Ibu bagi Sasti? Sebenarnya dia mencari istri, apa pengasuh anak?
Aku nggak tahu, kenapa aku yang dipilih? Aku nggak punya pengalaman dalam mengasuh anak. Kalau benar dia menginginkan ibu bagi putrinya, harusnya memilih yang berpengalaman. Bukan sepertiku, bahkan cinta dunia anak-anak pun tidak.
Aku masuk ke dalam kosan.
"Cie, siapa tuh, Tih?" Mbak Femy, salah satu senior di kosan yang tadi lewat saat aku bersama Rizal, kini menyembulkan kepala di pintu kamarku yang memang belum tertutup.
"Kayaknya kamar ini beneran mengundang jodoh, ya?" Mbak Femy masuk ke kamar. Dia langsung duduk di sisi ranjang.
"Semua yang menempati kamar ini, akan keluar saat dia nikah. Dan hampir tiap tahun itu," ucap Mbak Femy.
Aku memang penghuni baru di kosan ini. Sebelumnya, aku tinggal beberapa gang dari sini. Sayangnya, kosan yang sudah membuatku nyaman itu harus direnovasi, sehingga aku pindah ke tempat ini.
"Alhamdulillah. Rejeki berarti ya, aku pindah ke sini. Kalau gitu, Mbak Femy pindah sini aja." Entah mengapa, aku malah kelepasan ngomong gini. Duh, semoga Mbak Femy nggak tersinggung.
Wanita berparas imut, namun usianya sepuluh tahun lebih tua dariku itu tertawa. "Mbak udah lewat, Tih. Udah nyaman begini. Nggak mau nambah urusan," ucapnya.
Aku bingung mau komentar apa. Hidup sungguh pilihan. Aku belum cukup bagus untuk menasehati seseorang juga.
"Malah, bagusnya kayak kamu. Kalau ketemu jodoh, disegerakan saja. Jangan kayak Mbak. Kalau sudah nyaman gini, rasanya udah nggak pengen lagi," tukasnya. Entah menutupi kegalauan, atau benar-benar dari hati.
"Mbak punya banyak keponakan. Mengasuh keponakan, tentu beda sama anak sendiri. Mbak ini sayang anak-anak juga. Tapi, masa ingin itu kayaknya sudah lewat aja."
Aku menyimak ucapan Mbak Femy. Takut berkomentar. Takut salah dan membuatnya tersinggung. Ini adalah hal sensitif.
"Aku lihat, temanmu tadi pria baik-baik. Kenal dimana? Atau CLBK?" tanya Mbak Femy diakhiri dengan nada setengah menggoda.
Aku menarik nafas. "Entah, Mbak. Bisa dibilang CLBK atau tidak. Wong dia dulu benci sama aku," tukasku.
"Benci?"
"Iya. Dulu dia terang-terangan menolakku." Teringat kembali jaman putih abu-abu. Kisah-kisah kelam bersama Rizal kembali berkelidan.
Memang, kadang mengingat senyumnya terasa indah. Tapi, saat teringat bagaimana dia menyalahkanku gara-gara dia ditolak Dewi, sungguh perih terasa.
"Wah, keren dong. Kamu berhasil menaklukkan hatinya berarti?"
"Bukan menaklukkan dia, Mbak. Mana bisa aku. Kami dijodohin temen."
"Lho...lho. Dulu benci, tapi dijodohin. Gimana ini?"
Mbak Femy terlihat heran. Aku pun juga. Bagaimana bisa Nadia malah menjodohkanku dengan Rizal yang jelas-jelas dulu menolakku.
"Itulah jodoh, Mbak. Mungkin Tuhan pengen kasih tahu, kalau benci sama seseorang, jangan berlebihan. nanti tahunya malah jodoh," ucapku, berusaha bercanda, meski terdengar garing.
"Oke, deh, Ratih. Semoga semuanya lancar ya, sampai pelaminan."
"Aku doain Mbak Femy juga."
"Lho, nggak usah." Mbak Femy malah tertawa.
"Mbak serius udah nggak pengen ketemu jodoh, atau pasangan gitu?" Aku benar-benar penasaran.
Mbak Femy menarik nafas.
"Keinginan itu ada. Kadang muncul, kadang pergi. Kadang aku udah merasa nyaman begini. Bahkan, berdoa saja, aku tak percaya diri. Benar nggak aku minta jodoh? Aku kadang takut kalau dikasih, tapi nggak siap."
"Mbak, bukan aku menggurui. Tapi, Alloh itu menciptakan hambanya berpasang-pasangan. itu fitrahnya. Jadi, buat apa ragu untuk meminta?" Entah dari mana keberanian ini muncul. "Mengenai dikasih atau enggak, itu hak prerogratif Alloh. Bisa kita dikasih di dunia. Namun, bisa juga di akhirat. Yang penting kita yakin."
Mbak Femy tertawa.
"Maaf lho, Mbak." Ada sedikit sesal terlanjur mengutarakan semuanya. Aku tahu ini sensitif. Apalagi untuk wanita seusia Mbak Femy.
"Nggak papa, Tih. Mbak usia sudah nyaris kepala empat. Kamu tahu, yang ngasih nasehat seperti ini bukan kamu saja. Mungkin sudah nggak bisa dihitung dengan jari. Jadi, ibarat kata, udah kebas saja. Udah bebal," ucap Mbak Femy.
"Dulu, awal-awal ada lah sakit hati kalau ada yang ngomongin jodoh atau kasih nasehat. Mereka kan nggak pernah ngrasain di posisi kita. Tapi, seiring berjalannya waktu, semua jadi biasa saja."
Entah ucapan Mbak Femy ini sebuah sindiran dari ucapanku tadi, atau memang demikian adanya.
"Mbak, sekali lagi, klo nggak berkenan, aku minta maaf."
"Santai, Ratih. Yang penting kamu lancar semuanya, aku turut senang."
Sepeninggal Mbak Femy, rasa bersalah masih menyelimuti. Begini ternyata jadi orang sensitif itu. Apa benar ucapan Mbak Femy? Waktu juga yang akan menyembuhkan.
Tapi, di luar itu, aku kembali memikirkan nasibku. Benarkan aku akan menerima Rizal sebagai takdir jodohku, atau, aku hanya menghindar dari tekanan keluarga, atau pandangan orang sekitar karena usia yang terus merangkak. Seperti ucapan Mbak Femy tadi. Semakin lama, akan banyak yang kasih nasehat, dan lama-lama kita akan susah menghindar. Apakah ini artinya aku menerima pinangan Rizal karena takut hal semacam itu?
Kenapa aku belum juga menemukan alasan yang membuatku yakin?
Apakah benar Rizal hanya mencari ibu bagi Sasti, bukan mencari pasangan hidupnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA YANG PERNAH MENOLAKKU
RomanceBagaimana jika kamu dilamar oleh pria yang pernah menolakmu? Yang dulu pernah menyakiti hatimu dengan kata-katanya yang pedas? Akankah Ratih akan menerima pinangan Rizal? Ikuti kisahnya. Sudah update di KaryaKarsa.