Bab 1

16.7K 567 10
                                    


"Maafkan aku, Nadia. Aku nggak bisa." Jus jeruk yang di hadapanku segera kusesap untuk membasahi tenggorokan yang mulai mengering karena mendengar permintaan Nadia, teman SMA-ku.

Ini adalah pertemuan keduaku dengannya, setelah kami bertemu secara tak sengaja dalam suatu acara kantor.

Meski aku dan Nadia teman SMA, dahulu kami tak cukup dekat, namun, sebatas kenal satu sama lain. Aku kenal dia, dan dia pun mengenalku.

Tak kuduga, pertemuan kali ini, dia intens untuk membicarakan teman SMA sekaligus seseorang yang penah singgah namun juga melukaiku. "Ratih, Rizal sudah berubah. Dia minta maaf padamu," ucap Nadia di sela keraguanku.

Bulan lalu, alumni SMA ku mengadakan reuni. Tentu saja, aku tak berminat untuk datang. Dan gara-gara reuni itu pula, kini Nadia datang dengan misinya.

Bukan tanpa alasan. Usiaku sudah nyaris kepala tiga dan statusku masih sendiri. Ini bukan karena pilihanku, tapi karena takdir memang mengharuskan aku bersabar.

Usia yang kian merangkak, dan tak kunjung datangnya jodoh, membuatku menarik diri dari pergaulan. Meski aku bergabung di grup WA sekolah, aku malas menanggapi percakapan di sana. Bahkan, notifikasi hingga ratusan aku biarkan saja, tanpa berniat membukanya.

Aku selalu dihinggapi ketakutan kalau-kalau dalam grup itu membicarakan tentang statusku. Meski aku tahu, itu bentuk perhatian mereka padaku. Namun, tentu saja, perasaan tak nyaman, membuatku memilih lebih baik untuk tidak berinteraksi. Aku memilih fokus pada karirku, meski semuanya hanya berjalan biasa saja.

Dan kedatangan Nadia dengan niat serius ingin menjodohkanku dengan Rizal, teman SMA kami, seolah membuka luka lama yang sudah kukubur dalam-dalam.

Memoriku kembali ke jaman putih abu-abu.

"Kamu tahu, kenapa Dewi menolakku?" Rizal berdiri di depanku dengan berkacak pinggang.

Suasana sekolah berangsur sepi. Hanya beberapa anak masih main basket di lapangan depan. Dan beberapa pengurus koperasi dan pengurus OSIS yang mungkin masih ada kegiatan.

Aku tak berani menatap pria yang kini menghalangi jalanku. Jantungku berdegup kencang. Ada rasa gugup menyelimuti, membuatku hanya dapat tertunduk. Selama ini, aku tidak pernah terlibat pembicaraan dengan Rizal. Bahkan, membayangkan berbicara dengannya saja, aku tak sanggup.

"Kalau diajak ngomong, lihat aku dong!" gertaknya.

Perlahan aku mendongak. Wajah Rizal memerah. Sepertinya dia menahan geram, membuat nyaliku semakin menciut. Aku hanya mampu menggeleng.

"Aku tahu kamu menyukaiku!" Ucapannya terdengar sinis. Saat aku menatapnya, terlihat sekali senyum miring di bibirnya, membuat hatiku semakin teriris.

"Kalau sampai alasan Dewi nolak aku, karena kamu, kamu akan tahu sendiri akibatnya!" ancamnya sambil menudingkan telunjuk tepat di depan wajahku, hingga membuat aku tersentak kaget.

Rizal membalikkan tubuhnya dengan cepat, dan berjalan meninggalkanku. Dari langkahnya, terlihat sekali dia sangat marah.

Kakiku seolah tak bertenaga. Aku kira, dia mendatangiku untuk menitip salam pada Dewi karena aku sahabatnya. Rupanya, justru dia mengataiku. Apa Dewi memberitahukan perasaanku padanya? Atau, selama ini tingkah lakuku terbaca olehnya?

Aku menarik nafas dalam-dalam.

Apa salahku? Apa aku salah menyukainya? Bukankah cinta tak pernah salah? Andai bisa, mungkin aku juga tak ingin jatuh cinta padanya. Banyak lelaki yang lebih baik dari dia. Kenapa aku harus jatuh cinta padanya?

