mutual feelings

814 113 7
                                    

Sunghoon pikir, kehidupan berumah tangga itu ribet, harus banyak yang diatur, dihitung, dibagi, dan didiskusikan. Siapa yang bersihkan kamar mandi minggu depan, bahan makanan apa buat nanti malam, siapa membangunkan siapa. Karena di rumah, Bunda-nya selalu murka kalau Ayah lupa gilirannya beres-beres.

Hari pertama, Sunghoon sudah duduk manis di depan island. Pasangannya tidak bohong soal mengambil tempat di kamar tamu, karena sesaat setelah pintu penthouse ditutup, cuma ada sebaris kalimat saya duluan; lalu pintu berdebum halus di kejauhan.

Dia bukan tipe yang terbiasa sarapan; kalaupun terpaksa, paling berat hanya semangkuk sereal atau buah-buahan.

Tapi Sunghoon tidak paham kesukaan pasangannya, dan sebagai seseorang yang dititipi Nyonya Lee, Sunghoon merasa harus melakukan tugasnya sebaik mungkin.

despite posisi dan statusnya, tentu.

Ayahnya selalu mengajarkan untuk bertanggung jawab—ikhlas atau tidak ikhlas kamu ditempatkan di situ.

Jadi, berbekal video dari internet—dan selesai memastikan kulkas mereka benar-benar terisi—Sunghoon mencari resep paling sederhana. Nyonya Lee sama sekali tak bercanda soal tinggal menempati, nak Sunghoon. Kamu dan Heeseung nggak perlu repot urus ini dan itu. Karena nyatanya, sampai peralatan memasak pun sudah lengkap tersedia.

Nasi goreng kimchi—akhirnya. Termudah dan paling realistis ketimbang hanya semangkuk ramen. Tidak sehat buat sarapan.

Mungkin Sunghoon kepalang serius mengerjakan pekerjaan rumahnya yang pertama tanpa sadar pintu kamar tamu terbuka pelan. Si empunya celingak-celinguk mencari sumber suara berupa desis wajan dan aroma yang mulai tercium.

Dua puluh menit kemudian, laptop Sunghoon di island digeser. Digantikan oleh dua piring sarapan, dua gelas air mineral dan sepasang individu. Masih berbekal muka bantal. Sunghoon menahan senyum kecil.

"Kamu terbiasa sarapan?" Kalimat pertama, masih terdengar kikuk. Cuma excuse supaya heningnya bisa dihapus.

Sunghoon menggeleng. "Nggak juga."

"Sama."

Heeseung tiba-tiba dipanggil ke kantor siangnya.

Sunghoon baru selesai beres-beres kamar utama; pasang batere jam, keluarkan alat mandi, sapu dan pel, waktu Heeseung terburu ke luar kamar dengan ponsel dijepit antara bahu dan telinga. Mukanya serius. Ada masalah, mungkin?

"Iya, saya ke sana sekarang. Ada back-up yang bisa dipakai? Tunggu sampai saya datang." Heeseung berujar cepat, masuk lagi ke kamar entah mencari apa.

Sunghoon berdiri canggung, namun agaknya lelaki itu butuh kaus kaki.

Mungkin membantu, pandang Sunghoon terfokus pada tas duffel Heeseung yang ditinggal di sofa. Dia lantas berjalan pelan, hati-hati membuka isi dan voila, setidaknya ada beberapa.

Heeseung datang lagi, namun kali ini tanpa panggilan telepon. Kancing kemejanya lolos satu, pun dasi masih dipakai seadanya. Sunghoon tunjuk kaus kaki di tangannya.

"Saya minta maaf. Ada emergensi di kantor." Heeseung bertutur, napasnya dihela. "Mama pasti marah kalau tau."

Sunghoon menggeleng; coba antarkan keyakinan. "Saya nggak akan bilang mas Heeseung ke kantor," katanya. "Ini."

Cuma terima kasih, tapi cukup. Sentuh skinship pun lewat. Ya sudah.

Heeseung tiba kembali di penthouse hampir menuju tengah malam. Sunghoon yang memang sering kesulitan tidur di tempat tidak familier menghabiskan waktu di depan teve; menoleh waktu kunci otomatis pintu depan dimasukkan kata sandi.

Suara gemerisik plastik, dan Heeseung memberi gestur mendekat.

"Makan?"

Yang ditanya mengangguk pelan, lantas menghampiri. Seperti layaknya tadi pagi, keduanya duduk berhadapan. Menunya sederhana dan berangsur dingin. Mungkin niat Heeseung memasukkannya ke kulkas untuk dihangatkan besok.

"Mas Heeseung terbiasa makan malam telat?"

Angguk pelan.

Tersenyum, Sunghoon jawab, "Sama."

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang