[18] on the way

939 82 43
                                    

Masih jam 2.30 siang. Vanilla melepas blazer yang dipakainya, menyisakan atasan cropped top karena gerah. Keringat tipis mulai mengalir di pelipisnya, dan ia merasakan udara hangat di ruangan. Ia melihat jam di tangannya sekilas, lalu kembali memejamkan mata sambil menghela nafas panjang. Ia masih mengantuk, namun suara berisik dari luar apartemen membuatnya gelisah. Ia mencoba untuk tidur lagi, membenamkan wajahnya di bantal, tetapi ketika kesadarannya mulai kabur, seseorang tiba-tiba mengguncang bahunya dengan lembut.

"Haloo, pindah kamar dulu yuk, ada Kak Angel," ucap Rain dengan nada ceria, suaranya mengusik sisa-sisa kantuk Vanilla. Sontak Vanilla terbangun, membuka matanya yang masih setengah terpejam, dan menatap Rain dengan bingung.

Vanilla mengerjap, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri dengan lesu, lalu segera berjalan ke arah kamar dengan langkah gontai. Ia tetap mempertahankan ekspresi wajahnya yang mengantuk, tidak ingin bangun tidurnya disambut dengan mood yang buruk, meskipun dalam hati kecilnya, ia sudah mulai merasakan bibit-bibit kekesalan ketika mendengar nama Angel disebutkan.

"Lo tadi udah makan kan?" tanya Rain sambil mengikuti langkah Vanilla ke kamar, suaranya terdengar samar-samar di belakangnya.

Vanilla berhenti sejenak di depan pintu kamar, lalu menoleh untuk memastikan bahwa Rain memang sedang mengajaknya bicara. Ia mengangguk pelan, berusaha menahan kantuk yang masih tersisa. "Udah, thanks ya," jawabnya singkat, suaranya lemah.

Rain mengangguk, sedikit tersenyum. "Habis ini Kak Angel sama Kak Axel pulang, lo mau nyapa mereka dulu apa lanjut tidur?"

Vanilla berpikir sejenak, lalu tanpa ragu memilih opsi kedua. Ia lebih memilih tidur daripada melihat dua wajah yang mungkin akan membuat hatinya terasa semakin berat. "Tidur aja, gue masih ngantuk," gumamnya pelan, lalu tanpa menunggu respon lebih lanjut, ia melangkah masuk ke kamar dan menutup pintunya.

"Oke, take your time," ujar Rain lembut, kemudian berbalik menuju ruang tengah, di mana Axel dan Angel sudah duduk di sofa. Rain bisa melihat dari ekspresi Axel yang lesu bahwa cowok itu masih mengantuk. Rain yakin Angel pasti baru saja membangunkannya, padahal sepertinya Axel masih belum cukup tidur. Rain merasa sedikit kasihan, tetapi ia juga tahu bahwa Axel memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan Angel pulang.

Rain berjalan menuju dapur, menyiapkan teh hangat camomile, aroma menenangkan dari teh mulai menyebar di udara. Ia kemudian menyajikannya dengan telaten untuk Angel dan Axel, meletakkannya di meja di depan mereka. Sambil menunduk, matanya tertumbuk pada blazer Vanilla yang terlipat dan tertindih di bawah pantat Axel. Wajah Rain menunjukkan ekspresi khawatir.

"Kak, maaf. Tolong itu blazer yang diduduki Kak Axel dong," kata Rain sambil menunjuk blazer yang tampak sedikit kusut.

Axel yang setengah tertidur mendengar suara Rain, membuka matanya sedikit dan menoleh ke arah yang ditunjuk. "Xel, kamu ngedudukin bajunya Rain itu," tambah Angel sambil tersenyum kecil.

Axel mengangkat tubuhnya sedikit dan meraih blazer itu. Ketika ia menggenggamnya, aroma familiar Vanilla tercium oleh hidungnya. Aroma yang selalu membuatnya merasa tenang namun juga tersiksa. Alih-alih menyerahkannya langsung ke Rain, Axel menyampirkan blazer itu di pangkuannya sejenak, seperti ingin menyimpan sedikit kehangatan dari aroma itu.

"Punya lo, Rain? Kusut nih," ujar Axel sambil menyeruput teh hangatnya, berusaha menghalau rasa kantuk yang masih menyelimuti tubuhnya.

FanàticoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang