"Mbak, undangannya sudah aku kirim kemarin ya. Nanti kurir langsung antar ke kantor Mbak Ratih." Pesan Dini masuk ke ponselku
Dini memang adik yang dapat diandalkan. Saat aku malas-malasan mengurus semuanya, tangannya terbuka melakukan semua untukku. Bahkan, dia juga tak minta uang seperser pun untuk ganti biayanya.
"Gampang lah, Mbak, itungannya. Kan pesennya juga sekalian di teman aku. Jadi harga juga bisa miring," ucap Dini saat aku minta slip tagihannya, mau aku transfer sejumlah uang padanya.
"Mas Rizal udah transfer aku. Ntar kalau kurang, baru aku bilang sama kamu."
"Apa?" Aku melotot membaca pesan dari Dini. Bisa-bisanya Dini dan Rizal berkomunikasi di belakangku?
Apa aku cemburu? Sebenarnya bukan ke cemburu, tapi, semacam merasa dilangkahi saja. Tapi, ini semua juga salahku. Aku yang cuek dan tak mau tahu urusan pernikahan ini. Jadi, mungkin Dini yang ambil inisiatif.
"Tenang Mbak. Calon Kakak Iparku baik kok. Nggak neko-neko. Semua diserahin padaku, asal tahu beres," balas Dini.
Tak lama setelah berbalas pesan, benar saja, pak satpam menghampiri. Dia membawa barang dengan bungkus berwarna coklat. "Ada paket untuk Mbak Ratih," tukas Pak Satpam.
"Makasih, Pak." Pak Satpam meletakkan paket itu di atas meja. Untungnya semua pegawa kantor sibuk dengan urusannya, sehingga tak terlalu mencolok.
Lagi pula, akhir-akhir ini, banyak karyawan yang mengalamatkan paket mereka ke kantor. Jadi, memang menerima paket menjadi hal biasa.
Setelah memastikan tidak menarik perhatian teman-teman kantor, perlahan aku buka pembungkusnya dengan ujung gunting. Aku tak mau menimbulkan suara berisik. Selain aku sendiri juga kepo dengan bentuk undangan pernikahanku seperti apa, aku juga tak ingin mereka melihat sebelum aku benar-benar mantap untuk membagikannya.
Seperti permintaanku, undangan dengan warna kalem, hitam dan putih, melambangkan kemurnian cinta. Ah, itu hanya imajinasiku aja.
Aku memang menyukai warna hitam yang terkesan mewah, saat Dini menanyakan mau undangan warna apa. Untuk desainnya dia semua yang urus.
Aku memandangi undangan dan nama yang tertera di sana. Tak menyangka, jika akhirnya namaku ada pada satu kertas undangan pernikahan, bersama pria impianku saat jaman berseragam putih abu-abu. Apakah ini tandanya doa-doaku terkabul?
Dulu, aku pernah berdoa, dan meminta Rizal sebagai jodohku. Namun, itu sudah lama sekali, hingga kemudian, aku melupakan semuanya. Melupakan tentang cinta dan jodoh. Bahkan, naifnya, aku pernah merasa, apakah fase pernikahan itu akan pernah datang dalam hidupku, saking putus asanya.
"Mbak Ratih, mau cuti, ya?" tanya Anggita, salah satu rekan satu timku, mengagetkan aku yang masih sibuk melamun. Untung undangan sudah kusimpan dalam laci di bawah meja.
Aku kira pengajuan cutiku tak akan diketahui banyak orang, mengingat sekarang semua serba online. Namun rupanya aku salah. Bagaimana pun satu tim pasti tahu. Karena berkenaan dengan pekerjaan yang harus aku delegasikan ke mereka selama aku cuti.
Sebenarnya, aku pun tak perlu cuti. Rizal tak pernah mengatakan apa-apa tentang rencana pernikahan kami. Bahkan, kami hanya menikah di akhir pekan. Jadi, sebenarnya tak perlu cuti bukan?
"Kamu jangan terlalu main perasaan. Menikah itu tidak melulu soal cinta. Tapi, komunikasi itu hal penting." Aku teringat ucapan Nadia suatu ketika.
Dia benar. Tapi, memulainya aku tak tahu. Bahkan, aku rasa Rizal lebih tahu banyak hal dari aku. Dia sudah berpengalaman. Ini adalah salah satu kelemahanku. Aku cenderung menurut tanpa inisiatif.
Mungkin karena aku terlalu yakin, Rizal orang yang baik. Rizal orang yang bertanggung jawab. Seperti yang pernah kukenal dulu. Bahkan, aku mungkin termasuk cinta buta yang tak lagi mempermasalahkan statusnya.
"Jadi, kamu mau nikah, Mbak?" tanya Anggita lagi. Bahkan, aku sampai lupa kalau Anggi masih di depan mejaku.
"Ha?"
"Kata Bu Winda, kamu ambil cuti karena mau nikah?" ujar Anggi lagi.
Nah, kan. Aku benar-benar belum siap menjawab pertanyaan ini.
"Ih, Mbak Ratih, diam-diam, ya. Nggak pernah kelihatan berduaan, tahu-tahu cuti aja, nih."
Mendadak Anggita malah menarik kursi di sebelahku.
"Nggi, lagi jam kerja. Jangan berisik," ucapku.
"Iya-iya." gadis itu urung duduk. "Tapi, janji, nanti jam istirahat, kamu harus cerita. Siapa calonmu dan bagi undangan buat kita-kita. Awas ya, kalau nikah diam-diam dan nggak ngundang-undang," ancam Anggi sambil mengembalikan kursi yang ditariknya ke tempat semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA YANG PERNAH MENOLAKKU
Roman d'amourBagaimana jika kamu dilamar oleh pria yang pernah menolakmu? Yang dulu pernah menyakiti hatimu dengan kata-katanya yang pedas? Akankah Ratih akan menerima pinangan Rizal? Ikuti kisahnya. Sudah update di KaryaKarsa.