Sejak tragedy itu, tatapan permusuhan kerap aku terima dari sosok bernama Rizal. Tak sedikit pun senyum bersahabat aku terima. Ini sangat berbeda saat sebelum perasaannya ditolak oleh Dewi.

Dulu, sering dia menyapa. Dan itu juga yang membuatku semakin jatuh hati padanya. Rupanya, aku salah duga. Sapaan itu bukan untukku. Tapi, untuk sahabatku.

Hingga lima tahun berselang, aku bertemu lagi dengan Rizal. Tepatnya saat pernikahan Dewi.

Jantungku berdebar tak karuan, saat menyadari siapa yang sedang menarik kursi dan duduk di sebelahku. Pria yang sama, dengan lima tahun lalu, namun dengan penampilan yang 180 derajat jauh berbeda. Parasnya tak lagi dekil dan kerempeng. Tapi, menjadi pria yang menawan, dengan kulit bersih dan terawat. Inikah yang dimaksud Dewi tadi?

Pria itu segera menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan tangan bersedekap.

"Pasti kamu bahagia, temanmu itu sudah menikah." Aku menatapnya, teringat ucapannya kala SMA. Kalau diajak bicara, harus melihat pada lawan bicara. Bibirnya terlihat miring, seolah sedang mengejek.

"Dia tak pernah menerimaku, karena kamu!" Punggungnya yang tadi menyandar kini sudah tegak. "Kamu hanyalah duri bagi sahabatmu sendiri. Kamu senang kalau Dewi menjauhiku. Padahal, kamu tak tahu, kalau sesungguhnya Dewi menjauhiku karena nggak enak sama kamu. Dia menolakku, karena kamu!" Telunjuknya masih mengarah padaku, persis lima tahun yang lalu.

"Nggak akan ada laki-laki yang bakal mau sama perempuan yang menjadi penghalang jodoh sahabatnya seperti kamu!" Volume ucapannya tidak terlalu keras, namun cukup jelas terdengar di telingaku.

Tubuhku seakan limbung mendengar ucapannya, andai aku tak duduk di kursi.

Rizal sudah berlalu, tapi, sakit dadaku karena ucapannya masih terasa, bahkan hingga kini.

Aku yang berusaha keras melupakannya, mengapa dia masih saja menyimpan dendam padaku? Mana mungkin aku masih mengharapkannya, meski penampilannya sudah jauh berbeda. Jumawa sekali dia.

Harga diriku seolah dihinakan oleh pria bernama Rizal.

Berkali aku mencoba melupakan, namun sungguh sulit. Berkali aku mencoba memaafkan, meski dia tak pernah minta maaf atas ucapannya itu. Namun, tajamnya sembilu, masih saja terasa menggores dalam dadaku.

Apa karena itu pula, diusiaku kini yang menjelang kepala tiga, masih belum bertemu jodoh. Apa karena aku masih dendam padanya?

"Sudah dua tahun dia menduda, Tih." Ucapan Nadia mengembalikan kesadaranku dari puing-puing masa lalu. "Anaknya butuh sosok seorang ibu," lanjut Nadia.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Nadia mungkin tak terlalu tahu tentang luka yang pernah Rizal torehkan padaku. Kecuali kalau Dewi atau Rizal sendiri yang bercerita padanya.

"Oh ... jadi, dia mau menikah lagi untuk dijadikan baby sitter?" sahutku sinis. Aku seolah berubah menjadi bukan diriku, saat membicarakan Rizal. Pria yang pernah membuat hatiku menjadi berkeping-keping.

Sejenak Nadia tersentak. Aku yakin ia tak menyangka aku bisa berkata seperti itu.

"Bukan begitu, Tih. Dia tahu kamu belum menikah. Dia butuh pendamping yang setia, seperti kamu," ujar Nadia.

"Nad, aku bukan setia. Tapi aku tak laku!" ujarku sarkas.

Kata-kata Rizal masih terngiang ditelingaku, saat dia menyumpahiku saat hari pernikahan Dewi saat itu. Bagaimana mungkin dia menyebutku setia? Jangan-jangan ada udang dibalik keinginannya menikah denganku. Bagaimana kalau ini semacam balas dendam yang belum usai? Dendam karena dia tak dapat menikah dengan Dewi?

Bersambung... 

Cerita ini tayang di Karyakarsa, KBM, GoodNovel, Innovel dan Joylada. 

DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang