Bab 8d

6K 276 8
                                    


Warung tenda tempat kami makan sudah lebih ramai dibanding tadi saat kami datang. Meskipun tempat ini hanya menyajikan penyetan, namun sangat berarti buat penduduk urban sepertiku yang tempat tinggalnya tidak dilengkapi dapur.

"Sasti butuh seorang ibu. Dan ibu kandung jauh lebih baik dari ibu sambung," sambungku karena Rizal tak juga mengeluarkan penjelasannya. Ini terdengar sok bijak. Namun, aku sering mendengar penjelasan serupa, meski aku belum berpengalaman.

Aku menatap Rizal yang sibuk menghabiskan makanannya. Mungkin dia lapar, karena sama sekali tak memberi jeda untuk berbicara. Atau, dia perlu energi untuk memberi penjelasan padaku?

"Sebenarnya tak semuanya harus kuceritakan. Tapi, baiklah." Rizal menyudahi makan pecel ayamnya.

Rizal menumpuk piring nasi dan piring bekas pecelnya menjadi satu, sehingga meja di hadapannya terlihat bersih.

Sementara, aku masih berusaha melanjutkan makananku yang belum habis.

"Sebenarnya aku sudah melupakan semuanya. Dia adalah mamanya Sasti. Aku tak mau membuka aibnya." Rizal memberi jeda. "Tapi, karena kamu ingin tahu, aku beritahukan padamu," lanjut Rizal.

"Ada pria yang menurut Desti lebih baik dari aku. Kami berpisah baik-baik dan hak asuh Sasti jatuh padaku. Namun, ternyata pernikahan kedua Desti tak seindah harapannya. Dan semua sudah berakhir."

Aku menyimak ucapannya. Nadanya datar saja. Tapi, aku yakin ada luka di dalam sana.

"Makanya, dia minta rujuk," lanjut Rizal.

"Lalu, kenapa kamu tidak menerimanya? Bukankah itu artinya dia mengakui kamu lah terbaik dalam hidupnya. Atau, paling tidak, demi Sasti," ucapku. Terdengar ringan, bagi orang yang sama sekali tak punya pengalaman soal cinta dan rumah tangga. Tapi, aku ingin mendengar penjelasan dari Rizal.

Toh, selama ini yang kudengar, memang ibu kandung jauh lebih baik dari ibu sambung bukan? karena anak selama sembilan bulan ada di rahimnya. Ada ikatan batin di sana.

Sungguh, kalau kondisinya Desti memang ingin kembali pada Rizal, bukankah itu niat baik seorang ibu kandung? Harusnya aku mendukungnya. Bukan malah menyerobot yang belum tentu jadi hakku juga.

Perihal rasa cemburu. Tentu saja ada. Rasa yang belum hilang ini, seolah bak rollercoaster. Kadang muncul jadi cinta, kadang berubah menjadi luka. Beginikah rasanya ujian cinta?

Sungguh, membayangkan menjadi orang ketiga saja aku tak mampu. Bahkan, melihat kebahagian Sasti dengan mamanya saja, rasanya hati ini cemburu. Bagaimana kelak jika aku benar-benar menjadi duri dalam kehidupan mereka?

"Aku nggak ingin memaksa diri masuk dalam hubungan kalian, Zal. Sasti layak bahagia bersama mamanya," ucapku.

Rizal menarik nafas.

"Dengar baik-baik. Dia mencintai pria lain saat masih bersamaku. Aku tidak pernah menerima hal itu. Itu juga berlaku padamu. Jika kamu menikah denganku, jangan pernah memberikan hatimu pada lelaki lain."

Tiba-tiba wajah Rizal memerah. Kata-katanya penuh penekanan. Dia seolah sendang menunjukkan kalau ada emosi yang masih tersimpan.

"Apa maksudmu, mamanya Sasti selingkuh?" Ragu aku bertanya.

Rizal tidak memberikan penjelasan yang eksplisit, sehingga aku tak dapat mencerna dengan baik.

"Ratih, jangan kamu pikirkan Desti lagi. Dia memang mama Sasti. Dia boleh bertemu Sasti kapan saja dia mau. Tapi, aku tak akan ijinkah hak asuh Sasti jatuh padanya. Dan itu sudah diperkuat keputusan pengadilan agama. Jadi, kamu tidak perlu mengungkit masalah Sasti dan mamanya. Yang terpenting adalah masalah aku dan kamu. Sasti, biar aku yang urus. Sasti tanggung jawabku. Jadi tidaknya kita menikah, Sasti akan selalu bersamaku. Mengerti?"

Ucapan Rizal memang lirih terdengar di telingaku. Tapi, itu sanggup membuat dadaku tercekat. Lidahku menjadi kelu. Aku tahu dia mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Aku tahu ada hati yang ingin dia jaga. Karena dia tahu, akupun masih orang lain baginya. Jika dia salah memilih kata, itu bisa menjadi hal yang buruk baginya.

Aku harus mencoba memahami kata demi kata yang dia ucapkan dan maksud yang ada di belakangnya. Aku mencoba meraba, apakah penjelasan dia mampu memunculkan kemantapan hatiku. Apakah penjelasan itu akan mampu melahirkan ketenangan batinku. Ataukah malah semakin menyisakan tanda tanya besar dalam kalbuku.

Setelah membayar makanan, Rizal mengantarku kembali ke kosan. Kami berdua berjalan dalam pikiran masing-masing, hingga kami berhenti di depan kosanku.

Ada teras di lantai atas dan kursi di sana. Kami duduk sebentar di teras itu.

"Ratih, di antara kita tak ada yang mundur. Kamu lah yang aku pilih menjadi ibu bagi Sasti. Aku tak perlu bertanya padamu apakah kamu bersedia. Karena aku tahu, kamu pasti bersedia," ujar Rizal mantap.

Aku terbeliak, percaya diri sekali dia? Apakah dia lupa dengan luka masa lalu yang pernah ditorehkan? Apa dia pikir begitu mudah aku melupakan semuanya?

Saat aku melihat ke arahnya, pada saat yang bersamaan, dia juga menatapku sekilas. Ia lalu mengalihkan padangannya lurus ke depan. Hanya terlihat atap rumah tetangga kosan, atau bangunan berlantai dua lainnya.

"Istikharahlah kalau kamu belum mantap. Tapi, kuharap, ini adalah penjelasan terakhirku. Sampai jumpa minggu depan."

DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang