102. Bab 34-Bagian 2: Rahasia Cindy

61 64 36
                                    

***

DILARANG KERAS MELAKUKAN SEGALA BENTUK TINDAKAN PLAGIARISME KARYA DARI PENULIS SEPERTI MENYALIN/MENJIPLAK, MENGUBAH, MENGEDIT, DAN LAIN-LAIN.

CERITA INI SUDAH MENDAPATKAN SERTIFIKAT HAK CIPTA DAN SUDAH DILINDUNGI SESUAI KETENTUAN PERATURAN PER-UNDANG-UNDANGAN. 

***

Cindy tidak tertidur malam itu. Di saat semua orang di rumah sudah beristirahat, dia mulai beraktivitas mencari-cari setiap informasi mengenai sekolah tersebut. Entah itu di youtube channel lain, di sosmed, blog, bahkan forum diskusi. Selama tiga bulan---bahkan hampir empat bulan, tidak ada kegiatan berarti baginya kecuali menjalani pengobatan cederanya, serta pemulihan mental. Memang sih dia tidak terlalu ketinggalan pelajaran di sekolah, hanya saja dia sudah tidak mood lagi jika harus pergi ke tempat yang malah membuat lukanya menjadi terbuka lagi. Kegagalan pertandingan nasional yang ia alami menjadikan Cindy pesimis, seberusaha apapun dia berusaha, seberusaha apapun dia membuktikan ke orang-orang, meyakinkan orang tuanya bahwa ada jalan sukses selain menjadi seorang dokter, pada akhirnya dia tidak bisa mengubah semua itu. Ia pun teringat percakapan dirinya dengan orang tua, sebelum semuanya terjadi.

"Ayah kan sudah bilang, hobby bela dirimu itu nggak ada gunanya, nggak bisa dipakai cari duit. Karir ke depan seperti apa, itu nggak cukup menjamin."

"Ya memang apa salahnya aku kembangin hobby? Jadi atlet bukan sesuatu yang buruk kan, kalaupun aku gak jadi atlet, aku bisa jadi polwan."

Ayah Cindy menghembuskan nafasnya dengan keras. Apa yang dikatakan oleh anaknya memang benar, tapi hal tersebut tidak membuatnya lantas setuju dengan pernyataan anak gadisnya itu.

"Aku nggak mau jadi dokter. Aku itu anaknya di lapangan Yah, bukan di kelas." Lanjut Cindy lagi.

"Kalau sampai kamu gimana-gimana, siapa yang mau tanggung jawab? Kamu mau kayak kakakmu yang patah tangannya? Kamu ini cewek, bahkan kakak cowokmu aja lama banget bisa sembuh."

Cindy merasa terhina mendengar perkataan Ayahnya yang seperti menganggap cewek itu lemah. "Kenapa sih, kok aku malah disama-samain kayak dia? Namanya juga setiap kegiatan ada resikonya kok. Jadi dokter, belum tentu aku juga sukses. Gimana kalau aku nggak bisa sembuhin pasien? Jadi dokter abal-abal?" Kata Cindy defensif.

Ayahnya lagu menggebrak meja agak keras. "Kamu ini jadi anak nggak bisa dibilangin ya. Jangan banyak ngelawan orang tua kamu! Kerjamu itu ya cuma belajar, makan, sekolah, sama main, itu semuanya kan pake uang Ayah sama Ibumu. Seharusnya kamu tahu diri dikit jadi anak, dan nurut aja!"

"Sudah, sudah yah." Kata wanita di sebelah pria itu sembari mengelus-elus punggung suaminya itu yang sedang naik darah. "Cindy, Ayah kamu ini bener. Kamu ini sudah hidup enak, kebutuhan kamu sudah ayah sama ibu penuhin. Sekarang tinggal belajar aja jadi dokter apa susahnya? Kalau kamu sampai cacat karena ikut bela diri karena hobby, itu nggak jamin kamu bisa makan apa kalau sudah berkeluarga. Jadi polwan pun nggak bakal bisa." Ucap Ibu Cindy dengan volume suara agak keras serta seolah-olah apa yang dikatakan oleh beliau adalah sebuah kebenaran yang mutlak.

Cindy tidak bisa menerima hal itu. Kenapa orang tua yang ia miliki tidak mengerti tentang dirinya? Mendengar orang tuanya berbicara seperti itu seakan-akan seperti ayah ibunya menghidupinya dengan bayaran yang dia harus seperti apa yang mereka mau.

Memang dia boneka?

Bicara soal uang, tentu Cindy tidak bisa mengelak dan membela dirinya. Karena apa yang dikatakan orang tuanya tidak sepenuhnya salah. Tapi sisi lain dari Cindy, tidak berkata demikian. Selama dia hidup, ia sama sekali tidak ada keinginan menjadi seorang dokter. Hanya karena kakak laki-lakinya, Andra pernah patah tulang di tangannya, hal itu tidak semerta-merta juga akan terjadi padanya. Orang tua terlalu takut melihat dirinya tumbuh dan keluar zona nyaman yang tidak mereka ketahui.

AKULAH DIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang