Bab 8b

5.9K 269 0
                                    


"Sepupuku. Dia yang ngasuh Sasti," jelas Rizal.

"Oh." Aku sedikit lega. Ternyata anak Rizal diasuh oleh orang yang masih punya hubungan kerabat. Pantas saja, dia seperti tak ada beban.

"Belum makan, kan?" Rizal kembali mengingatkan kalau tujuannya mau ngajak makan aku.

Aku sedikit ragu. Belum satu jam aku makan ayam bakar madu dengan Desti. Meski sebenarnya aku belum kenyang. Ayam itu lebih banyak nyangkut di tenggorokan karena mendengarkan ucapan Desti.

Kini, Rizal menawarkan makan bersamanya. Hati siapa tak girang. Lebih dari sepuluh tahun aku menunggu kesempatan itu. Bagaimana bisa aku melewatkannya.

"Kok, malah bengong."

Tanpa kusadari, aku menatap Rizal yang sedang menahan senyum. Kentara sekali kalau dia sedang menertawaiku. Namun, aku bisa apa. Aku hanya bisa menjadi ABG yang sedang berbunga-bunga dilanda asmara.

"Oh, iya. Ayuk."

"Makan dimana?" Rizal menaikkan satu alisnya.

Pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu selera Rizal. Aku pun tak tahu tempat makan yang enak sekitar sini, kecuali kuliner malam di sepanjang pinggir jalan sebelum masuk gang arah kosanku.

"Nah, kan. Bengong lagi?"

"Terserah kamu," ucapku, daripada harus berfikir keras.

"Kan kamu yang tinggal di sini. Aku mana tahu," sahutnya.

Kami masih berdiri di depan kosanku tanpa kepastian. Saat salah satu teman kosanku lewat dan tersenyum padaku sambil mengedipkan matanya, aku jadi nggak enak.

"Aku bisa makan apa aja Ratih. Asal makanan yang halal," ucapnya karena membaca keraguanku.

Bahkan, memilih makan saja begini beratnya. Lalu, bagaimana nanti nasibku saat menikah dengannya.

"Di tempat aku parkir tadi, banyak jajanan. Kita jalan dulu ke sana, gimana? Nanti baru kamu pilih?" usul Rizal.

Salah satu yang diam-diam kukagumi dari Rizal saat jaman putih abu-abu adalah cara dia memecahkan masalah dan memberi solusi. Dia memang bukan siswa populer. Makanya, tak banyak yang tahu siapa dia. Dan aku adalah pengagum rahasianya. Bahkan, sampai hal kecil saja aku tahu.

Namun, kalau masalah menu makanan, tentu aku tak tahu. Karena selera jaman SMA pasti sudah berubah. Nggak mungkin kan aku ajak makan bakso atau mie ayam, padahal dia mengajak makan malam?

Aku hanya mengangguk menyetujui usulnya.

Kami berjalan bersisihan melewati gang kecil. Dari kosanku ke jalan raya tidak begitu jauh. Di pinggir jalan itulah, biasanya banyak kuliner beterbaran kalau sore menjelang malam seperti ini. Umumnya pekerja kantoran juga yang menjadi pelanggannya. Usia-usia sepantaranku banyak yang masih single di kota besar seperti ini. Dan, karena itulah, aku sering terlena dan tak berfikir mengakhiri masa lajang.

Masa-masa ingin menikah, seperti sudah lewat dari benakku. Aku sudah mengalami zona nyaman. Zona yang bagiku, kedatangan orang asing dalam kehidupan, adalah akan menganggu apa yang sudah menjadi kebiasaanku.

Kadang, di kantor ibu-ibu muda yang mengeluh kurang tidur karena anaknya rewel, demam atau apa. Belum lagi keluhan suami atau pasangan mereka yang malas membantu pekerjaan rumah tangga, membuat alasanku semakin kuat untuk tak memikirkan pasangan.

Sambil jalan ke luar gang, aku dan Rizal masih belum membuka percakapan. Kami berjalan dalam diam. Canggung juga rasanya. Sesekali aku meliriknya, berharap dia mengatakan apa, sebagai basa-basi. Namun rupanya tidak ada. Mungkin dia menunggu aku yang memulai. Padahal kami sudah melewati ratusan meter dari kosanku,

"Apa benar Desti sudah berpisah dari suaminya?"

Mendadak Rizal menghentikan langkah, begitu mendengar pertanyaanku yang tanpa basa-basi itu.

Terlambat. Aku tak bisa menarik ucapan, selain hanya bisa menelan ludah.

Bersambung... 

DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang