Bab 8c

5.8K 271 1
                                    


"Sudah aku bilang, buang kartu nama Desti!"

Padahal ini nggak ada sangkut pautnya dengan kartunama Desti, karena Desti memanggilku dan kami bertemu usai pertemuan siang tadi.

Terlihat jelas wajah Rizal yang memerah, meski kami hanya tersorot lampu jalan.

Langkahku pun ikut terhenti. Aku tak berani menatapnya. memoriku seolah berputar kembali.

"Ck. Sudah lah. Ayo kita makan." Rizal terlihat berusaha menguasai diri. Mungkin dia takut kalau-kalau aku trauma melihatnya seperti itu. Atau, dia ingin membuktikan ucapan Nadia, kalau dia sudah berubah dan minta maaf?

"Kamu nggak papa, makan di pinggir jalan?" tanyaku saat dia mengajakku sedikit berjalan untuk membaca menu-menu di tenda.

Aku yakin, dia tak kunjung memilih, mungkin karena belum sreg dengan menunya, atau lokasinya.

"Kamu ngomong apa, sih. Aku bisa makan dimana saja, Ratih."

Ingin aku mengatakan, kalau mungkin tidak higienis, mana tahu, istrinya selama ini mengaturnya dan menerapkan pola hidup sehat, lantas dia harus makan bersamaku sembarangan. Namun urung kukatakan. Aku khawatir terdengar penjual, atau bahkan pelanggan warung tenda ini. Bisa tersinggung mereka nanti.

"Pecel ayam, mau?" tawar Rizal saat langkah kami sudah mencapai ujung. Hanya ada nasi goreng dan sate yang belum kami lewati. Mungkin Rizal tak tertarik.

Mungkin dia malas berbalik arah, atau memang tak ada yang menarik bagi Rizal.

"Nggak papa."

Rizal langsung masuk ke tenda itu. Dengan cepat dia memilih menu. "Kamu makan apa, Tih?"

"Lele aja," sahutku, mengingat tadi aku sudah makan ayam bakar.

"Ayam satu, lele satu, ya, Pak!"

Suasana tenda tak terlalu ramai. Masih banyak bangku kosong. Kami duduk di ujung, agar kami bisa lebih nyaman ngobrol.

"Sudah aku bilang, jangan diterima kartu nama Desti." Dia mengulang ucapannya, karena belum sempat aku respon.

Roman muka Rizal tampak marah saat aku menyinggung tentang Desti.

"Dia yang menemuiku. Bahkan, saat kita bari berpisah di mall tadi." Aku berusaha membela diri, meski takut-takut. Mestinya, aku tak perlu takut. Toh, Rizal belum menjadi siapa-siapa bagiku. Dia masih orang lain.

"Dia memang sudah lama mau rujuk. Tapi, aku menolak." Rizal menjawab dengan raut muka datar.

Aku menatap wajahnya intens. Ya Tuhan, kenapa setiap menatapnya, jantungku berdegup tak karuan. Apa karena ini juga, kita dianjurkan menjaga pandangan?

"Kenapa?" Sekuat tenaga aku mengusir rasa canggung ini.

Padahal aku hanya makan berdua. Bukan pacaran. Lalu, bagaimana dengan pasangan muda-mudi yang pacaran? Apa karena ini pula, agama melarang untuk berduaan dengan bukan mahrom. Karena syetan punya banyak kesempatan menggoda. Seperti hal nya apa yang terjadi di kepalaku, yang berfikir tak karuan.

Untungnya, tak lama, tukang pecel ayam sudah menghidangkan pesanan kami. Namun, Aku masih menunggu Rizal menjelaskan lebih lanjut maksud penolakannya pada Desti.

"Ayo, makan dulu. Kalau dingin nggak enak." Sayangnya, dia tak memberikan penjelasan apapun, malah mengalihkan pembicaraan.

'Apakah semua lelaki seperti ini? Irit bicara untuk hal-hal yang berbau pribadi? Bukannya aku calon istrinya? Bukannya aku berhak tahu?' Aku berguman dalam hati. Ternyata menikah tak semudah yang kuimpikan. Kalau aku kelak hidup berdua dengan makhluk bernama lelaki, tapi aku tidak mampu menyelami pikirannya, bagaimana kelak nasib rumah tanggaku?

"Zal, penjelasanmu akan membantuku memantapkan hati," ujarku setelah keheningan sesaat di antara kami. 

DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang