Bab 9c

4.5K 224 2
                                    


"Ini utamanya buat yang akan menikah dengan duda yang sudah punya anak. Kalau Duda yang belum punya anak, mungkin poin ini nggak terlalu penting. Kenapa?" DI ujung kalimatnya, Bu Winda mengajukan pertanyaan retoris. "Karena mantan sang suami adalah ibu dari anak akan bakal menjadi anak sambungmu," tambahnya.

Dahiku lagi-lagi mengernyit. Apa ini yang dimaksud Rizal tempo hari? Dia tidak mau membuka alasannya berpisah dengan mamanya Sasti jika aku nggak korek-korek. Bisa jadi, agar aku lebih objektif menilai Desti. Bagaimana pun dia adalah mamanya Sasti. Kelak, kalau aku sudah menikah dengan Rizal, pasti pengasuhan Sasti juga tanggung jawabku. Namun, aku juga tak boleh memisahkan Sasti dengan mama kandungnya. Dia harus bisa menyayangi mama kandungnya terlepas dari apapun itu.

"Dan terakhir." Bu Winda melanjutkan. "Pelajari masa lalu pasangan. Mengapa dia bisa gagal. Siapa tahu kamu bisa ambil pelajaran. Bukan untuk menjustifikasi, tapi, paling tidak, baik kamu dan dia tidak mengulang kesalahan yang sama." Bu Winda mengakhiri wejangannya yang panjang lebar.

Aku jadi teringat cerita Rizal tentang lelaki lain yang dicintai istrinya, yang menjadi pangkal perceraian. Termasuk ucapan Rizal yang serius di akhir pertemuan kami kemarin. Artinya, aku pun juga harus belajar untuk setia.

Tepuk tangan lirih dari dua gadis di sekitar kami membuatku kembali tersadar dari lamunan.

"Keren Bu Winda. Gimana Mbak Ratih, makin mantap dong...." celetuk Cyntia.

"Insyaalloh." Aku menyunggingkan senyum pada mereka.

"Mana undangannya?" tangan Anggi langsung menengadah.

"Iya-iya. Nanti di kantor aku bagi," ucapku.

Aku tak ragu lagi. Benar ucapan Bu Winda tadi, pernikahan mesti disiarkan. Bukan diam-diam. Mana tahu, akan banyak doa-doa yang terucap untuk keluarga kami jika di syiarkan. Lagi pula, undangan itu dicetak memang untuk disebar bukan? Bukan disembunyikan.

Kami berempat menghabiskan makan dengan cepat, karena sebentar lagi waktunya masuk kerja.

Usai dari kantin, aku segera mengambil tumpukan undangan yang aku simpan di laci. Namun, mendadak ponselku bergetar.

Panggilan itu dari sebuah nomor tak dikenal. Ah, paling bank yang menawarkan kartu kredit. Aku sering mendapatkan telpon semacam itu. Padahal, gajiku saja nggak banyak.

Tak aku tanggapi panggilan itu. Lebih baik aku segera membagikan saja undangan sebelum pada kembali kerja. Biar mereka nggak banyak bertanya, tepatnya membullyku.

Namun, lagi-lagi panggilan itu masuk. Baiklah. Aku angkat dulu, memastikan kalau itu bukan panggilan penting.

"Ratih, ini Desti. Aku ingin bicara."

Mendadak perasaanku nggak enak. Bukan apa-apa, Rizal sudah mewanti-wanti untuk tidak perlu bertemu dengan Desti. Tidak berbicara lagi padanya. Rizal kawatir aku kembali ragu karena pengaruh dari Desti.

"Maaf Mbak Desti, aku sedang sibuk," jawabku. Aku segera menutup sepihak setelah aku meminta maaf.

Aku teringat bagaimana Rizal melarangku menerima kartu nama Desti, dan betapa berubahnya wajahnya saat tahu Desti menemuiku. Rizal tahu betul kalau aku mudah terpengaruh. Aku sering tak tega menolak permintaan orang lain.

Segera kumatikan ponsel itu. Aku tak tahu darimana Desti bisa mendapatkan nomorku. Akan lebih baik jika aku menghindar darinya.

Menurut artikel yang pernah kubaca, semakin dekat dengan waktu pernikahan, kebimbangan dan godaan akan datang. Jadi, pintu godaan itulah yang mesti kututup rapat.

Kuletakkan ponsel itu kembali. Lalu aku focus pada tumpukan kertas undangan pernikahan akan aku bagikan. Bahkan, Dini sudah menempelkan stiker di masing-masing amplop undangan itu. Dia sempat meminta list undangan dalam file excel beberapa hari lalu. Gercep juga adikku ini.

"Wah, selamat ya Mbak Ratih." Satu dua karyawan memberikan selamat saat aku membagikan untuk mereka.

"Semoga langgeng dan samara."

Aku mengaminkan semua doa-doa baik mereka.

"Bagaimana kalau sepulang kerja, kita makan-makan dulu?" Bu WInda mengusulkan. "Sekalian syukuran project baru kita?"

Teman-temanku langsung menyambut usulan itu.

---

Aku pulang ke kosan sudah agak larut. Setelah mandi dan bersih-bersih, aku baru teringat dengan ponsel yang belum kuaktifkan sejak siang.

Beberapa pesan masuk beruntun saat ponsel ini aktif. Salah satunya yang membuatku penasaran, adalah pesan dari nomor yang tak kukenal.

[Temui aku besok. Aku ceritakan siapa Rizal sebenarnya, agar kamu tidak menyesal.]

DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang