun tak perlu tahu rahasia Sunghoon. Dan agaknya, lawan bicaranya mengertiㅡlantas ambil tumpukan map di meja Heeseung dan berlalu menuju pintu.

"Tapi aku senang kamu mulai perhatikan etos kerja kamu," senyumnya; pasang lesung pipit sapa dunia. "Kalau orang bilang pernikahan mampu ubah seseorang, mungkin ada benarnya."

Heeseung tercenung setelah itu. Istirahat siangnya ia habiskan duduk di kursi kerja, sesekali lirik foto dalam pigura kecil yang dibuatkan Mama untuknya. Fotonya, Sunghoon, Mama dan dua orangtua Sunghoon. Ia akui, senyumnya kikukㅡdatar malah. Bahkan Sunghoon kelihatan gugup.

Namun toh ia tengah merangkak tuju perubahan sekarang. Berdua. Sesuai janji yang ia lirihkan kemarin; walaupun ia tahu Sunghoon sudah lebih dulu terlelap dan tak bisa dengar apa yang Heeseung janjikan.

Pewaris tunggal Lee itu tiba terlambat dengan alasan paling klise orang-orang kantoranㅡmacet.

Jam dua siang langit benar-benar gelap, ke arah jam tiga petir di kejauhan mulai terdengar. Heeseung practically tutup laptop dan ambil tas saat kegusarannya bertambah. Telepon Taehyun, dan bilang padanya untuk e-mail hasil laporan yang ia minta. Senyum sekretaris pribadinya bahkan tak ia balasㅡmelengos ke arah parkiran dan menolak petugas valet.

Jalanan Rabu sore macetㅡtak seperti biasa. Dial nomor telepon Sunghoon, hanya berujung ke kotak suara. Menyambung, tapi tidak kunjung diangkat. Heeseung makin tak tenang. Ia bukan tipe orang yang salurkan kekesalan lewat memukul setir atau mengumpatㅡHeeseung diam. Tapi agaknya bisa meledak sewaktu-waktu.

Tiba di gedung sedikit menuju setengah lima; lewatkan resepsionis yang masih haturkan permintaan maaf atas pemberitahuan pemadaman tiba-tiba. Mungkin Sunghoon juga sebelumnya sudah diberitahu secara lisan? Heeseung pastikan layangkan surat komplain apabila informasi ini hanya sebatas pesan singkat ke seluruh penghuni.

Napas hampir tersengal lari di sepanjang tangga darurat, penerangan seadanya lewat tenaga jenset. Heeseung mencintai gym; tapi gabungkan olahraga dengan suasana hati tidak tenang. Buyar.

Keadaan penthouse sunyi waktu Heeseung masukkan kunci manualㅡheh, what do you expect anyway. Lampu darurat menyala redup, kelewat redupㅡsetidaknya untuk orang yang memiliki trauma seperti Sunghoon. Ditambah, hujan petir mulai turun. Heeseung perhatikan ruangan; nihil tanda-tanda Sunghoon di ruang depan.

"Sunghoon?"

Pertajam pendengaran; mungkin Sunghoon membalas namun suaranya teredam dentum petir. Ruang teve dan sekitaran island kosong. Kamar tamu dan kamar utama kosong. Bahkan studio yang mulai terisiㅡkosong. Heeseung baru akan mengontak Mama atau Bunda, saat ia dengar isak halus dari arah kamar mandi di kamar utama.

Ada sejumput lega basahi diri Heeseungㅡsementara lelaki itu berlutut di sebelah pasangannya yang tengah memeluk lutut, bersandar pada dinding bath tub yang kering. Cahaya lemah dari batang lilin di sebelah wastafel adalah satu-satunya peneranganㅡredup, dan bayangnya ciptakan imaji abstrak di muka dinding.

"Sunghoonie?"

Seperti baru tersadar; Sunghoon angkat mukanya cepat.

"Mㅡmas Heeseung?" Yang namanya dipanggil konfirmasi dengan balas genggaman Sunghoon yang terulur. "Mas Heeseung ...."

"Iya, saya di sini, Sunghoon. Maaf, saya terlambat."

Sunghoon gelengkan kepala cepat, dengan senang hati merangkak ke luar dari bath tub. Heeseung dudukkan pasangannya di pangkuan; bergerak sesuai insting benamkan kepala Sunghoon di bahunya.

Tangan Sunghoon gemetaran. Napasnya pendek dan tersengal. Heeseung bingung tenangkan orang, hanya buat pola abstrak di punggung Sunghoon hingga figur dalam dekapannya itu helakan napas tenang.

"Gㅡgelap. Petirnya barusan besarㅡ" Sunghoon katakan di sela napasnya. "Maㅡmaaf gara-gara aku mas Heeseung harus pulang cepat."

"Kamu ngomong apa?" Heeseung tanyaㅡrasa gundahnya mulai luntur. "Jangan bicara macam-macam. Kamu tanggung jawab saya." Suaranya kecil namun pegang kendali. Masih setia usap punggung Sunghoon hingga saat ini. "Mau pindah sofa, hm?"

Sunghoon anggukkan kepala; hendak ambil napas dan kuda-kuda buat berdiri. Tapi Heeseung lebih cepat. Tubuh Sunghoon ringan dalam gendongan.

"Masㅡ"

"Kamu istirahat," ucap si pewaris pelan. "Tidur. Saya bakal di sini sampai kamu bangun."

Punggung sandarkan ke sofa hingga Heeseung rasa nyaman. Dua tangannya masih lingkarkan satu sama lain di pinggang Sunghoonㅡbaju kerjanya masih terpakai tapi masa bodoh. Prioritasnya sekarang Sunghoon.

Ia tunjukkan pula lewat usap halus bibirnya di pelipis pasangannya.

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang