lasting impression

505 76 12
                                    

Jam di nakas bergulir ke angka sebelas, lampu di seluruh penthouse sudah dimatikanㅡtinggalkan sisa lampu dengan watt kecil sebagai pencahayaan. Sunghoon baring di sisi kanan; seperti biasa. Bedanya, kini sisi kiri kasur diokupasi. Dan besok pagi tidak ada spasi dingin waktu bangun pagi.

Jujurnya, dia gugup. Heeseung langkah pelan waktu selesai mandi. Seminggu lebih tinggal bersama, Sunghoon baru sadar Heeseung tak pernah miliki piyamaㅡbeda dengan dirinya. Hanya modalkan kaus oblong dan celana linen rumahan.

Tak tahu apakah pasangannya sudah duluan lelap (karena pasti Heeseung lebih lelah) atau masih terjaga. Tambahan sesi cerita mereka yang lumayan kuras emosi.

Jadi Sunghoon benar kaget waktu deham Heeseung kembali mengudara.

"Sunghoon?"

Telan ludah, yakinkan supaya pita suara tidak serak, Sunghoon balik menggumam. "Yㅡya?"

"Maaf. Kamu nggak nyaman, ya?" Dia dengar ada pergerakanㅡguling besar yang ditaruh di tengah lumayan buat pandangan terhalang. "Saya pindah lagi kalau begitㅡ"

"Mas jangan!" Sunghoon refleks; tarik ujung baju belakang Heeseung, lalu kaget sendiri. Wajahnya merah, mungkin, dan hal demikian agaknya buat senyum kecil di bibir pasangannya.

"Saya cuma ke sebelah aja, nggak tidur di tetangga," lirih Heeseungㅡentah kenapa kalimatnya buat tawa menyembul dari Sunghoon; lantas sang putra Lee pun ikut helakan satu, dua. "Serius. Daripada kamu nggak tidur nanti."

Sunghoon kerucutkan bibir. "Gak mau," sergahnya. "Temani sampai aku ngantuk kalau begitu. Mas Heeseung mau tau apa tentang aku? Nanti kujawab. Karena tadi kan mas udah cerita panjang lebar."

Heeseung tak menjawab, tanpa suara ia pindahkan guling yang membatasi sisi Sunghoon dan dirinya. Sunghoon kagetㅡlagi. Tidak menyangka tidur di satu kasur bisa sebegini was-was dan gugup.

"Saya mulai dari paling basic kalau begituㅡ"

"Ehㅡtapi besok mas Heeseung malah kesiangan."

"Gak usah dikhawatirin, Sunghoon." Nada Heeseung jenaka. "Saya bisa bilang ke Taehyun supaya ambil alih kerjaan selama saya belum datang. Jadi, saya mulai, ya." Dia gerakkan tubuh menyamping, sekarang otomatis full saling berhadapan. "Favorite dish?"

Sunghoon lontarkan tawa. "Really? Oke. Sebenernya aku lumayan picky, tapi kalau gak memungkinkan aku bisa makan apa pun."

"Alergi?"

"Seafood; terutama udang, kepiting, kerang. Aku cuma bisa makan ikan dan cumi."

"Favorite colour?"

"Hijau! Ungu, juga. Merah. Mas Heeseung bagus kalau pakai merah."

Heeseung mendengus lucu. "Saya juga suka merah, tapi lemari saya kebanyakan putih. Oke, next. Punya pengalaman memalukan?"

"Mas Heeseung random ih." Sunghoon raih guling lantas benamkan wajah ke permukaannya.

"Saya kan penasaran ceritanya. Ayo. Jangan bilang kamu pernah dapat dare aneh waktu kuliah? Buat piercing di tempat aneh-aneh?" Manik onyx Heeseung menyipit; jelas dia nikmati ini. "Beneran, ya?"

Masih pasang wajah merah, Sunghoon naikkan selimut hingga ke bahu; jadi praktis cuma sebatas mata yang menyembul dari balik guling pertahanan. Sementara, Heeseung practically penasaran sekarang, tak sadar ia condongkan tubuh menunggu jawaban pasangannya.

"Yang masalah dare, iya."

"Terus?" Sumpah. Benar-benar sepenasaran itu dan tidak ada jeda.

Sunghoon hela napas. "Lari putar area kampus pukul 3 pagi, cuma modal celana pendek di atas lutut, nyanyi lagu kebangsaan, dan kalau ketemu orang ...." Sekarang sembunyikan muka full di bantal; agak berontak karena Heeseung iseng angkat guling jadi sebelah wajahnya terlihat. "Peluk dan bilang aku belum cuci tangan selesai buang air besar."

Hening.

Sunghoon baru dengar Heeseung tertawa keras hingga menangisㅡagaknya puas karena jelas ia tertawakan penderitaan pasangannya. Awalnya Sunghoon merajuk, tapi ikut tersenyum juga lantaran Heeseung tidak hentikan kebahagiaannya.

"Oke, lanjut, mungkin pertanyaan terakhir. Karena kita benar-benar harus tidur," jelas si putra Lee; melirik ke nakas, dan benar. Bahkan tengah malam sudah lewat. Jadi, Sunghoon setuju tanpa menolak. "Ketakutan terbesar?"

Bola mata Sunghoon yang semula tak perlihatkan ekspresi apa pun perlahan membulat. Ukir senyumnya berhenti di tengah jalan. Sempat buat Heeseung khawatir.

Belum sempat Heeseung tarik pertanyaannya, Sunghoon lebih dulu menjawab.

"Petir dan gelap." Tangan terulur, remat selimut lebih dekat. Bayangkannya saja ia bergidik. "Kami main petak umpet, waktu itu. Bunda sudah bilang kalau sebentar lagi hujan, tapi aku nggak nurut. Ikut sepupuku main di halaman belakang. Aku nggak terpikir apa pun, cuma lari ke gudang dan sembunyi di belakang tumpuk jerami."

"Lalu, mungkin aku ketiduran. Dan hal pertama yang buat aku bangun, suara petirnya kencang. Kencang sekali, seperti di sebelah telinga. Gudangnya gelap. Dan di luar mulai hujan. Aku lari ke pintu, tapi terkunciㅡtakut."

"Sunghoon ...."

"Tiba-tiba ruangan terasa sempitㅡseperti tercekik. Mas tahu kalau napas berat waktu berendam di air sebatas leher?"

Heeseung aminkanㅡpandang matanya ikut gusar.

"BuㅡBunda yang datang duluan. Khawatir sekali."

Sebelah tangan Heeseung terulur, raih jemari Sunghoon yang masih setia pegang selimutㅡseolah selimut itu adalah hal terakhir untuknya bergantung. Tangan Heeseung hangat; Sunghoon suka sensasinya waktu mereka bersentuhan. "Kamu tahu ini sudah mulai akhir tahun?" Sunghoon menggumam.

"Saya akan usahakan selalu pulang cepat, oke? Dan saya pastikan lampu ruangan menyala otomatis kalau di luar mulai gelap."

Impresi Sunghoon kala itu mengenai Heeseungㅡpahlawannya.

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang