Bab 10a

5.1K 193 4
                                    

Pagi-pagi, saat aku sudah siap hendak ke kantor. Tiba-tiba ponselku kembali berdering.

Sebenarnya aku malas membukanya. Aku khawatir itu Desti yang mencoba menghubungiku karena ingin bertemu.

Parahnya, aku tak menyimpan nomor Desti, atau orang-orang yang bagiku belum terlalu penting dan ke depan belum tentu berinteraksi lagi, termasuk nomor Rizal. Biasanya hanya akan kusimpan setelah aku merasa benar-benar perlu dan kelak akan banyak berhubungan lagi.

Tapi, tunggu! Jangan-jangan ini Rizal.

Nomor memanggil masih berkedip-kedip di ponselku. Tak ada foto profil karena belum tersimpan di kontak. Aku juga bukan penghafal angka. Tak mungkin aku mengingat angka-angka nomor telpon.

Segera kuusap tombol hijau di aplikasi itu.

"Assalamualaikum!"

Deg! Suara pria terdengar di ujung telepon.

Tak sadar senyumku mengembang. Dadaku rasanya berdebar tak karuan.

Aku sudah biasa menerima telpon dari pria untuk urusan pekerjaan. Namun, suara pria yang diujung sana, tentu saja bukan masalah pekerjaan. Karena aku mengenal suara bariton itu.

"Kok salamku nggak dijawab?" Terdengar kembali suara yang membuat jantungku nyaris mau copot.

Aku menutup mulutku menahan tawa. Aku sampai lupa tidak segera menjawab salamnya. Tak dapat kubayangkan bagaimana warna mukaku. Untungnya tak ada yang melihatku. D

Di kosanku, pagi-pagi begini semua sibuk. Satu persatu pun mulai berangkat ke kantor masing-masing.

"Alaikumussalam warohmatullohi wabarakatuhu," jawabku. Ponsel agak kujauhkan setelah aku menjawabnya, agar tak terdengar nafas yang tak beraturan ini.

"Undangan dari Dini sudah diterima?" Suara Rizal dari seberang.

Aku menghela nafas. Andai aku nggak mendengar langsung cerita dari Dini kalau mereka sudah pernah kontak, mungkin aku akan cemburu. Karena penyebutan nama Dini terdengar begitu akrab.

Mungkin benar, aku memang orang yang kaku dalam pergaulan. Berbeda dengan Dini, adikku yang lebih luwes dan supel. Bisa jadi, karena adikku yang mengurus semuanya, jadi Rizal lebih sering berkomunikasi dengan Dini. Toh, memang aku menyerahkan semuanya pada Dini.

Orang rumah pun melihatku seperti aku tak terlalu niat menikah. Aku cukup menurut saja apa yang dimaui oleh keluarga besarku. Apalagi, di keluarga besar ada Pakde dan Paklik yang selalu siap siaga mengurus semuanya.

"Kok bengong, Neng?" Pertanyaan Rizal lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Sekarang dia menambah kata "Neng" yang membuatku merasa tersanjung. Ah, panggilan itu terasa istimewa. Padahal, bisa jadi, bagi Rizal biasa saja.

Beginikah rasanya jatuh cinta. Sesuatu yang biasa, menjadi terasa istimewa?

"Eh, iya. Sudah. Sudah kubagikan malah," jawabku sambil menutupi kegagapanku.

"Hmm, kamu sudah nggak sabar, ya? Berarti sudah mantap, nih?" Suara Rizal terdengar menggodaku.

Rasanya jantungku mau ambyar saat mendengar Rizal berbicara tidak terlalu serius. Hampir tak pernah dia bercanda denganku.

Sejak SMA hingga kini, hal-hal kecil yang dilakukan Rizal padaku, benar-benar membuat perasaanku jungkir balik. Se-bucin itukah aku padanya?

"Tih,--kamu masih di sana?" tanyanya lagi saat yang tersisa hanya keheningan di antara kami.

Aku melirik ke luar jendela kamar. Panas semakin terik. Artinya hari sudah semakin siang. Meski kosan ke kantor hanya berjalan kaki, namun aku tak mau jalan dengan terburu-buru.

"Zal, aku sudah mau berangkat. Ada apa lagi?" Aku sedikit pura-pura serius untuk menutupi kegugupanku.

"Oh, iya. Maaf menganggu pagi-pagi. Nanti aku ke kantormu, ambil undangan. Masih ada sisa, kan?" tanya Rizal.

"Eh, iya. Masih banyak," jawabku berusaha senormal mungkin. Degup jantung belum juga mau netral. Padahal hanya menerima telepon seperti ini.

"Siapa tahu saking senengnya, kamu bagiin ke tukang-tukang ojeg yang mangkal di belakang kantormu," canda Rizal lagi. Terdengar derai tawanya olehku. Refleks aku pun ikut tertawa, tanpa suara.

"Ohya, alamat kantormu ya. Nama kantormu dan lantai berapa. Kalau gedungnya, aku sudah hafal." Ucapan Rizal lagi-lagi membuatku GR. Bisa-bisanya dia mengatakan sudah hafal. Apa dia memata-mataiku?

Bisa jadi, kan? Bukannya dia juga tempo hari tahu-tahu ada di depan kosanku?

"Zal,--" Ragu aku memanggilnya. Aku teringat dengan telepon dari Desti kemarin. Haruskah aku minta ijin pada Rizal untuk menemuinya? Atau aku berinisiatif untuk menolak setiap ajakannya saja?

"Hmm..." Suara sahutannya seperti itu, kenapa malah membuatku semakin bergetar. Kalau begini terus, aku bisa nggak kuat.

"Desti minta ketemu aku lagi...."

Yuk, mampir ke KARYAKARSA,  tersedia fullpartnya dan bundlingnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang