element of surprise

1.2K 115 6
                                    

Bundanya bilang, hari pernikahan itu sakral. Cuma terjadi sekali seumur hidup, makanya bijaksanalah mencari jodoh. Karena, pernikahan kedua, ketiga, seterusnya, tidak akan terasa sefantastis yang pertama.

Ditambah, Sunghoon belum pernah sekali pun merasakan apa yang namanya pacaran. Cinta monyet, iya pernah. Tapi, terlibat di satu hubungan dalam jangka waktu sekian lama, nihil. Yang Sunghoon tahu, tiba-tiba saja namanya sudah dijodohkan sama seseorangㅡyang mukanya seperti bagaimana pun Sunghoon hanya lihat sekali, dua kali.

"Dia anak rekan kerja Ayah." Bunda cuma bilang begitu suatu hari, waktu Sunghoon iseng bertanya.

Dan soal persiapannya pun, Bunda dan Ayah bilang, mereka tak perlu repot. Cuma tunggu selesai, katanya. Pria tinggi dengan pakaian necis. Mengakunya Event Organizer khusus yang disewa keluarga calonnya.

Jadi, menunggulah yang Sunghoon lakukan. Sesuai perintah. Sembari fokus dengan studio kecil-kecilan yang berhasil dia bangun dari tabungannya sedikit demi sedikit.

Tanpa tahu; ada hal besar yang menunggunya di depan.

Sunghoon tahu ada yang salah, ketika prosesi khusyuk di altar berlangsung alot.

Kata-kata aku bersedia terdengar salah di telinganya. Pun saling tatap dengan calonㅡyang sekarang resmi pasangannyaㅡluar biasa kikuk. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana nanti malam pertama mereka? Mengobrol santai di depan parkiran restoran cepat saji?

Janji akan satu unit penthouse di kawasan elit pun rasanya basi.

Sunghoon cuma ingin keluar dari kondisi ini. Memalukan. Dia memang tidak peduli dengan tetek-bengek di luar seninya, tapi tidak begini.

Sejenak ia rasa hidupnya cuma bercandaan. Hah.

"Kamu mau pulang?"

Sunghoon terenyak di tempatnya duduk, di bagian penumpang, di mana beberapa saat yang lalu acara pernikahannya selesai dan calonㅡehm, pasangannyaㅡmenawarkan pulang. Dia baru sadar mobilnya sudah tak lagi bergerak, lantas dilihatnya jajaran mobil mewah lain di carport kanan kirinya.

Kikuk, Sunghoon angkat muka. Pandangnya bersitatap dengan onyx yang lebih dulu terarah padanya.

"Iㅡini udah sampai, kan?"

Lawan bicaranya menggeleng dan hela napas ringan. "Maksud saya, ke rumah orangtua kamu." Ekspresinya netral walaupun kalimatnya terasa dingin. Sunghoon belum ambil pusing. "Kalaupun mau di sini, nggak apa. Saya tidur di kamar tamu."

Hazel Sunghoon panik. "Nggak! Biar aku aja," sergahnya, lalu ciut lagi waktu sadar intonasinya naik. "Biar, umㅡmas aja yang di kamar utama. Iya. Aku aja yang di kamar tamu, nggak apa-apa kok."

Lalu, hening. Sunghoon menunggu sampai si empunya mobil ke luar duluan lantas mengambil satu tas baju di kursi tengah.

"Tas kamu, bawa sampai sana. Saya telepon resepsionis dulu buat bawa troli."

Sejenak, Sunghoon merasa seperti orang paling tolol di dunia. Hei, bawaannya bahkan cuma ransel dan paper bag berisi makanan yang khusus disiapkan Nyonya Lee tadi. Seingatnya juga, Sunghoon jauh dari instruksi klinis soal mengangkat benda berat; lagi pula tidak ada barang tersisa lagi di belakang.

Hela napasㅡlebih baik ikuti cara pasanganmu. Tidak lucu bertengkar di hari pertama menikah.

"Sudah?"

Sunghoon ambil langkah seribu seselesainya menutup pintu.

"Iya, mas."

Tuhan, bagaimana caranya menghilangkan diri?

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang