endearing words

347 49 7
                                    

"Diminum dulu teh-nya, nak Heeseung."

Yang namanya dipanggil tersentak pelan, angkat wajah singkat dan mengangguk kaku. Figur yang selama acara pernikahan mati-matian ia hindari sekarang berdiri ramah di seberang meja. Gurat mukanya menurun ke Sunghoonㅡiya, pasangannya miliki sebagian besar kemiripan dengan ibunya. Hati Heeseung hangat.

"Makasih, Bun."

Senyum keibuan dilayangkan padanya; pada Heeseung yang duduk canggung di sofa kediaman keluarga Park. Keadaan vila berantakan waktu ia tinggalkanㅡbungkus makanan cepat saji, pakaian entah kapan, botol minum; Heeseung miliki keinginan kuat kunjungi keluarga Park di detik terakhir. Iya. Saat langit masih belum terang; pikiran sehatnya yang sapa dia. Paksa untuk mandi, bebersih, siapkan pakaian layak. Heeseung masih punya satu tanggungan.

Kursi seberang di tarik. Putra keluarga Lee angkat muka.

"Maaf saya tiba-tiba dateng, Bun." Suaranya kecilㅡsedetik hilang sudah kewibawaannya sebagai pewaris bisnis keluarga. Sisakan jiwa lelaki muda yang masih perlu dituntun. "Saya mau minta maaf."

Ikat rambut Bunda yang longgar sisakan helai halus di kanan dan kiri wajahnya. Alisnya lantas menukik bertanya. "Minta maaf karena apa, nak Heeseung?"

"Karena saya mengiakan permintaan Mama. Karena saya ambil Sunghoon terlalu cepat dari Bunda dan Ayah. Karena saya bersikap nggak sopan waktu acara. Karena sayaㅡ"

"Hei, nak Heeseung." Bunda potong rambling Heeseung, ulurkan lengan ke permukaan meja untuk ambil atensi. "Bunda harap pikiran nak Heeseung dijauhkan dari hal-hal negatif; karena menurut Bunda, semua anggapan itu salah. Bunda tahu, hubungan kalian memang masih seumur jagung dan ini betul langkah yang terlalu cepat, tapi Bunda yakin kalian bisa belajar sama-sama?

"Bunda lihat nak Heeseung sayang sekali ke Mama; dan Bunda serta Ayah jadikan itu untuk menilai nak Heeseung." Penjelasan wanita di hadapannya buat Heeseung helakan napas. "Bunda dan Ayah percayakan Sunghoon ke nak Heeseung."

"Tapi saya buat satu kesalahan lagi setelahnya."

Bunda tak merespons. Ia tarik kembali tangannya; letakkan di pangkuan dan remat satu sama lain. "Nak Heeseung hanya butuh ceritakan semuanya pada Sunghoonㅡalasannya, kegundahan nak Heeseung. Bunda yakin Sunghoon mengerti."

Sebelah alis Heeseung naik. "BㅡBunda tahu?"

"Mama bilang ke Bunda, Sunghoon sudah dua hari menginap di rumah. Khawatirin nak Heeseung; nggak suka tinggal sendirian kalau pikirannya sedang kacau," Senyum Bunda dan saat itu, Heeseung merasa seperti orang paling berengsek di dunia. "Bunda nggak marah, tolong diingat. Bunda cuma minta nak Heeseung selesaikan semua urusan yang belum selesai lalu pulang, oke? Ceritakan semuanya ke Sunghoon."

Maka, permintaan dari Bunda-lah yang memacu Heeseung parkirkan mobil di tempat yang sama sekali tak mau ia kunjungi. Berdiriㅡminta pada Tuhan; tiap tahun; untuk tidurkan dia ditanggal tertentu lantas bangunkan lagi kalau waktunya sudah terlewat.

Iya. Heeseung seputus asa itu. Gunakan obat tidur kalau perluㅡia tak peduli.

Heeseung pikir ia akan terdistraksi apabila habiskan waktu membalas chat Sunghoon, mengobrol lewat FaceTime, lihat kelakuan Gaeul, atau simply minta Sunghoon tunjukkan hasil lukisan. Tapi nyatanya helai tanggalan di dinding pun record tanggal di telepon tetap buat ia semaput.

Heeseung tak bisa bayangkan kalau tahun ini ia nekat tetap tinggal di penthouse. Ia tak mau tunjukkan sisi diri yang berantakan di depan Sunghoonㅡia tak mau bebankan Sunghoon.

Berdiri diam; bayangkan jika Papa dan kakak lelakinya turut duduk mendengar. Tapi toh, hanya sebaris kalimat yang ke luar.

"Saya cuma menyesal; nggak melakukan ini lebih cepat."

Dan setidaknya ada dua jam Heeseung duduk di kursi kecil yang menghadap deretan nama; di mana di dalamnya tergabung pula nama dua orang terkasihnya.

Dua jam. Heeseung duduk diam, ditemani desir angin gerakkan kelopak magnolia dalam vas di pangkuannyaㅡkhusus ia bawakan, karena Papa cinta sekali bunga itu. Yang Papa bawakan waktu pernikahannya dengan Mama. Yang kemudian tarik Mama bertemu Sunghoon.

Pukul sebelas malam, keadaan vila kembali ke state awalnya; sementara Heeseung baringkan dirinya sofa panjang. Sayup-sayup film yang diputar di teve tenangkan pikiran, pun seluruh ruangan yang sudah bersih. Heeseung lakukan kerja bakti sepulangnya dari pemakaman.

Rambutnya masih setengah basah. Manuver tubuh untuk raih telepon di meja kopi, di sebelah bungkus makanan cepat saji.

Masih banyak notifikasi yang belum ia buka—sejak ia balas pesan Sunghoon di tengah hari. Setelahnya, Heeseung anggurkan, masukkan ke mode pesawat.

Rasa bersalahnya tumbuh. Setelah kepalanya kembali normal, ia rindu Sunghoon. Rindu sekali. Dadanya sakit; bahkan. Ingin secepatnya bertemu, namun Heeseung tahu itu tak bijaksana. Ia perlu tenangkan diri lagi; dan temui Sunghoon dengan bawa penjelasan. Ia berhutang banyak.

Tapi toh, jemarinya bergerak di luar kendali. Halaman lock screen tampilkan Sunghoon. Pergi ke home; senyum Sunghoon tak ayal serang dirinya lagi. Lantas Heeseung matikan mode pesawat.

Notifikasinya terlalu berisik—ia hampir emosi. Tapi biarkan senyum kecil mewarnai begitu nama Sunghoon penuhi sebagian besarnya.

Tekan salah satu notifikasi—acak, yang penting milik Sunghoon, ia tak peduli yang lain.

Bergerak ke area paling bawah. Ketik sesuatu. Senyumnya terpeleset; suasana hatinya gundah lagi. Sungguh, ia ingin pulang.

Sayang, saya rindu kamu.

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang