Bab 10b

4.6K 186 0
                                    

Aku ingin tahu reaksi Rizal, apakah dia akan setuju atau tidak. Tapi, tak ada sahutan.

"Zal, kamu nggak usah khawatir. Aku sudah istikharah," lanjutku usai terdengar desahan nafasnya yang mengisyaratkan ketidaksukaan. .

Sepertinya dia berat mengijinkanku. Sepertinya dia masih menyimpan kekhawatirannya padaku. Dia khawatir kalau aku termakan ucapan Desti karena mantan istrinya itu bisa saja memanfaatkan putri mereka sebagai alasan, agar aku iba.

"Tih, tak semua sebaik kamu. Ada orang-orang yang punya rencana lain dibalik sikapnya yang manis,"tutur Rizal kemudian.

Sebaik aku? Tubuhku seolah terbang melayang mendengar ucapan Rizal. Senyumku tak henti mengembang.

Rizal bilang aku baik? Aku segera menekan-nekan telingaku untuk menyadarkan kalau aku tidak salah dengar. Lalu aku menata hati untuk kembali melanjutkan percakapan, agar Rizal tidak curiga bahwa aku sukses dibuatnya salah tingkah.

"Kita tak boleh berburuk sangka, Zal," tukasku, terdengar normatif.

Terdengar dari balik telepon, dia menghela nafas dengan kasar. Dia seolah berusaha menghalau kekesalan hatinya menghadapiku.

"Zal, aku harus berangkat. Nanti disambung lagi, ya," ujarku kemudian. Lalu kututup telepon itu sebelum persetujuan dari Rizal keluar.

Aku biarkan dia berfikir. Toh, aku juga tidak buru-buru bertemu dengan Desti.

Tapi, sepertinya aku harus menyimpan nomor Rizal agar tidak tertukar dengan nomor Desti.

Aku berjalan lebih cepat dari biasanya. Biasanya tak sampai lima belas menit aku sudah tiba di kantor. Tapi, gara-gara telepon dari Rizal, aku harus keluar kosan lebih siang dari biasanya.

"Ratih!"

Tiba-tiba langkahku terhenti. Tepat di pintu gerbang belakang kantorku berdiri wanita cantik tinggi semampai.

Gerbang belakang kantorku hanya buka di pagi dan sore hari saat jam pegawai keluar masuk. Jika sudah jam kerja, biasanya akan segera ditutup.

Tak banyak yang tahu jika kantorku ada pintu belakang, kecuali karyawan dan orang yang biasa bekerja di kantorku. Tapi, wanita itu bisa tahu kalau aku tiap pagi lewat pintu ini? Luar biasa!

"Ada yang penting?" tanyaku berusaha sedatar mungkin. Aku berusaha agar punya nilai tawar lebih di mata Desti. Bukan sebagai wanita kalah.

"Kamu tidak membalas chatku," ujar Desti.

Dia mensejajari langkahku yang terburu menuju lobi gedung. Langkah kian kupercepat saat memasuki Gedung yang udaranya cukup adem, di banding di luar sana.

Setelah menyapa satpam dan resepsionis, aku segera menuju lift. Beruntung sebelum lift ada pintu khusus pegawai. Kami harus mengetap kartu pegawai untuk masuk. Sementara tamu harus menggunakan kartu pass yang harus diminta pada resepsionis.

Sebenarnya, aku bisa saja membantu Desti dengan membuka akses dengan kartuku dan mengakuinya sebagai tamu di kantor kami. Tapi, aku malas.

Tak kupedulikan Desti yang masih melambaikan tangannya minta diijinkan masuk. Maafkan aku, Desti.

Aku pura-pura tak mengenalinya saat masuk lift bersama rombongan pegawai lainnya. Gedung kantorku ini terdiri dari beraneka kantor yang menyewa di gedung yang sama. Jadi, meski satu gedung, kalau tidak bekerja di kantor yang sama, kami juga tak saling mengenal.

Rupanya, Desti bukan orang yang gampang putus asa. Baru sepuluh menit aku mendudukkan badan di kursi kerja, dia sudah menampakkan batang hidungnya.

Bagaimana bisa satpam juga mengizinkan dia masuk?

"Aku mau bicara padamu," bisiknya.

Aku melirik kanan kiri. Teman-temanku semua sibuk. Sementara Desti seenaknya sendiri masuk ke ruang kerjaku.

Aku yakin, orang seperti Desti ini pasti bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Termasuk masuk ke dalam ruang kerjaku.

"Aku sedang bekerja," sahutku.

Dalam hati aku berharap atasanku segera keluar dan menampakkan dirinya. Agar aku punya alasan untuk menghindari Desti.

Tapi, di luar dugaan, Desti malah beranjak dari depan meja kerjaku. Dengan percaya diri, dia mengetuk pintu ruang atasanku dan masuk ke dalam ruangan itu.

Entah apa yang dikatakan pada Pak Amir, buktinya, atasanku itu malah keluar dan berjalan menuju ke mejaku.

"Ratih, tolong selesaikan urusannya dulu. Nanti pekerjaannya biar dihandel sama Cintya," ujar Pak Amir terdengar bijak.

Terlihat senyum licik penuh kemenangan tersungging di wajah Desti. Benar kata Rizal, aku tak boleh hanyut dengan sikap manisnya. 

--

Ijin Promosi ya. 

Kalian bisa dapatkan buku ini fullpart di KARYAKARSA dengan harga bersahabat. Atau bisa juga beli bundel PAKET JODOH TERINDAH dengan harga yang lebih hemat lagi. 

Nikmati Voucher senilai 10 ribu untuk pembelian paket JODOH TERINDAH dengan memasukkan kode Voucer JANUARI2023 berlaku hingga 31 Januari 2023. 

Yuk mampir. Bisa baca bab gratisnya dulu ya di KARYAKARSA

 Bisa baca bab gratisnya dulu ya di KARYAKARSA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang