Bab 11b

4.2K 146 1
                                    


Duh. Dilihat seperti itu, aku bertambah malu.

Apa aku lancang? Apa aku tidak sopan kalau mengajaknya makan? Tapi, bukannya dia datang dari jauh? Kantornya saja tidak berada di sekitar sini? Tidak salah 'kan kalau aku menawari makan.

Lagi pula, seharusnya dia tidak perlu repot ke sini. Aku bisa mengirim undangan ini lewat aplikasi jasa pengiriman yang betebaran. Boleh kan aku GR kalau dia sebenarnya ingin menemuiku?

"Ya udah, ayok," ujarnya seraya tersenyum. Manisnya membuatku sukses mabuk kepayang.

Aku segera melesat kembali ke meja untuk mengambil dompet. Hatiku girang tak terkira. Mirip seperti anak kecil mendapatkan permen.

Ya Tuhan, apakah begini rasanya jatuh cinta?

Bahkan, aku sampai tak memperdulikan Pak Amir, atasanku yang sedang berdiri di depan ruangannya. Padahal, sepertinya dia kebingungan mencari sesuatu. Aku hanya fokus bisa bersama dengan Rizal siang ini.

"Ecieee... mau ngedate sama duren, nih, ye?" Anggi lagi-lagi meledek. Kontan sorakan dari teman kerjaku yang lain menyambut.

"Siapa... siapa?" Aduh, Pak Amir malah ikut mendekat.

"Itu, Pak. Calonnya Mbak Ratih," celetuk Cyntia.

Apa sih anak-anak ini. Aku hanya mengangguk ke Pak Amir sebelum melesat kembali ke luar ruangan. Sudah merah padam mukaku. Aku bahkan tak sadar kalau jam istirahat masih kurang satu menit. Apalah arti satu menit, batinku. Semoga Pak Amir tidak menandaiku.

"Kok kayaknya seru banget?" tatapan Rizal ke arah pintu ruang kerjaku saat aku ke luar. Mungkin suara gaduh tadi terdengar olehnya.

"Udah, ayok langsung ke bawah aja."

"Udah nggak bisa nahan lapar?"

Aku nggak tahu, sejak kapan Rizal bicara sereceh ini. Apa karena aku nggak pernah dekat dengan Rizal? Satu kelas pun dulu nggak pernah. Jadi aku nggak tahu kalau ternyata dia pun bisa menggoda orang.

"Maksudku sebelum lift ini penuh. Jam istirahat selalu penuh." Aku berdalih. Meski ada delapan buah lift yang bergantian, jam istirahat tetap saja penuh.

Aku mengajak Rizal ke kantin yang ada di gedung sebelah. Aku tidak nyaman jika makan dengan Rizal di kantin yang berada basemen gedungku, tempat biasanya aku makan siang. Terbayang rekan-rekan seruangan yang bertemu denganku di kantin itu akan meledekku.

Teringat ledekan di ruangan tadi saja, aku sudah ingin menenggelamkan diriku ke dasar lautan.

"Mau makan apa, Zal?" tanyaku saat kami sudah tiba di kantin yang kumaksud.

Kantorku memang ada di pusat perkantoran ibukota. Selain kantin gedung sebelah yang terkenal sedikit lebih mewah di banding kantin di gedung kantorku, sebenarnya masih banyak kawasan kuliner terdekat di jam makan siang seperti ini. Misalnya belakang kantor atau seberang kantor. Biasanya, pegawai-pegawai kantoran sekitar sini akan memenuhi pusat-pusat kuliner itu di jam makan siang.

"Terserah kamu saja. Samain aja," ujarnya. Dia mengambil tempat duduk di bangku yang kosong. Untung kami datang agak awal, sehingga kantin belum terlalu penuh. Selang lima menit saja, pengunjung mulai memadat dan akan sulit mendapatkan bangku kosong buat berdua.

Rizal sepertinya tidak berminat mencari tahu menu apa yang tersedia di sini. Ini membuatku bingung. Aku tak tahu makanan kesukaan Rizal. Apa dia sedang mengujiku?

Jujur saja, aku paling nggak suka kalau makan bareng bapak-bapak di kantor, trus mereka menyuruhku memilih menu, hanya karena aku wanita. karena preferensiku berbeda dengan kebanyakan orang. Apalagi aku belum terlalu ibu-ibu. Usia memang matang, tapi pikiran, entahlah.

Aku menghela nafas, sambil sesekali melirik Rizal yang fokus dengan ponselnya. Otakku harus cepat berfikir memilih menu sebelum antrian panjang mengular.

"Pecel lontong sama ayam goreng dan bakwan dua ya, Bu." Akhirnya aku ikut antri di stand pecel. Biasanya dia penyajiannya cepat. Bismillah, semoga Rizal suka.

Beginilah rasanya punya calon suami yang aku tak pernah kenal dekat, meski merasa dekat di pikiran. Kami hanya sebatas kenal karena bersekolah di SMA yang sama. Itu pun bukan dengan kenangan yang manis. Bahkan kenangan yang kelam. Dan kini, kami dipertemukan lagi sebagai calon pasangan yang seperti belum mengenal satu sama lain.

"Zal ... " Aku mencoba membuka percakapan setelah kembali ke meja.

"Hmm ...." Rizal segera mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedari tadi ditekurinya, lalu memasukkan ponselnya ke saku celananya. Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja. Matanya menatap lurus padaku.

Dilihat seperti ini saja, aku mulai gugup.

"Tadi pagi Desti ke sini." Aku mulai bercerita.

Yuk, mampir ke KARYAKARSA, tersedia paket fullpart, hanya 34.900 idr saja. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DIA YANG PERNAH MENOLAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang